• Kolom
  • SUBALTERN #42: Marx dan Realisme

SUBALTERN #42: Marx dan Realisme

Apa yang hendak kita lihat adalah bagaimana problem Realisme telah menjadi duduk perkara Marx sejak bagian paling awal Kapital.

Derry Sulisti Adi Putra

Mahasiswa Sastra Indonesia UGM, Lingkar Belajar Pergerakan, juga pegiat Kelas Isolasi

Ilustrasi para pekerja. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

5 Maret 2024


BandungBergerak.id – Pemilu telah usai dan kita dengan jelas menyaksikan satu hal: dunia belum berganti rupa untuk kemenangan kita. Beragam variabel masih berada dalam posisi yang sama: adat dan paham tua belumlah lenyap serta kaum yang lapar dan terhina tak kunjung sadar bahwa mereka dibuat lapar dan dihinakan. Bila demikian adanya, apakah yang sungguh pasti di dunia? Lebih jauh, adakah yang sungguh pasti di dunia?

Saya tahu filsafat kerap menjemukan. Upaya menafsirkan dunia tanpa upaya mengubah dunia bukan hanya tidak berguna, melainkan juga bisa berbahaya. Akan tetapi, sebagaimana k*******e, filsafat adalah hantu. Seberapa pun Marx dibicarakan sebagai seorang sosiolog ataupun sebagai seorang ekonom, Marx tua adalah Marx muda: seorang filsuf. Sejak German Ideology hingga Empirio-Criticism, dari Kapital hingga Empire, sejak Madilog sampai Materialisme Dialektis dan Ontoantropologi, kegelisahan kaum yang lapar dan terhina masihlah sama: Adakah yang sungguh pasti di dunia? Maka ada baiknya bila kita tidak melewatkannya.

Bila kita perhatikan baik-baik, lirik Internasionale terjemahan Ki Hajar Dewantara menyajikan suatu medan problematika utama dari filsafat Marxis. Hal itu terangkum dalam larik “Dunia telah berganti rupa untuk kemenangan kita”. Apakah yang sesungguhnya dimaksudkan di sana? Apakah “kemenangan kita” datang setelah “dunia berganti rupa”, sehingga kondisi “lapar” dan “terhina” dapat diselesaikan oleh waktu? Ataukah justru sebaliknya, mengingat larik itu didahului oleh seruan “Lenyapkan adat dan paham tua”? Kita tahu bahwa setiap revolusi berlangsung di dunia lama dan bahwa hanya dunia lama itulah yang kita ketahui. Kita tak sungguh tahu seperti apa rupa dunia baru itu. Zizek menjelaskan momen semacam ini sebagai: “October Revolution, great promise! Sorry, Comrade Stalin is there raising up!

Tulisan ini bukanlah semacam penafsiran atas lirik Internasionale. Apa yang hendak kita lihat adalah bagaimana problem Realisme telah menjadi duduk perkara Marx sejak bagian paling awal Kapital.

Baca Juga: SUBALTERN #39: Hak Minoritas Menurut Will Kymlicka
SUBALTERN #40: Bagaimana Kekuasaan Bekerja?
SUBALTERN #41: Marginalisasi dalam Kognisi Manusia

Yang Primitif

Kita akan mulai dengan sedikit de tour pada Kapital. Sejak Bab 1 Kapital, kita dihadapkan pada suatu persoalan: Bagaimana mungkin dua buah kursi dapat dipertukarkan dengan sebuah meja? Menurut Marx, apa yang memungkinkannya adalah adanya suatu hal yang sama dalam dua barang yang dipertukarkan tersebut. Hal itulah yang kita kenal sebagai nilai. Nilai suatu meja itu merupakan hasil dari penjumlahan segala hal yang memungkinkan keberadaan meja itu sendiri. Dalam rantai produksi, kita tahu bahwa suatu meja mengandaikan adanya bahan baku, alat produksi, dan tentu saja tenaga-kerja. Pada akhirnya, bila kita menelusuri asal-usul dari ketiganya, ada dua sumber dari nilai, yaitu alam dan manusia. Alam memiliki kayu dan besi, lalu manusia mengubahnya, dengan tenaganya, menjadi banyak jenis hal, seperti kayu gelondongan, mesin pemotong kayu, serta meja. Hingga titik ini, kita tahu bahwa asal-usul dari banyak hal yang kita lihat dan gunakan dalam kehidupan sehari-hari didominasi oleh peran tenaga-kerja.

Hari ini, kita menyaksikan bagaimana suatu rantai produksi berjalan dengan melibatkan tenaga-kerja yang dimiliki pekerja serta bahan baku dan alat produksi yang dimiliki oleh pengusaha. Andaikan bahwa Anda adalah seorang pembuat kursi yang membutuhkan uang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan bos Anda adalah pemilik banyak batang gelondong pohon jati serta segenap alat untuk membuat kursi. Andaikan pula bahwa sebuah kursi memiliki nilai 200, maka berapakah upah yang Anda terima setelah membuat 5 buah kursi? Bila Anda menjawab 1000, maka Anda telah keliru.

