• Berita
  • Catatan Akhir Tahun 2023 LBH Bandung: Masyarakat Terjerat Hukum, Penguasa Mendulang Berkah

Catatan Akhir Tahun 2023 LBH Bandung: Masyarakat Terjerat Hukum, Penguasa Mendulang Berkah

Masyarakat menghadapi politisasi hukum oleh penguasa. Di akar rumput LBH Bandung mencatat 134 pengaduan terkait persoalan hukum yang dihadapi masyarakat.

Direktur LBH Bandung Lasma Natalia memberi sambutan pada kegiatan Catatan Akhir Tahun 2023 bertajuk Politisasi Hukum Berkah untuk Penguasa, Nestapa untuk Rakyat, di Kantor LBH Bandung, Jumat, 5 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul6 Januari 2024


BandungBergerak.id - Kasus hukum yang dihadapi masyarakat erat kaitannya dengan politisasi hukum yang terjadi di negeri ini. Tidak sedikit undang-undang atau regulasi yang memayungi kepentingan penguasa. Sementara masyarakat harus menelan nestapa.

Hal itu menjadi tema catatan akhir tahun (Catahu) 2023 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung yang dirilis di Kantor LBH Bandung, Jumat, 5 Januari 2024. Dari data catahu lembaga pengacara publik ini terlihat kondisi masyarakat tidak sedang baik-baik saja. Kondisi tersebut juga muncul dari refleksi dan tanggapan peserta yang menghadiri agenda rilis Catahu LBH Bandung.

“Ada kebijakan Cipta Kerja, Minerba, ada kebijakan yang sampai teman-teman mau bikin rumah ibadah sulit, di Bandung. Catatan ini juga bicara tentang energi, dari mana sumbernya, ada catatan kotor di situ. Semua hal itu berdasarkan dari politik kebijakan yang diturunkan melalui hukum. Yang kemudian kami yakin ini sebagai politisasi hukum,” ungkap Kepala Divisi Penanganan Kasus LBH Bandung Muit Pelu.

Menurut Muit, politisasi hukum telah mencengkeram rakyat. Dalam menghadapinya, masyarakat perlu membuat pertemuan antara kelompok dari lintas isu. Misalnya kelompok yang fokus dengan isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) bertemu dan berdiskusi dengan kelompok dengan fokus isu lingkungan. Dengan begitu persoalan yang dialami menjadi persoalan bersama, bukan hanya oleh kelompok dengan isu terkait.

Pengaduan dan Pendampingan Kasus

Mengenai jumlah dan jenis kasus yang ditangani LBH Bandung sepanjang 2023 lalu, total ada 134 pengaduan dengan sembilan kasus yang didampingi. Dari jumlah kasus tersebut, penerima manfaat dari bantuan struktural LBH Bandung berjumlah sebanyak 1.323 orang.

Staf internal LBH Bandung Fariz Hamka menerangkan, data tersebut dihumpun sepanjang November 2022 hingga Oktober 2023. Data kemudian diklasifikasikan ke dalam kasus individu sekaligus yang paling mendominasi sebanyak 126 pengaduan dan klasifikasi kelompok sebanyak delapan pengaduan.

Berdasarkan gender terdapat 68 perempuan dan 65 laki-laki. Adapun berdasarkan pekerjaan pengadu, profesi yang paling tinggi adalah tidak bekerja sebanyak 41 orang, karyawan swasta sebanyak 30 orang, wiraswasta dan buruh masing-masing sebanyak 17 orang, dan pedagang sebanyak 13 orang.

Profesi yang tidak bekerja kebanyakan terjerat persoalan pinjaman online (pinjol), penggelapan, dan penipuan. Berdasarkan jenis masalah hukum pencari bantuan hukum, 61 di antaranya pada rumpun pidana, 60 pengaduan pada rumpun perdata, dan 13 pengaduan pada rumpun tata usaha negara (TUN).

Fariz memaparkan, rumpun pidana yang paling tinggi adalah penggelapan berjumlah 13 orang, penipuan 10 orang, penganiayaan 9 orang, kejahatan kesusilaan 7 orang, wanprestasi 5 orang.

“Rumpun TUN terklasifikasi pada kasus kepegawaian 6, persoalan tanah lahan dan perumahan 4, persoalan lingkungan/kehutanan/pertambangan 2, dan kebijakan pemerintah 1. Sedangkan pada rumpun perdata yang paling tinggi adalah hutang piutang 16, hubungan industrial/perburuhan 9, warisan 7, pertanahan dan perumahan 6, dan lain-lain 5,” terang Fariz.

Entitas aktor yang menjadi pelanggar hukum yang paling tinggi adalah individu/kelompok dalam posisi yang memiliki kekuasaan sebanyak 23 individu/kelompok, 21 organisasi/komersial yang terdiri dari 14 korporasi, 5 korporasi lokal atau nasional serta 2 korporasi transnasional, individu/kelompok dalam posisi yang memiliki kekuasaan dalam lingkungan keluarga/domestik 11, dan tidak diketahui sebanyak 8.

