MAHASISWA BERSUARA: Pendekatan Restorative Justice dalam Penggunaan Hukum Pidana, Belajar dari Keadilan Rehabilitatif di Norwegia
Penerapan Restorative Justice pada sistem peradilan pidana dapat mencegah overkriminalisasi, menciptakan keadilan yang bermakna, dan mengurangi tingkat kriminalitas
Mellyanda Ratu Sjechlad
Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
17 Juli 2023
BandungBergerak.id – Overkriminalisasi yang merujuk pada penggunaan hukum pidana yang berlebihan, telah menjadi isu yang semakin memprihatinkan di Indonesia. Hal ini ditandai, antara lain, dengan maraknya penggunaan mekanisme pidana melalui UU ITE dalam menindak pencemaran nama baik (ICJR, 2021). Walaupun demikian, patut diingat bahwa sebelumnya pencemaran nama baik lebih umum diselesaikan melalui mekanisme perdata, bukan mekanisme pidana (Tami & Jaya, 2013). Sehingga, fenomena penggunaan UU ITE dapat dikatakan sebagai cerminan dari penggunaan hukum pidana yang berlebihan.
Berkaitan dengan hal ini, landasan falsafah penggunaan hukum pidana yang dinamakan asas ultimum remedium sebetulnya telah mengatur bahwa hukum pidana harus digunakan sebagai upaya paling terakhir, bukan upaya utama (Kusumaatmadja & Sidharta, 2000). Maka dari itu, jelas ada diskrepansi antara bagaimana hukum pidana ditujukan dalam konsep teori dan bagaimana hukum pidana kerap digunakan sehari-hari di masyarakat Indonesia.
Berdasarkan pengertian ini, maka di satu sisi, fenomena overkriminalisasi di Indonesia telah menimbulkan keresahan akan terbengkalainya tujuan utama hukum pidana yang seharusnya menjadi upaya paling terakhir. Kemudian di lain sisi, ia mengindikasikan bahwa aspek pemulihan, rekonsiliasi, dan keadilan substansial yang berkelanjutan telah terbengkalai dalam penggunaan hukum pidana. Maka, melalui pengamatan terhadap contoh keberhasilan di negara lain—yakni Norwegia—tulisan ini hendak menjelaskan mengapa Indonesia sepatutnya menerapkan restorative justice sebagai salah satu pendekatan hukum pidana.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Rumah Tropis Sebagai Solusi Iklim Panas Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Sejumlah Alasan Mengapa Kita Memerlukan Perjanjian Perkawinan
MAHASISWA BERSUARA: Pengaruh Penggunaan ChatGPT terhadap Karakter Akademik Mahasiswa
Overkriminalisasi dan Hukum Pidana sebagai Ultimum Remedium
Pengertian dari overkriminalisasi sendiri adalah penggunaan hukum pidana yang berlebihan (ICJR, 2020). Maka, secara inheren ada implikasi bahwa penggunaan hukum pidana bisa melebihi kadar tertentu. Dilihat sekilas, hukum pidana memang memiliki karakteristik pembeda dari cabang hukum lainnya, yakni dalam aspek tujuan penggunaannya. Tujuan hukum pidana adalah memberikan penderitaan terhadap subjek hukum (Djamali, 2022). Umumnya, konsensus dalam doktrin hukum adalah bahwa penderitaan ini ditujukan untuk memberikan efek jera dan rehabilitasi perilaku (Lamintang, 2014).
Wajah mengenaskan dari hukum pidana ini alhasil menciptakan landasan konseptual yang dikenal sebagai ultimum remedium, yakni asas yang mengajarkan bahwa hukum pidana itu harus digunakan sebagai upaya paling terakhir (Husak, 2014). Jika masih ada upaya lain dari cabang hukum lain yang dapat diambil, penggunaan hukum pidana sebaiknya dihindari karena memiliki konsekuensi buruk yang melekat pada darah dagingnya (Kusumaatmadja & Sidharta, 2000).
Salah satu contoh nyata dari orientasi penggunaan hukum pidana yang menjadi "belok" dari tujuan yang semestinya di Indonesia adalah maraknya penggunaan UU ITE terhadap isu pencemaran nama baik. UU ITE, yang seharusnya digunakan untuk mengatur kegiatan transaksi elektronik dan perlindungan data pribadi, sering kali disalahgunakan untuk menangani kasus-kasus pencemaran nama baik menggunakan mekanisme pidana, yang dapat mengakibatkan hukuman berat, seperti penjara dan denda yang cukup tinggi (ICJR, 2021).
Padahal, Pasal 1372-1380 KUHPerdata juga telah mengatur mengenai pencemaran nama baik. Sehingga, isu tersebut seharusnya dapat diatasi melalui mekanisme perdata, seperti gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum (PMH) dalam Pasal 1365, yang justru menitikberatkan pada pemulihan kerugian yang ditimbulkan dan rekonsiliasi antara pihak terkait (Tami & Jaya, 2013). Penggunaan UU ITE yang berlebihan justru mencerminkan overkriminalisasi yang tak hanya telah berdampak pada peningkatan angka kriminalitas, namun juga pada kekhawatiran terkait penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum serta keterbatasan keadilan substansial dalam menangani kasus-kasus tersebut (Husak, 2018).
Selain itu, overkriminalisasi juga tidak berhasil menangani permasalahan hukum dengan efektif, dan justru melahirkan masalah baru yang lebih kompleks. Salah satunya adalah fenomena overcrowding di lembaga pemasyarakatan (ICJR, 2018), yang tidak hanya mengindikasikan kegagalan dalam memberikan penyelesaian hukum yang memadai, tetapi juga beban tambahan yang signifikan bagi sistem peradilan pidana.