Tidak ada yang salah dengan keterampilan aritmatika Anda. Apa yang keliru adalah bahwa 1000 merupakan hasil penjualan 5 buah kursi, sehingga memberi Anda upah 1000 adalah pintu kebangkrutan bos Anda. Maka dari itu, secara rasional, bos Anda akan mengambil, dari 1000, sejumlah nilai yang sebanding dengan nilai bahan baku, alat produksi, dan laba yang dapat diperolehnya. Mengapa laba? Sebagaimana Anda yang menggunakan sesuatu yang Anda punya untuk mendapatkan sesuatu yang lain, bos Anda juga demikian. Sejauh ini, segalanya masih rasional. Tapi, apakah Anda merasakan keanehan? Ya, jumlah nilai yang bos Anda miliki berakumulasi, namun tidak dengan nilai yang Anda miliki. Hal ini terjadi karena jumlah upah Anda bukanlah jumlah nilai yang seharusnya, yaitu 1000, melainkan selisih antara nilai yang diproduksi dengan jumlah nilai alat produksi, bahan baku, dan laba. Jadi, apabila Anda mengganti 1000 dengan gaji dua digit, misalnya 25 juta, Anda tetaplah tidak akan sekaya bos Anda sejauh 25 juta tersebut berasal dari formula yang sama. Nilai yang diambil dari nilai yang seharusnya Anda miliki sebagai hasil kerja Anda biasa dikenal sebagai nilai-lebih dan untuk mengakumulasi kekayaan biasa kita kenal dengan pencurian nilai-lebih. Kemudian, segenap sistem relasi produksi serta formula yang memungkinnya (dan mengandaikannya) sebagai kapitalisme.

Bagaimana ini menjadi sedemikian lumrah? Marx mengajak kita untuk memeriksa kembali variabel-variabel dalam rantai produksi. Anda memiliki tenaga-kerja, sedang bos Anda memiliki alat produksi dan bahan baku. Pada akhirnya, tiga variabel tersebut dapat diterjemahkan kepada satu variabel, yaitu uang. Dengan demikian, uang bos Anda digunakan untuk membeli alat produksi, bahan baku, dan tenaga-kerja. Itulah yang menjadi sumber untuk upah Anda. Ketiga variabel tersebut berinteraksi bersama dalam proses produksi komoditas yang ujungnya adalah nilai. Kita tentu tahu bahwa nilai itu perlu ditukar dengan…uang, uang, uang, dan uang. Pertanyaannya: darimanakah asal modal awal bos Anda yang menjadi titik mula keseluruhan proses produksi? Secara historis, kita tahu bahwa orang kaya sudah ada sebelum kapitalisme ada. Siapakah “orang kaya” itu? Pihak paling nyana dari kelompok ini adalah para feodal yang mendapatkan semuanya melalui sejarah panjang perampasan, pendudukan, pembantaian, dan segenap cerita berdarah lainnya. Inilah yang biasanya dikenal dengan akumulasi primitif.

Perlu dicatat bahwa akumulasi primitif menjadi sedemikian primitif bukan karena posisinya dalam linimasa sejarah, melainkan karena ia senantiasa ada sejauh kapitalisme ada, sebagaimana atom selalu ada dalam setiap materi. Bagaimana ia bekerja? Andaikan suatu masa sebelum ada feodalisme, semua orang bekerja dengan tujuan memenuhi kebutuhannya sendiri. Akan tetapi, dengan feodalisme, sarana pemenuh kebutuhan itu dimiliki oleh pihak tertentu. Para feodal tersebut pada akhirnya mempertukarkan sarana pemenuh kebutuhan untuk keuntungannya di pasar. Sementara itu, orang yang bukan termasuk para feodal perlu mempertahankan hidup dengan cara bekerja pada para feodal tersebut. Di sini, terjadi perubahan, yaitu bahwa suatu pekerjaan tidak lagi menjadi upaya menghasilkan barang yang memenuhi kebutuhan, melainkan menghasilkan barang yang dapat dipertukarkan di pasar. Dalam Marx, tipe kerja yang pertama disebut sebagai kerja konkret dan yang kedua sebagai kerja abstrak. Perubahan dari kerja konkret menuju kerja abstrak itulah yang merupakan arti penting dari akumulasi primitif. Dengan kata lain, akumulasi primitif membuat dua hal yang proses produksinya berbeda sama sekali, misalnya 1 kg daging sapi dan 10 kg beras, dapat dipertukarkan satu sama lain. Hal ini dapat dianggap sebagai perubahan dari hal yang bersifat kualitatif, sehingga tidak dapat dibandingkan, menjadi hal yang bersifat kuantitatif, sehingga dapat dibandingkan. Perubahan inilah yang menjadi medan problematika kita.

