• Cerita
  • Pawai Ogoh-ogoh Menyambut Nyepi di Cimahi

Pawai Ogoh-ogoh Menyambut Nyepi di Cimahi

Batal akibat pandemi Covid-19 pada 2020 lalu, pawai ogoh-ogoh menjelang Nyepi digelar di jalanan Kota Cimahi. Sebuah kemeriahan yang mempromosikan keberagaman.

Kemeriahan pentas budaya Pawai Ogoh-ogoh yang digelar Pura Agung Wira Loka Natha menjelang Hari Raya Nyepi di Jalan Gatot Subroto, Kota Cimahi, Minggu, 10 Maret 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya11 Maret 2024


BandungBergerak.id - Cupak, raksasa menyeramkan setinggi 2,5 meter, diarak berkeliling menyusuri jalan raya Kota Cimahi, Minggu, 10 Maret 2024 sore. Matanya melotot, kukunya panjang, perutnya buncit, kumisnya baplang. Rambutnya panjang sedada, berantakan. Cupak bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek berwarna merah bercorak emas. Gesturnya seperti siap menerkam siapapun yang ada di hadapannya.

Cupak melenggang ke kiri dan ke kanan, sesekali berputar-putar. Teriakan “woh” dari orang-orang yang menyaksikan terdengar ketika Cupak seperti tidak terkendali. Ketika tempo musik gamelan Bali dan angklung Buncis kian cepat, sembilan orang pengarak di bawahnya ikut bersemangat.

Di belakang Cupak, ada Rangde. Gerakannya memang tidak seaktif Cupak, tapi penampilannya tidak kalah menyeramkan. Gigi taringnya keluar. Kuku dan rambutnya bahkan lebih panjang dari Cupak. Gambarannya mirip genderuwo dalam film-film Indonesia. Bedanya, bagian tubuhnya ditutupi kain loreng khas angkatan darat.

“Rangde tuh kalau di Bali tuh diartikan janda, cuman dalam pengertiannya negatif. (Tapi) Bukan berarti semua artian kata janda (itu) negatif,” ujar Ni Komang Prastiti Dewi, 23 tahun, mewanti-wanti karena khawatir akan salah pemaknaan.

Kedua raksasa itu adalah ogoh-ogoh, karya seni patung yang menjadi tradisi dalam perayaan Hari Raya Nyepi. Ogoh-ogoh hampir selalu dirupakan menyeramkan sebab merupakan simbol keburukan. Bahan pembuatan ogoh-ogoh beraneka ragam. Cupak sendiri terbuat dari kertas basah yang dibentuk kemudian diampelas. Sementara, Rangde terbuat dari kayu yang dilapisi. Perlu waktu satu bulan untuk membuat Cupak dan dua minggu untuk Rangde.

Ogoh-ogoh Rangda (kiri) dan Cupak (kanan) diarak di jalanan Kota Cimahi, Minggu, 10 Maret 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Ogoh-ogoh Rangda (kiri) dan Cupak (kanan) diarak di jalanan Kota Cimahi, Minggu, 10 Maret 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Pawai ogoh-ogoh dimulai pada pukul 14.40 WIB di Pusat Kesenjataan Artilleri Pertahanan Udara (Pussenarhanud). Rombongan kemudian berjalan melewati Jalan Sriwijaya Raya, Jalan Stasiun KA Cimahi, Jalan Gatot Subroto, Jalan Gedung Empat Kios Bunga, dan Jalan Sriwijaya Raya, sakhirnya berhenti di Pura Agung Wira Loka Natha pada pukul 15.43 WIB.

Pawai ogoh-ogoh sangat lazim dijumpai di Bali, tapi di Cimahi mungkin baru terhitung jari. Ni Komang saja baru dua kali melaksanakan pawai ogoh-ogoh: pertama pada tahun 2010 dan kedua pada hari ini. Pawai hari ini pun terbilang mendadak persiapannya, hanya sebulan.

