• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Memahami Praktik Perampasan Aset dalam Pemberantasan Korupsi dan Kejahatan Keuangan

MAHASISWA BERSUARA: Memahami Praktik Perampasan Aset dalam Pemberantasan Korupsi dan Kejahatan Keuangan

Perampasan aset mengikuti aturan KUHP memakan waktu yang panjang. Memudahkan terdakwa menyembunyikan aset yang didapat dan digunakannya dari tindak pidana.

Michael Christian

Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Plang yang terpasang di depan Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1A Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jalan R.E. Martadinata, Citarum, Kota Bandung, Selasa (12/7/2022). (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

8 Maret 2024


BandungBergerak.id – Perampasan aset adalah proses hukum yang melibatkan pemerintah atau otoritas penegak hukum untuk mengambil alih atau menyita aset yang diduga diperoleh melalui kegiatan ilegal, seperti korupsi, pencucian uang, atau kejahatan keuangan lainnya yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara. Beberapa ketentuan pidana telah mengatur mengenai kemungkinan untuk melakukan penyitaan dan perampasan hasil dan alat yang digunakan dalam sebuah tindak pidana korupsi. Ketentuan tersebut terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pidana tambahan. Selain diatur dalam KUHP, ketentuan mengenai perampasan aset hasil tindak pidana juga diatur dalam masing-masing ketentuan hukum pidana yang tersebar dalam undang-undang yang khusus mengaturnya. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch sepanjang tahun 2021, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 62,9 triliun. Namun, hanya Rp 1,4 triliun yang berhasil dikembalikan kepada negara (Kompas.id, 2022). Artinya, hanya 2,2 persen kerugian negara yang berhasil dikembalikan.

Perlu dipahami bahwa dalam praktiknya aparat penegak hukum sangat sulit untuk melakukan perampasan aset hasil tindak pidana yang telah dikuasai oleh pelaku tindak pidana. Kesulitan yang ditemui dalam upaya perampasan aset hasil tindak pidana sangat banyak, seperti kurangnya instrumen dalam upaya perampasan aset hasil tindak pidana, belum adanya kerja sama internasional yang memadai, dan kurangnya pemahaman terhadap mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana oleh aparat penegak hukum, serta lamanya waktu yang dibutuhkan sampai dengan aset hasil tindak pidana dapat disita oleh negara, yaitu setelah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Sebagai perwujudan dari keinginan parlemen untuk mendukung upaya perampasan aset, saat ini muncul komitmen pemerintah untuk melakukan pengaturan mengenai perampasan aset hasil tindak pidana dalam undang-undang tersendiri. Usulan untuk membentuk undang-undang mengenai perampasan aset hasil tindak pidana terlihat dengan adanya persetujuan untuk memasukkan Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana pada Prolegnas 2009-2014. Dalam rentang 5 tahun tersebut, walaupun telah masuk dalam prolegnas Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset tidak juga dibahas walaupun drafnya telah diajukan pada tahun 2012.

Dalam hal mendukung data dari Indonesia Corruption Watch yang menilai pemulihan kerugian keuangan negara belum dilakukan secara optimal. Menurut pakar hukum Universitas Padjadjaran, kenyataannya upaya penegakan hukum khususnya terhadap tindak pidana korupsi tidak juga membuahkan hasil yang signifikan terhadap kas negara (Romli Atmasasmita, 2007). Selain itu, Romli menyatakan juga bahwa perangkat hukum yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu secara maksimal mengatur dan menampung kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembalian aset hasil korupsi dan kejahatan di bidang keuangan dan perbankan pada umumnya.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Pendekatan Restorative Justice dalam Penggunaan Hukum Pidana, Belajar dari Keadilan Rehabilitatif di Norwegia
SUARA MAHASISWA: Eksibisionisme dalam Perspektif Etika Masyarakat dan Hukum
Catatan Akhir Tahun 2023 LBH Bandung: Masyarakat Terjerat Hukum, Penguasa Mendulang Berkah

