• Nusantara
  • Ada yang Luput dari UU TPKS, Hak Kesehatan Korban Harus Dikawal

Ada yang Luput dari UU TPKS, Hak Kesehatan Korban Harus Dikawal

Aparat penegak hukum kerap kali menyudutkan korban. Hak korban atas kesehatan reproduksi bagi korban juga perlu diperinci dalam PP atau Perpres TPKS.

Konferensi Internasional Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, ICIFPRH 2022, di Yogyakarta, Rabu (24/8/2022). Hak kesehatan reproduksi bagi korban kekerasan seksual mesti dituangkan di dalam PP dan Perpres TPKS. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau31 Agustus 2022


BandungBergerak.idJalan panjang menuju pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) akhirnya terwujud, setelah DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang TPKS pada 12 April 2022. Meski begitu, dalam undang-undang TPKS beberapa persoalan masih perlu dikawal, di antaranya kejelasan atas hak kesehatan terhadap korban.

Sri Nurherwati, mantan Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan pengesahan UU TPKS dilatarbelakangi oleh pro dan kontra berbagai pihak terutama pemangku kebijakan. UU ini bahkan dibenturkan dengan berbagai persoalan moralitas, seperti an dianggap melegalkan perzinahan oleh beberapa pihak. Maka perancangan UU TPKS banyak molornya.

Padahal, menurut Sri sejatinya membahas tentang persoalan kekerasan seksual juga sama halnya dengan membahas persoalan kesehatan reproduksi yang masih dianggap tabu dan tidak mendapat porsi dalam pembincangannya di masyarakat maupun pemerintah.

Tanpa disadari, hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual. Selama ini, Indonesia sendiri belum memiliki payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dapat menjangkau persoalan relasi kuasa yang juga menjadi salah satu penyabab perempuan menjadi korban kekerasan.

“Karena dalam pembahasan TPKS ini penuh dinamika sampai ke relung hati, taruhannya nilai moralitas, isu-isu soal agama seolah akan dilepas. Padahal kita sebenarnya sedang berbicara mengenai kesehatan reproduksi,” ungkap Sri Nurherwati, dalam Konferensi Internasional Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, ICIFPRH 2022, di Yogyakarta, Rabu (24/8/2022).

Beberapa tantangan dalam implementasi UU TPKS salah satunya mengenai perspektif aparat penegak hukum yang kerap kali menyudutkan korban. Tak hanya itu, dalam UU TPKS sendiri belum dijelaskan secara rinci mengenai definisi seksualitas, salah satunya, pasal perbuatan seksual tidak diurai secara detail karena semua pihak dianggap paham sehingga berpotensi membuat tafsiran sendiri-sendiri.

Persoalan lainnya yang perlu dikawal lebih jelas yakni hak korban dan hak kesehatannya. Belum dijelaskan secara pasti bagaimana korban mendapat hak kesehatan. Contohnya menganai hak aborsi yang aman. Sehingga hal ini perlu dikawal dalam turunannya di Peraturan Pemerintah (PP) dan peraturan presiden (Perpres).

“Kita lihat bahwa dalam aborsi aman, korban memliki hak untuk dipulihkan. Bisa mendorong aborsi aman di dalam PP. Itu merupakan hak korban yang mesti dipenuhi. Penangannan aborsi aman masuk dalam perwatan medis yang harus dipenuhi,” ungkapnya.  

Ia menegaskan, keberadaan UU TPKS penting untuk peradaban. Karenanya, unsur pendidikan kesehatan reproduksi menjadi isu utama. Pendidikan ini harus menjangkau semua kalangan, termasuk aparat penegak hukum. Sehingga kesehatan reproduksi harus dimuat di dalam PP atau Perpres sebagai turunan dari UU TPKS.

Akses Pemulihan Bagi Korban Kekerasan Seksual

Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah masuk level darurat. Menurut Dewan Etik Forum Pengada Layanan, Suharti, dalam 3 jam ada 1 perempuan diperkosa di Indonesia.

Dalam survei perspektif laki-laki dan perempuan yang dilakukan oleh Lembaga Penyedia layanan Rifka Anisa terhadap 3 ribu laki-laki, ditemukan bahwa satu banding tiga orang laki-laki pernah melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan.

Temuan tersebut menunjukkan betapa banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan, melingkupi aspek kesehatan, mulai dari psikologis, trauma depresi, dan lainnya. Tak hanya itu, dampak lainnya ada banyak kehamilan yang tidak diinginkan, juga kasus-kasus infeksi menular seksual.

Menurut Suharti, dalam pemulihan korban kekerasan seksual, ada tiga hal utama yang mesti dikuatkan. Pertama, layanan hukum yang disediakan oleh kepolisian, pengacara, dan lainnya. Kedua, layanan psikososial yang disediakan oleh banyak lembaga layanan nonpemerintah, misalnya lembaga layanan yang berada di bawah koordinasi Forum Pengada Layanan (FPL). Kemudian, pemerintah melalui PPA menyediakan layanan psikologis. Ketiaga, layanan medis.

“Nah tiga kebutuhan dasar itu wajib dipenuhi ketika kita melakukan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual. Kita selalu mengatakan itu sebagai layanan tripartit, jadi hukum, psikologis dan medis itu wajib ada, agar pemulihan bagi korban KS (kekersan seksual) komperhensif,” ungkap Suharti.

Beberapa kondisi yang terjadi di lapangan, menurut Suharti, banyak kasus kekerasan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginakan itu sulit ditemukan. Tidak ada data tersedia. Ini menjadi persoalan, bagaimana bisa mendesain layanan yang baik bagi korban ketika memahami besaran kasusnya saja agak kesulitan. Persoalan lainnya, layananan kesehatan reproduksi yang komperhensif tidak tersedia secara meluas.