Konsekuensi overcrowding adalah kondisi yang tidak manusiawi, seperti kepadatan yang berlebihan, kualitas hidup yang buruk, dan kurangnya akses terhadap fasilitas rehabilitasi yang memadai. Hal ini tidak hanya melanggar HAM, tetapi juga melahirkan beban finansial yang besar untuk mempertahankan sistem yang tidak efisien. Oleh karena itu, penting untuk mencari solusi alternatif yang lebih tepat sasaran dalam menciptakan keadilan yang berkelanjutan.
Restorative Justice sebagai Pendekatan Penggunaan Hukum Pidana
Selain terlanggarnya asas ultimum remedium, overcrowding penjara, dan sistem peradilan pidana yang tidak efisien, dampak lain dari overkriminalisasi adalah kegagalan sistem peradilan pidana dalam memperhatikan pentingnya peran korban. Keresahan atas terbengkalainya hak korban dalam hukum pidana kemudian secara umum lebih dikenal dengan konsep yang dinamakan restorative justice (ICJR, 2022).
Restorative justice adalah pendekatan hukum pidana yang dimaksudkan untuk mendorong keterlibatan kelompok, upaya pemulihan dampak negatif dari tindakan seseorang, serta melibatkan aktif semua pihak dalam proses peradilan (Gavrielides, 2007). Hal-hal tersebut sering kali dilupakan oleh keadilan retributif yang menekankan pendekatan hukuman layaknya sistem peradilan Indonesia yang penuh dengan overkriminalisasi (ICJR, 2022).
Namun, tidak hanya fenomena overkriminalisasi saja yang telah mencerminkan minimnya peran korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Hukum positif secara tekstual juga telah mencerminkan hal yang sama.
Salah satu contohnya dapat ditemukan di dalam KUHAP. KUHAP hanya mengatur peran korban dalam hukum acara sebagai posisi saksi yang berfungsi untuk membantu pembuktian penuntut umum dalam persidangan, dan tidak lebih dari itu. Hal ini menandakan bahwa restorative justice tidak hanya terkait dengan hasil akhir dari proses hukum, tetapi juga dengan proses penggunaan hukumnya sendiri. Maka, tujuan akhir metode pendekatan tersebut adalah untuk memandu penggunaan hukum pidana. Konsep dasarnya harus memaksimalkan peluang pertukaran informasi, partisipasi, dialog, dan kesepakatan bersama antara pelaku dan korban (Shapland, 2006).
Kesuksesan Penerapan Restorative Justice di Norwegia
Salah satu contoh sukses dari pendekatan restorative justice di dunia, karena telah berhasil melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat secara aktif dalam proses penyelesaian tindak pidana, adalah Norwegia. Implementasi restorative justice di sana mencakup terciptanya sistem yang berorientasi pada pemulihan, rekonstruksi, dan rekonsiliasi (Cornell, 2022). Hal ini memungkinkan korban untuk menyampaikan pengalaman mereka, mendapatkan pemulihan, dan merasa dihargai. Kemudian, pelaku diajak untuk memahami dampak negatif perbuatannya dan melakukan langkah-langkah pemulihan yang diperlukan (First Step Alliance, 2022, Feb 22).
Di Norwegia, cerminan dari penerapan restorative justice dapat dilihat dari penurunan angka kejahatan, pengurangan penggunaan pidana, serta peningkatan kepercayaan dan keharmonisan dalam masyarakat (Lewis, 2012, Aug 27). Negara tersebut mencapai angka residivisme terendah di dunia yakni 60% dari populasi narapidana Norwegia tidak pernah mengulangi tindak kejahatan dalam waktu dua tahun setelah dibebaskan (Denny, 2016). Setelah lima tahun, tingkat residivisme berhasil untuk tetap relatif rendah, yaitu 25%.
Namun, perubahan positif ini baru terwujud setelah Norwegia secara sadar mengadopsi pendekatan yang rehabilitatif dalam reformasi sistem peradilan pidananya. Perubahan ini sangat drastis jika dibandingkan dengan kondisi Norwegia pada tahun 1990an, di mana 70% dari semua tahanan yang dibebaskan kembali mengulangi tindak kejahatan setelah dibebaskan (Denny, 2016). Selain itu, telah dilakukan upaya untuk menjaga kemanusiaan narapidana selama di penjara. Tahanan Norwegia memiliki hak untuk memilih, bersekolah, mempelajari keterampilan baru, berolahraga, melihat keluarga mereka, dan berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Pendekatan ini diyakini membuat masuk kembali ke masyarakat lebih mudah. Narapidana masih merasa dihargai seperti warga lainnya, dan mereka meninggalkan penjara dengan keterampilan dan harga diri untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang berkontribusi.
Penutup
Begitu banyak manfaat yang dihasilkan dengan penerapan restorative justice, menunjukkan betapa pentingnya konsep tersebut diterapkan di negara kita sendiri. Tidak ada salahnya bagi Indonesia untuk melihat contoh sukses Norwegia dalam menerapkan keadilan rehabilitatif. Dengan memetik manfaat yang ada, Indonesia dapat memperbaiki sistem peradilan pidananya.
Tentu, dalam menerapkan konsep ini, perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi yang menjadi latar belakang permasalahan hukum di Indonesia. Namun, dengan konsep ini, setidaknya ada peluang untuk memperbaiki overkriminalisasi, menciptakan keadilan yang bermakna, dan mengurangi tingkat kriminalitas. Dengan demikian, sangat disarankan agar restorative justice segera diterapkan dalam berbagai lapisan sistem peradilan pidana di Indonesia, agar penggunaan hukum pidana dapat dikembalikan lagi ke posisinya yang semula sebagai ultimum remedium, bukan premium remedium.