Praktik Perampasan Aset di Indonesia

Dalam sistem hukum di Indonesia, perampasan aset merupakan bagian dari pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu hasil tindak pidana. Hal ini berlaku umum bagi setiap tindak pidana yang terjadi dalam ranah hukum pidana di Indonesia dengan tujuan memulihkan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang telah terbukti melalui putusan pengadilan yang mengikat sehingga pelaku tidak dapat menikmati hasil tindak pidana tersebut. Konsekuensi dari pidana tambahan adalah bahwa pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri dan selalu mengikuti perkara pokok, artinya pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan bersamaan dengan pidana pokok. Perampasan aset hasil kejahatan hanya dapat dilakukan apabila perkara pokok diperiksa dan terdakwa terbukti bersalah, maka barang yang didapatkan dari hasil kejahatan oleh pengadilan dapat ditetapkan agar dirampas oleh negara untuk dimusnahkan atau dilakukan tindakan lain agar barang atau aset tersebut dapat digunakan untuk kepentingan negara dengan cara menghibahkan atau melakukan lelang atas aset hasil tindak pidana.

Dalam ketentuan yang ada dalam hukum pidana di Indonesia, perampasan akan barang tertentu hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, selama proses penegakan hukum atas sebuah tindak pidana dapat dilakukan tindakan lain yaitu penyitaan. Penyitaan merupakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengambil alih dan menyimpan benda (aset) untuk kepentingan pembuktian dalam proses penegakan hukum baik pada tahapan penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Hal tersebut bersifat sementara yang hanya dapat dilakukan dengan izin dari ketua pengadilan negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak dapat dilakukan penyitaan terlebih dahulu baru kemudian penyitaan yang telah terjadi dilaporkan pada ketua pengadilan negeri setempat guna mendapatkan persetujuan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyitaan terdapat pada Pasal 39 KUHP. Pasal tersebut mengatur mengenai ketentuan barang-barang yang dapat dikenakan penyitaan. Barang-barang tersebut adalah benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana; benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Benda sitaan dapat dikembalikan kepada orang yang paling berhak ketika penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan benda sitaan tersebut. Selain itu, barang sitaan juga dapat dikembalikan ketika peristiwa yang terjadi tidak jadi dituntut karena dinyatakan tidak cukup bukti dan dinyatakan bukan berasal dari tindak pidana. Kondisi lain di mana barang sitaan dapat dikembalikan adalah ketika terjadi pengesampingan perkara demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

Dengan menggunakan mekanisme ini, maka perampasan aset hasil tindak pidana tidak maksimal karena benda yang dapat disita dan dirampas hanya benda yang memiliki keterkaitan langsung dengan sebuah tindak pidana. Hal ini menjadi kendala bagi aparat penegak hukum yang melakukan penyitaan atau perampasan karena memilah antara barang yang berkaitan langsung atau barang yang tidak memiliki kaitan langsung dengan tindak pidana membutuhkan waktu lama, sedangkan sifat dari penyitaan dan perampasan aset membutuhkan kecepatan agar aset yang ada tidak berpindah tangan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyitaan terhadap barang atau aset hasil tindak pidana korupsi.

Dengan menggunakan mekanisme yang ada dalam KUHAP, praktik perampasan aset hasil tindak pidana membutuhkan waktu yang sangat lama, karena waktu yang dibutuhkan untuk sebuah perkara sampai memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan mengikat bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan dalam hitungan tahun. Panjangnya waktu yang dibutuhkan, memudahkan terdakwa untuk menyembunyikan aset yang didapatkan dan digunakannya dalam tindak pidana sehingga tujuan awal dari perampasan aset, yaitu merampas hasil kejahatan yang bukan menjadi haknya, sulit untuk tercapai karena pelaku sudah melakukan upaya untuk melarikan/menyembunyikan aset tersebut.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//