• Berita
  • Implementasi UU TPKS Belum Maksimal Menyelesaikan Kasus Kekerasan Seksual

Implementasi UU TPKS Belum Maksimal Menyelesaikan Kasus Kekerasan Seksual

Januari hingga September 2023 Kemen-PPPA mencatat total 19.593 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. LBH Bandung menyoroti kasus KS di dunia pendidikan.

Diskusi 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16-HAKTP) oleh JAJ Youth bertajuk Panggung Ekspresi membahas tentang pentingnya edukasi hukum tentang UU TPKS, Senin, 11 Desember 2023 di Kanaya Foodcourt, Bandung. (Foto: Ridho Danu/Bandungbergerak.id)

Penulis Ridho Danu Prasetyo23 Desember 2023


BandungBergerak.id - Isu kekerasan seksual menjadi perhatian masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Forum dan diskusi terkait masalah kekerasan seksual semakin banyak digelar oleh berbagai komunitas, baik kampanye digital maupun langsung.

Peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual yang terdeteksi juga menjadi perhatian khusus yang mengkhawatirkan. Sepanjang periode Januari hingga September 2023, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) mencatat adanya total 19.593 kasus yang dilaporkan.

Melonjaknya jumlah kasus yang tercatat kemudian dapat dilihat melalui dua sisi yang berbeda. Ironi bahwa jumlah tindak kekerasan seksual semakin marak terjadi di Indonesia, tetapi terlihat pula bahwa kesadaran korban untuk melaporkan kejadian kekerasan seksual semakin tinggi. Hal ini dapat menjadi tanda keberhasilan berbagai kampanye untuk mendukung para korban melaporkan kejadian yang menimpanya.

Acara puncak dari 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16-HAKTP) bertajuk Panggung Ekspresi digelar di Kanaya Foodcourt, Senin, 11 Desember 2023 lalu. Acara ini mengangkat tema yang berfokus pada pentingnya implementasi UU TPKS dalam penyelesaian kasus kekdrasan seksual.

Koordinator Jaringan Advokasi Jabar (JAJ) Youth Sri Wahyuni atau akrab disapa Cici, mengatakan bahwa saat ini generasi muda sudah lebih menyadari pentingnya isu kekerasan seksual. Namun, ia juga menyayangkan minimnya implementasi penggunaan UU TPKS dalam penyelesaian kasus di pengadilan.

“Implementasinya masih jadi tantangan buat kita semua, termasuk di penegakan hukumnya. Masyarakat masih minim edukasi tentang UU TPKS itu sendiri,” ucap Cici.

Selama ini, ramainya isu kekerasan seksual memang berhasil meningkatkan kesadaran generasi muda untuk lebih memperhatikan isu ini. Namun, sayangnya akibat sosialisasi dan pencerdasan hukum yang masih minim, belum banyak yang memahami UU TPKS sebagai payung hukum utama.

“Selama ini masih pakai KUHP. Belum pada tahu (UU TPKS), kalau ada kasus pake aturan ini nanti di-juncto kan dengan ini. Yang seperti itu masih sangat minim diketahui,” lanjutnya.

Tantangan berikutnya ada pada kelengkapan perangkat hukumnya itu sendiri. Salah satu amanat dari UU TPKS ketika disahkan adalah harus dibuat peraturan turunan tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA).

Peraturan turunan tersebut seharusnya dibuat untuk memperjelas dan menegaskan peran dari UPTD dalam penyelesaian dan perlindungan atas korban kekerasan seksual. Namun, amanat UU TPKS tersebut tak kunjung diterbitkan setelah hampir dua tahun lamanya.

Di sisi lain, ada mispersepsi krusial dalam masyarakat yang harus diluruskan. Penyelesaian kasus kekerasan seksual sejatinya tak hanya berfokus pada bagaimana cara menghukum pelaku seberat-beratnya, tapi juga memenuhi perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban.

Undang-undang sebelumnya tentang kekerasan seksual fokusnya terbatas pada mengatur tata cara penyelesaian kasus dan hukuman bagi pelaku. Kini, UU TPKS telah menjadi peraturan yang lebih komprehensif karena turut memuat hak pemulihan dan restitusi bagi korban.

“Harapannya (UU TPKS) benar-benar menjadi payung hukum dan jadi perlindungan yang jelas bagi korban dan pendamping. Karena keduanya sama-sama rentan diskriminasi,” ujar Cici.

Selama ini, isu-isu seperti ini hanya mencapai orang-orang yang memang bergerak di isu tersebut saja. Hal yang masih harus menjadi perhatian kini adalah bagaimana edukasi hukum dapat mencapai seluruh lapisan masyarakat.

Masalah kekerasan seksual harus menjadi perhatian bersama, agar tercipta keamanan dan perlindungan bagi seluruh kalangan, tanpa diskriminasi. Kenali Hukumnya, Lindungi Korbannya.

Baca Juga: Tepatkah Menerapkan Hukuman Kebiri Kimia untuk Pelaku Kekerasan Seksual di Indonesia?
Suara Pendamping Korban Kekerasan Seksual
Mencegah Kekerasan Seksual dengan Film

Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan

Kekerasan seksual bisa terjadi di mana pun, tak terkecuali di institusi pendidikan umum maupun agama. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung pernah menyoroti kasus kekerasan seksual yang terjadi di dunia pendidikan ini.

Dalam tulisan yang diunggah di laman resmi LBH Bandung, Maulida Zahra, Asisten Pembela Umum LBH Bandung, menyatakan pelaku kekerasan seksual di dunia pendidikan memanfaatkan kedudukannya sebagai orang terkemuka. Zahra mengacu pada kasus kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren Kabupaten Bandung.

“Kekerasan terhadap perempuan melalui tindakan pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi dilingkungan pendidikan, khususnya pondok pasantren terjadi berulang. Data KPAI misalnya, menunjukan dalam rentan Januari-Juli 2022 saja ada 12 persitiwa pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi dan 8 di antaranya terjadi di pondok pasantren dan lingkungan kegiatan peribadahan,” papar Maulida Zahra, diakses Selasa, 19 Desember 2023.

Lebih lanjut, Zahra merinci ada 52 anak di bawah umur menjadi korban dan 15 orang pelaku, 12 di antaranya adalah gurunya sendiri, sisanya adalah pemilik pasantren, anak dari pemilik pasantren dan kakak kelas dari para korban.

“Relasi kuasa yang timpang diantara guru dan murid serta pendisiplinan melalui dogma agama memiliki andil besar dalam peristiwa ini,” katanya.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan Ridho Danu Prasetyo atau artikel-artikel lain tentang kasus kekerasan seksual

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//