Fariz pun menjabarkan jumlah rincian penerima manfaat dari sembilan kasus yang didampingi dan diadvokasi oleh LBH Bandung. Penerima manfaat terbanyak pada konflik tanah Dago Elos sebanyak 3.000 KK, konflik agraria Cikandang, Garut sebanyak 300 korban, gugatan perlawanan eksekusi oleh CV. Makmur Abadi terhadap putusan PHI sebanyak 53 korban, dan permasalahan upah PT. Nirwana Alabare Garment 44 korban.

Permasalahan upah dan PHK pekerja CV. Sandang Sari sebanyak 37 korban, pendampingan mahasiswa aksi penolakan KUHP sebanyak 17 korban, kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 3 korban, penganiayaan, penggelapan, dan perampasan hak penyandang difabel KUBCA Samakta 3 korban, dan Kasus Berbasis Gender di sebuah kafe atau guest house sebanyak satu korban.

Baca Juga: Implementasi UU TPKS Belum Maksimal Menyelesaikan Kasus Kekerasan Seksual
Ada yang Luput dari UU TPKS, Hak Kesehatan Korban Harus Dikawal
UU TPKS Bukanlah Teori atau Aturan Tertulis Semata

Persoalan Kelompok Difabel dan Gender

Staf penanganan kasus LBH Bandung Maulida Zahra menjabarkan tentang penanganan kasus kelompok rentan dan gender serta analisa pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Maul, demikian ia kerap disapa menceritakan kasus diskriminasi kerja yang dialami oleh difabel bernama Juna (bukan nama sebenarnya).

Juna merupakan penyandang difabel Tuli yang bekerja pada ND, pemilik guest house dan perkumpulan bagi orang dengan disabilitas di wilayah Bandung selama kurang lebih 20 tahun. Selama bekerja pada ND, Juna banyak mengalami diskriminasi dan dipekerjakan dengan upah tidak layak.

Sepanjang Agustus-November, Juna dan teman-temannya mengumpulkan keberanian dan bukti untuk melaporkan mantan bosnya ke polisi dan UPTD Pengawas Ketenagakerjaan. Sayangnya upaya di UPTD Pengawas Ketenagakerjaan tak bisa diproses karena ia dan teman-temannya tak lagi bekerja di sana.

Persoalan tidak berhenti di sana. Juna melaporkan dugaan tindak pidana penggelapan dan perampasan hak difabel ke polisi. Sayangnya kasus ini tidak didaftarkan sebagai laporan, tetapi sebagai pengaduan. Juna pun terkendala oleh saksi dan bukti yang mereka laporkan.

Maul menilai polisi masih asing dengan penanganan perkara difabel dan kurang memahami penggunaan Undang-udang no. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

“Secara praktik penegakan hukumnya masih banyak yang belum memahami tentang undang-undang ini. Faktanya masih banyak yang abai terhadap UU tersebut, bisa dilihat seorang pemimpin perkumpulan bagi orang dengan disabilitas melanggar-hak-hak yang jelas-jelas ada. Selain itu negara turut serta tidak melindungi orang dengan disabilitas dengan lamanya proses di kepolisian dan pembiaran pengancaman yang dialami oleh Juna dan kawan-kawan,” terang Maul.

Staf internal LBH Bandung Fariz Hamka tengah memaparkan jumlah pengaduan sepanjang 2023 pada Catatan Akhir Tahun 2023 bertajuk Politisasi Hukum Berkah untuk Penguasa, Nestapa untuk Rakyat, di Kantor LBH Bandung, Jumat, 5 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Staf internal LBH Bandung Fariz Hamka tengah memaparkan jumlah pengaduan sepanjang 2023 pada Catatan Akhir Tahun 2023 bertajuk Politisasi Hukum Berkah untuk Penguasa, Nestapa untuk Rakyat, di Kantor LBH Bandung, Jumat, 5 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Maul juga menjelaskan persoalan penanganan kasus gender yang ditangani LBH Bandung. Laporan tersebut masuk ke LBH pada bulan Mei 2023, tepat setahun setelah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan. Sayang, kata Maul, sayangnya dalam praktiknya UU TKPS sulit dilaksanakan sebab banyak polisi yang masih belum tahu tentang UU ini.

Korban melapor ke polisi dengan menggunakan pasal 14 ayat (1) UU TPKS. Upaya pertama yang dilakukan hanya sampai pada tahap konsultasi dengan salah satu penyidik yang belum mengetahui UU TPKS. Maul menyebut, penyidik tersebut mengaku tak bisa menerima laporan karena takut salah pasal.

Padahal sudah ada bukti yang diserahkan dan banyak saksi di tempat kejadian. Maul menyebut polisi masih gagap dalam memproses tindak pidana kekerasan berbasis gender yang berdampak merugikan korban. Seharusnya korban bisa mendapatkan perlindungan dari polisi, bukan sebaliknya.

Dengan kondisi tersebut Maul menyimpulkan negara masih belum bisa memberikan jaminan perlindungan kepada perempuan. “Hingga saat ini, negara masih tidak bisa memberikan jaminan perlindungan kepada warga negaranya. Lantas negara sudah ingkar janji pada kaum perempuan,” ungkap Maul.

*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain tentang LBH Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//