“Jadi yang kita bayangkan di layanan bagi perempuan korban KS itu ada layanan terpadu, entah itu satu atap atau yang satu pintu tadi, yang menyediakan banyak layanan termasuk tiga kebutuhan dasar itu. Yang di dalamnya harusnya ada kesehatan reproduksi komperhensif, tapi kenyataannya itu tidak tersedia secara meluas,” ungkapnya.

Di beberapa daerah seperti yang dilakukan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Yogyakarta, misalnya, telah memiliki buku panduan yang terintegrasi. Di dalam buku diatur mengenai pembagian tugas antarinstansi, termasuk di dalamnya tertulis dengan jelas layanan kesehatan reproduksi, salah satunya hak aborsi bagi korban kekerasan seksual.

Selain Yogyakarta, ada Semarang, Batanga, yang sudah memiliki layanan terpadu tersebut. Di luar daerah tersebut, layanan serupa masih sulit ditemukan. Begitu juga dengan masih jarangnya layanan kesehatan reproduksi.

Banyak lembaga layanan belum mengerti mengenai adanya masa emas 72 jam bagi korban kekerasan seksual. Masa ini harus digunakan agar perempuan korban kekerasan bisa terhindar dari kehamilan yang tidak diinginkan.

“Ini saya kira jadi PR besar kita, bagaimana ini bisa disosialisasikan secara meluas, mengaksesnya di mana, cara menggunakannya gimana. Bagaimana kemudian 72 jam itu betul-betul dimanfaatkan secara baik, sehingga secara psikologis, kesehatan, dan hukum hak-hak korban bisa terpenuhi," paparnya.

Tantangan lainnya, kerap kali korban kekerasan seksual yang datang ke pihak layanan dengan usia kehamilan yang sudah di atas tiga bulan. Hal ini menjadi persoalan, karena dalam undang-undang kesehatan yang hanya mengatur ketentuan aborsi 40 hari.

Kerap kali petugas layanan kurang sensitif dalam melayani korban kekerasan seksual. Misalnya, jika korban tidak mengatakan bahwa dirinya terlambat menstruasi, maka ia tidak akan diperiksa. Pada akhirnya ketika terjadi kehamilan, sudah tidak memungkinkan untuk mendapat layanan sebagaimana yang tercantum dalam UU Kesehatan.

Baca Juga: Menagih Peran Negara Menangani Kekerasan Seksual
Perjuangan Panjang Menghapus Tabu Kejahatan Seksual di Kampus
Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat

Integrasi Peradilan Pidana dan Pemulihan Korban

Suharti mengatakan, pihaknya di Forum Pengada Layanan sejak 6 tahun lalu telah membuat sistem peradilan pidana terpadu bagi korban kekerasan seksual, bekerja sama dengan Komans Perempuan. Layanan ini terintegrasi dengan peradilan pidana dan pemulihan korban.

Pada praktiknya, banyak daerah yang tidak berani mengintegrasikan layanan peradilan pidana ini. Praktik ini memerlukan inisiatif dari aparat penegak hukum (APH) beserta layanan pemulihan untuk diatur dalam satu regulasi di daerah, misalnya dalam Peraturan Daerah (Perda) atau Pergub. Di Indonesia, daerah yang sudah berani melakukan integrasi peradilan pidana dengan pemulihan korban baru Yogyakarta, Semarang, Maros, dan Batang.

Daerah tidak mau melakukan integrasi itu dengan pelbagai alasan, antara lain mengenai tidak adanya payung hukum. Suharti mengatakan, kini UU TPKS menjadi payung hukum tersebut. Di dalam UU TPKS telah diatur hak pemulihan bagi korban baik secara hukum melalui proses peradilan pidana, hukum acara, hak korban, hak pendamping, hingga hak keluarga.

Keberadaan UU TPKS ni menjadi peluang besar untuk mengadvokasi agar layanan terpadu di daerah bisa berjalan sempurna, yaitu dengan mengoptimalkan tiga layanan pokok: hukum, medis, dan psikososial. Sehingga korban dapat ditangani dengan baik.

Jadi, ketika kepolisian mendapat aduan dari korban, polisi langsung menghubungi tenaga medis untuk segera melakukan pengecekan kesehatan reproduksi korban, termasuk mengecek kehamilannya. Tenaga medis ini nantinya akan memberikan layananan yang seharusnya, seperti kontrasepsi darurat. Selain itu, layanan psikologis sebagai pendamping korban juga harus tersedia.

Suharti telah mewanti-wanti agar layanan kesehatan reproduksi ini masuk ke dalam UU TPKS. Namun yang tertera hanya layanan kesehatan bagi korban. Maka kesehatan reproduksi ini harus masuk ke dlaam Perpres atau PP TPKS yang kini sedang disusun oleh KPPA.

“Karena kalau ini lepas dan tidak masuk dalam Perpres atau PP, wasalam. Nanti kita tidak punya cantolannya karena di UU-nya tidak tercantum di sana. Intinya, kita mengahadirkan layanan tadi, memperkuat koorndinasi tiga instansi tadi, hukum, psikologis, kesehatan,” terangnya. 

Dengan demikian, korban sejak awal akan mendapatkan pemeriksaan medis. Dari situ akan diketahui koronologi kasus maupun kesehatannya. Hal ini harus diketahui oleh semua lembaga layanan, termasuk polisi, konselor, dan juga pendamping hukum korban.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//