Sebuah Kamar, Sebuah Museum Kecil untuk Hafidin Royan
Kamar tidur Rafidin Royan dijadikan semacam museum kecil pengingat jejak sang pejuang reformasi yang gugur dalam Tragedi Trisakti. Almarhum ayahanda yang membuatnya.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah4 Maret 2024
BandungBergerak.id - Suasana kamar yang tidak begitu luas di halaman belakang rumah itu masih sama seperti 25 tahun silam. Tidak banyak yang berubah. Buku-buku, dokumentasi dan plakat penghargaan, poster band dan kaset pita musik, foto, sepatu, kantong gunung, dan diktat yang pernah berlumur darah tersimpan dengan baik. Juga arsip kliping.
Di kamar inilah Hafidin Royan menghabiskan masa kecilnya. Di sanalah ia biasa membaca majalah dan bermain gitar, selain merebahkan badan untuk beristirahat.
“Semua ini yang nyusun bapak, kami tidak boleh ikut,” kata Sunarmi, ibunda Hafidin Royan kepada BandungBergerak, Selasa, 5 Februari 2024 lalu. “Jadi ini semua sama bapaknya.”
Hafidin Royan, kelahiran Bandung, 28 September 1976, merupakan anak keempat dari pasangan Sunarmi dan Enus yang tinggal di kampung Sirnagalih, Pasir Layung, Kecamatan Cibeunying. Sunarmi pernah bekerja di kantor Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Pengairan Jawa Barat, sementara sang suami merupakan pegawai negeri di kantor Bina Marga Pusat.
Lulus dari bangku SMA, tahun 1996, Royan melanjutkan kuliah di Fakultas Teknik Universitas Trisakti Jakarta. Di kampus inilah, kecintaannya pada kegiatan alam bebas membuncah.
“Dari SMA (ia) memang sudah suka naik gunung. Anaknya pendiem, tapi aktif di sekolah,” tutur Sunarmi mengenang anaknya.
Sejarah kemudian mencatat nama Hafidin Royan sebagai salah satu mahasiswa yang tewas dalam Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998. Peluru tajam yang ditembakkan aparat negara menembus pelipis kanannya di tengah kekacauan aksi unjuk rasa.
Kronologi Tragedi Trisakti
Sore itu menjelang magrib, 12 Mei 1998, para demonstran dari Universitas Trisakti mundur dan kembali ke gedung kampus. Mereka bergerak dengan tenang. Namun tiba-tiba ada yang menyulut sepercik api yang, meskipun bisa dipadamkan, akhirnya memicu kerusuhan. Kronologi tragedi yang menewaskan empat orang mahasiswa, termasuk Hafidin Royan, diceritakan dengan begitu lengkap di laman resmi trisakti.ac.id.
Pada mulanya ribuan orang civitas akademika Universitas Trisakti menggelar mimbar bebas dan melakukan aksi penurunan bendera setengah tiang diiringi lagu Indonesia Raya dan mengheningkan cipta. Orasi-orasi terus disuarakan oleh para mahasiswa hingga pukul 12.25 WIB.
“Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR,” tulis Trisakti, diakses Jumat, 16 Februari 2024,
Rombongan mahasiswa kemudian berjalan dengan tertib, sebelum long march mereka terhadang oleh dua barisan aparat kepolisan dengan tameng dan pentungan yang lengkap. Barisan depan menahan massa. Beberapa perwakilan Senat Mahasiswa Trisakti melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf.) A. Amril dan Wakalpolres Jakarta Barat. Hasil negosiasi adalah larangan long march yang juga diikuti masyarakat sipil itu karena dikhawatirkan akan memicu kemacetan di jalanan.
“Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Di lain pihak, pada saat yang hampir bersamaan, datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk,” tulis Trisakti.
Di hadapan para aparat, mahasiswa duduk dan melakukan aksi mimbar bebas spotan. Aksi damai itu berlangsung di depan kantor Wali Kota Jakarta Barat. Bunga-bunga mawar diberikan oleh para mahasiswi kepada aparat. Mimbar terus berjalan dengan diselingi teriakan yel-yel dan nyanyian-nyanyian, meski hujan turun. Massa mahasiswa dan aparat bersepakat, masing-masing menarik diri mundur. Para mahasiswa begerak mundur secara perlahan ke kampus.
“Namun tiba-tiba seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota aparat yang menyamar,” tulis Trisakti.
Insiden ini sempat redam, tapi di barisan aparat ada yang meledek dan menertawakan dengan berkata-kata kotor pada mahasiswa. Beberapa orang terpancing, yang lain menahan amarah. Dan di saat itulah aparat menyerang massa mahasiswa dengan tembakan dan melemparkan gas air mata. Kepanikan terjadi. Pukulan pentungan, penginjakan, hingga pelecehan seksual terjadi. Ketua SMUT, yang berada di antara aparat dan massa mahasiswa, tertembak oleh dua peluru karet di pinggang sebelah kanan. Satuan aparat bermotor bertuliskan URC mengejar mahasiswa pengunjuk rasa hingga pintu gerbang kampus.
“Aksi penyerbuan aparat terus dilakukan dengan melepaskan tembakan yang terarah ke depan gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus,” tulis Trisakti.