“Pas tahun 2020 juga kita punya kegiatan yah pengin bikin ogoh-ogoh. Dan, waktu itu Covid, jadi baru hari ini terealisasikan,” ucap perempuan yang bergiat juga di Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI). “Kendalanya dari alat-alatnya, terus ditambah ngejar orang-orangnya, ngejar waktu juga.”

Selain pawai ogoh-ogoh, pentas budaya pada hari ini juga menampilkan berbagai jenis tarian tradisional yang menyuarakan keberagaman. Sebelum pawai, ada Tari Pendet yang dimainkan oleh enam orang anak-anak dan Tari Rejang Renteng yang dimainkan oleh 14 orang ibu-ibu. Keduanya dijadikan pembuka sekaligus ucapan selamat datang.

Ketika pawai ogoh-ogoh berlangsung di Jalan Gedung Empat Kios Bunga, ditampilkan Tari Satya Brastha oleh enam orang perempuan berpenampilan laki-laki dan bersenjata payung dan kipas besar. Setelah rombongan tiba di pura, Tari Tanggai yang dimainkan oleh tiga orang anak perempuan menjadi penutup.

Ibu-ibu umat Hindu Pura Agung Wira Loka Natha menampilkan Tari Rejang Renteng sebelum pawai ogoh-ogoh dimulai di Pussenarhanud, Kota Cimahi, Minggu, 10 Maret 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Ibu-ibu umat Hindu Pura Agung Wira Loka Natha menampilkan Tari Rejang Renteng sebelum pawai ogoh-ogoh dimulai di Pussenarhanud, Kota Cimahi, Minggu, 10 Maret 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Data Keberagaman Jenis Kesenian di Kota Bandung 2021: Seni Tradisional Sunda Terbanyak
Mengurangi Konflik Keberagaman di Bandung dengan Dialog dan Mendengarkan

Nyepi dan Pawai Ogoh-Ogoh

Satu falsafah yang diamini oleh umat Hindu adalah Tri Hita Karana. Konsep spiritual ini menekankan bagaimana membentuk hubungan yang harmonis dengan Tuhan (Parhayangan), dengan sesama manusia (Pawongan), dan dengan alam semesta (Palemahan). Nyepi adalah salah satu perwujudan dari Palemahan yang kemudian akan membawa manusia kepada kebahagiaan dan kerukunan.

Nyepi dijadikan momentum untuk kembali menyucikan diri, memulai kehidupan baru yang lebih baru. Salah satu upacara ritualnya adalah melasti, menghanyutkan kotoran alam dengan air kehidupan, nganyudang malaning gumi ngamet tirta amerta. Umat di Pura Agung Wira Loka Natha telah melakukan melasti di Cirebon beberapa waktu sebelum pawai ogoh-ogoh digelar.

“Ogoh-ogoh ini merupakan simbol keburukan, atau roh-roh jahat, atau roh-roh buruk,” ujar Tangkas Gede Hari Angga Purnama Damai, mahasiswa rantau dari Bali yang menempuh pendidikan di Bandung. “Ogoh-ogoh ini diarak mengelilingi desa atau kota dimaksudkan untuk menarik energi-energi negatif untuk masuk ke ogoh-ogoh tersebut.”

Ogoh-ogoh adalah representasi dari Bhuta Kala, melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan Bhuana Agung (alam semesta) dan Bhuana Alit (manusia). Kedua kekuatan tersebut memang bisa menghancurkan, namun bisa juga membuat keindahan.

“Setelah mengelilingi desa atau kota, dia (ogoh-ogoh) akan dibakar sebagai simbolis untuk penetralan atau pemusnahan energi-energi tersebut,” lanjut mahasiswa magister Program Studi Managemen di Telkom University, Bandung, tersebut. “Sehingga besok, ketika kita Nyepi, akan tercipta alam yang damai.”

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tofan Aditya, atau artikel-artikel lain tentang Keberagaman

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//