Saya tidak hendak bergerak lebih panjang dengan teks Marx. Uraian sebelumnya saya buat hanya untuk memunculkan pertanyaan baru: Bagaimanakah dua hal yang secara kualitatif berbeda dapat dibandingkan satu sama lain? Pertanyaan ini mengandaikan dua sifat hal ihwal, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Apabila Kapital hendak dipahami sebagai proyek filsafat, maka Kapital dapat dianggap sebagai proyek metafisika untuk menemukan mekanisme perubahan sifat suatu entitas dari kualitatif menjadi kuantitatif.

Yang Terlupakan

Ketika dua jenis barang yang berbeda hendak dipertukarkan, ketika itulah diperlukan adanya suatu parameter yang memungkinkan penukarannya menjadi setara. Jadi, 10 kg beras dianggap setara dengan 1 kg daging sapi. Apakah penyetaraan ini berhasil? Sungguhkah 10 kg beras = 1 kg daging sapi? Dengan kata lain, apakah x = y?

Bila kita menengok kembali skenario pembuat kursi, apakah tenaga-kerja yang dicurahkan untuk membuat 5 buah kursi setara dengan upah yang diberikan untuk membuat 5 buah kursi? Kita tahu bahwa keduanya tidak sebangun. Apabila sebuah kursi bernilai 200, maka upah yang lebih rendah dari 1000 untuk membuat 5 buah kursi mengindikasikan ketidaksebangunan nilai. Inilah contoh umum dari suatu hal yang biasa kita kenal sebagai eksploitasi.

Bagaimana eksploitasi bermula? Untuk memungkinkan kalkulasi atas ketidaksebangunan upah dibanding dengan nilai-kerja, kita perlu bersandar pada sifat kuantitatif keduanya. Pada bagian sebelumnya, kita melihat bagaimana akumulasi primitif memainkan peran penting dalam mengubah yang-kualitatif menjadi yang-kuantitatif.

Bagaimana perubahan ini bekerja? Secara kasar, kita tahu bahwa hal ini bekerja dengan beragam peristiwa kekerasan. Apa yang terjadi dalam peristiwa kekerasan itu bukan hanya mengusaikan hidup orang lain. Lebih jauh, akumulasi primitif membuat suatu hal yang memiliki sejarah tercerabut dari sejarahnya sendiri. Dalam skenario usaha kursi sebelumnya, andaikan bahwa si bos mendapatkan bahan baku berupa gelondongan pohon dari kebun miliknya sendiri. Akan tetapi, karena mengurus bisnis yang besar, maka si bos perlu tenaga orang lain untuk mengurus kebun hingga memotong-motong kayu hingga sesuai ukuran yang dibutuhkan pabrik kursi. Dengan mekanisme yang sama sebagaimana yang telah dibicarakan sebelumnya, apakah si bos akan memberi upah yang sebangun dengan nilai kayu ketika masuk ke pasar sebagai kursi? Tentu tidak, dengan penalaran yang sama dengan ketidaksebangunan upah untuk pembuat kursi.

Dalam mekanisme produksi yang semacam ini, apakah yang tersisa bagi pemotong kayu dan pembuat kursi? Tidak lain dan tidak bukan hanyalah mempertahankan hidup. Para pekerja tersebut tidak lagi memiliki waktu untuk hidup sesuai dengan apa yang mereka inginkan, misalnya berburu ubur-ubur. Mereka tidak memiliki waktu selain untuk bekerja — selain menjadi robot. Inilah yang kita kenal sebagai alienasi.

Apakah X Ada?

Sejauh ini, telah kita lihat bagaimana akumulasi primitif tidak hanya mengubah kerja konkret menjadi kerja abstrak serta memungkinkan pencurian nilai lebih, melainkan juga penghapusan segala potensi yang dimiliki manusia dalam hidupnya. Dengan akumulasi primitif, potensi manusia direduksi menjadi potensi kerja manusia untuk berkontribusi dalam akumulasi kekayaan pemilik modal.

Secara filosofis, pertanyaan yang perlu dihadapi adalah apakah suatu kuantifikasi selalu menghasilkan alienasi? Di hadapan sejarah dan, dengan demikian, perbedaan kualitatif, apakah segala macam perhitungan menjadi tidak mungkin sama sekali? Dalam arti inilah persoalan yang diajukan Marx dalam Kapital menjadi persoalan Realisme.

Sejauh kapitalisme bekerja, realisme juga turut menjadi salah satu hal yang mesti dipikirkan. Saya tentu tidak mengklaim bahwa membangun realisme sama dengan mengentaskan kapitalisme. Apa yang saya ketengahkan adalah bahwa terdapat suatu jenis realisme yang berada tepat di jantung kapitalisme, sehingga realisme menjadi medan perjuangan yang juga layak dipikirkan.

* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//