Bak sarang penjahat, kampus tempat menuntut ilmu diserbu aparat. Tembakan-tembakan memburu. Beberapa aparat berpakaian gelap tersebar di sekitar hutan (parkir utama), sementara sniper (penembak jitu) ada di atas gedung yang masih dibangun.
“Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musala dan dengan segera memadamkan lampu untuk sembunyi,” tulis Trisakti.
Ketika malam tiba, keadaan menjadi sedikit lebih aman. Mahasiswa mulai berani keluar dari ruangan-ruangan persembunyian mereka. Dialog terjadi antara Dekan Fakultas Ekonomi dengan Kol. Pol. Arthur Damanik. Para mahasiswa bisa pulang dengan syarat keluar dari kampus secara bergiliran dalam kelompok yang terdiri dari lima orang. Mereka yang menderita luka berat dilarikan ke Rumah Sakit Sumber Waras.
Baca Juga: Aktivis 1998 Ziarah ke Makam Korban Tragedi Trisakti di Bandung, Mereka Menolak Kebangkitan Orde Baru
Bandung Menjelang Reformasi 1998
"Royan Sudah Tidak Ada"
Di kamar Hafidin Royan di Sirnagalih, arsip belasungkawa dan kliping Tragedi Trisakti 1998 tersimpan rapi. Sebuah tulisan dari almarhum ayahanda menguraikan secara kronologis bagaimana kabar duka itu sampai ke keluarga.
Pagi hari seperti biasa, ketika hendak berangkat ke kantor, Enus mendapati tabung gas dan galon di rumah habis. Royan ia bangunkan untuk membantu mengangkat tabung gas elpiji dan galon ke mobil.
“Saya berangkat ke kantor (saya tidak dapat menduga bahwa saat itulah rupanya saya untuk terakhir kalinya bertemu Royan), dan siangnya ke Rumah Bersalin menengok cucu, yang baru lahir tanggal 9 Mei 1998,” tulis Enus.
Petang harinya, tak lama setelah Enus sampai di rumah dan bertemu dengan sang istri, magrib telah berkumandang. Dering telepon keras menyalak setelah keduanya selesai beribadah. Seorang teman Royan mengabarkan bahwa sang anak tertembak. Kondisinya seperti apa, ia tidak tahu. Enus dimita segera datang ke RS Sumber Waras.
Ketika Enus dan sang istri menunggu kedatangan mobil yang masih digunakan oleh sopir, tetangganya datang untuk mengantarkan mereka ke RS Sumber Waras. Mereka adalah orang tua Dodi, teman seangkatan Royan yang tinggal sekompleks di Cipayung. Ada perasaan cemas di sepanjang perjalanan itu, tapi semua prasangka buruk cepat-cepat ditepis.
“Ibu malah menyiapkan beberapa pakaian Royan dimasukkan tas untuk ganti Royan di RS,” tulis Enus.
Pukul 19.30 WIB, Enus dan Sunarmi sampai di rumah sakit. Dodi menyambut dan secara diam-diam menggengam tangan Enus sambil memberikan arloji Royan. “Saat itulah saya merasa Royan sudah tidak ada,” tulis Enus.
Setelah memperoleh konfirmasi kematian Royan dari Dodi, Enus terdiam sejenak. Lalu bersama istri, ia berjalan menuju ke ruang jenazah. Di sana, jenazah Royan terbaring berdampingan dengan Hendriawan Sie, Elang Mulya Lesmana, dan Hari Hertanto.
Enus menyingkap penutup kepala Royan dan melihat kain merah yang mengikat kepalanya. Mulanya ia berpikir kain ikat itu penanda seorang aktivis.
“Tapi akhirnya saya tahu bahwa Royan tertembak di pelipis kanan dan peluru tembus ke belakang kepalanya. Kain itu adalah perban yang sudah merah seperti dicelup darah,” tulis Enus yang ketika itu tak sanggup membendung cucuran air mata.
Royan diketahui tertembak sekitar pukul 17.15 WIB saat azan magrib berkumandang. Dari Dodi, Enus memperoleh informasi bahwa sang anak sudah menunaikan salat asar, dan katanya tidak seperti biasanya, salat terakhirnya itu lama sekali, “Alhamdulillah dia tidak punya utang salat pada hari-hari terakhirnya,” tulis Enus.
Setelah proses otopsi oleh Munim Idris, yang disaksikan oleh Sunarmi, jenazah Royan diberangkatkan ke Bandung keesokan harinya. Sebelum dimakamkan, bagian muka jenazah dibuka untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang ingin melihat Royan untuk terakhir kalinya. Ucapan belasungkawa mengalir dari mana-mana. “Karangan bunga karena banyak, akhirnya dijajarkan dari halaman (rumah) sampai ke makam,” tulis Enus.
Sampai hari ini makam Hafidin Royan di permakaman keluarga Sirnagalih masih terus diziarahi orang. Warga kampus Trisakti Jakarta secara rutin berkunjung setiap bulan Mei. Mereka juga terus mengusahakan agar Royan bersama tiga mahasiswa lain korban Tragedi Trisakti dianugerahi gelar pahlawan nasional.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang Reformasi