Mempertanyakan Raperda Anti-LGBTQ, Menuntut Ruang Aman bagi Kelompok Minoritas Gender di Kota Bandung
Pembahasan Raperda anti-LGBTQ di Kota Bandung dikhawatiran mempertebal diskriminasi. Harapan kelompok minoritas gender hidup aman ibarat pungguk merindukan bulan.
Penulis Emi La Palau14 Maret 2024
BandungBergerak.id - “Takut!” seru Farah Prisilliana, transpuan berusia 44 tahun, ketika ditemui Bandungbergerak.id di kosnya di kawasan Kiaracondong, Kota Bandung, Jumat, 26 Januari 2024 lalu. Dia terduduk di atas kasur beralas lantai di kamar kos sederhana 3x4 meter yang dilengkapi satu barang mewah: kipas angin.
Ingatannya melayang sekitar setahun lalu saat kelompok masyarakat yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Peduli Hidup Sehat (Ampuhis) Kota Bandung mendatangi gedung DPRD Kota setempat dalam kurun waktu Januari-Februari 2023. Mereka mengusulkan ada Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) anti Lesbian, Guy, Biseksual, Trans, dan Queer (LGBTQ) di Kota Kembang itu.
Usulan raperda itu sontak membuat kelompok minoritas gender gelisah dan khawatir. Di kawasan indekos di Kiaracondong, misalnya, beredar isu razia transpuan.
“Ada lah dampak. Kan dulu kayak adanya persekusi atau razia-razia di hotspot, di kosan, atau di jalanan. Kami di kos-kosan juga, kami yang lagi gak tau apa-apa, ya tetep aja (kena dampak),” ungkap Mak Farah, panggilan akrabnya.
Sebagai seorang transpuan, Farah memahami betul bahwa dia dan teman-temannya bakal menjadi sasaran utama apabila raperda itu disahkan jadi perda. Apalagi, dibandingkan dengan orientasi seksual lain, transpuan adalah yang paling tampak dari penampilannya. Isu Raperda anti-LGBTQ memaksa mereka menjadi kelompok rentan yang harus membatasi aktivitas di luar rumah agar tidak menjadi korban persekusi.
“Kalau LGBT itu ya, kalau komunitas gay itu kan dia gak tau sih dia ngedandan atau apa. Kalau waria kan nampak banget. Ya paling kami di masa politik ini dibikin jangan terlalu menonjolkan. Kami kalau di medsos jangan terlalu vulgar terkait kegiatan-kegiatan karena takutnya digoreng-digoreng terus,” kata Mak Farah.
Ruang gerak kelompok minoritas gender ini semakin sempit. Aktivitas sehari-hari terpaksa dikurangi. Pengesahan raperda itu dikhawatirkan bakal membuat segala bentuk diksriminasi, mulai dari stigma sampai kekerasan fisik dan verbal, justru dilegalisasi.
“Dulu kan sempet ada isu-isu penggerebekan-penggerebekan. Terus temen-temen kami ada yang diungsikan di kantor, di tempat ruang aman, ketakutan karena dulu banyak yang kena tuh,” ungkap Ketua Srikandi Priangan.
Selama marak isu razia transpuan, komunitas transpuan bersiasat demi keselamatan diri. Mereka terpaksa mengubah penampilan dengan tidak lagi berdandan, melainkan mengenakan topi dan baju ala laki-laki. Bagaimanapun razia transpuan di kos-kosan yang pernah terjadi beberapa tahun sebelumnya di Bandung meninggalkan trauma yang membekas bagi Mak Farah dan teman-temannya. Bahkan usai isu usulan Raperda anti-LGBTQ itu muncul, setidaknya enam bulan lamanya transpuan-transpuan di Kota Bandung dihantui kecemasan. Tidak terbayangkan seperti apa situasinya apabila perda itu disahkan kelak.
Raut wajah ketakutan juga tak bisa disembunyikan oleh Abel Bilbina, 30 tahun. Menurut dia, tak menutup kemungkinan perda itu bakal mudah disalahgunakan untuk mempersekusi kelompok transpuan.
“Karena (Perda) anti-LGBT, mereka (bisa) semena-mena nih ke teman-teman trans. Jadi mereka (mau) mendiskriminasi, it’s oke, mereka mau persekusi, it’s oke karena ada aturan itu,” ucap transpuan yang menjadi Program Officer Inclusion Srikandi Pasundan, sebuah komunitas transpuan di Bandung.
Dijelaskan Abel, dia dan sesama transpuan selama ini tidak menuntut untuk diistimewakan. Sebatas ingin dipenuhi hak-hak dasarnya sebagai warga negara, seperti hak mengakses layanan kesehatan seperti asuransi BPJS, hak mengakses layanan pendidikan, dan hak mengakses layanan kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Bertahan dengan Ekonomi Pinggiran
Secara ekonomi, transpuan juga kelompok yang terpinggirkan. Mereka tak mudah mendapatkan pekerjaan, kecuali membuka usaha sendiri dengan kebutuhan modal yang tak kecil. Mak Farah, misalnya, menyambung hidup sehari-hari dengan membuka usaha telur asin kecil-kecilan sejak tahun 2020 lalu, sejak awal pandemi Covid-19. Usahanya terus tumbuh. Bahkan telur asin buatannya sudah sampai ke Singapura. Lantaran terampil, Mak Farah sering diundang untuk melatih ibu-ibu kompleks membuat telur asin. Dia juga membuat dan menjual jus buah untuk menambah pemasukan.
Demi usahanya, Mak Farah menyewa tiga kamar kos sekaligus dengan tarif 500 ribu rupiah per kamar tiap bulan. Satu kamar digunakan untuk kamar tidur. Sementara dua kamar lain masing-masing untuk memproduksi telur asin dan berjualan.
Di luar, Mak Farah juga beraktivitas sebagai penjangkau lapangan di organisasi yang menaungi komunitas transpuan di Bandung, Srikandi Pasundan. Secara rutin dia mengecek kesehatan teman-temannya yang terinfeksi HIV maupun positif AIDS.
Di sisi lain, Mak Farah adalah seorang difabel. Kecelakaan motor pada tahun 1995 lalu membuatnya mengalami patah tulang kaki kanan. Keputusan berobat ke dukun berujung infeksi sehingga kaki kanannya harus diamputasi. Untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, Mak Farah meloncat-loncat kecil dengan kaki kirinya. Selebihnya, dia mengandalkan kaki palsu untuk membantu menopang tubuh saat beraktivitas di luar kos.
Tak heran, hidup sebagai minoritas yang mengalami diskriminasi berlapis sudah kerap kali dirasakan. Sepanjang perjalanan hidupnya, Mak Farah terus belajar menguatkan diri. Tak terkecuali ketika Raperda anti-LGBTQ yang berpotensi mengancam keamanan hidupnya di Kota Bandung disahkan kelak.
“Aku tuh banyak belajar dari kegagalan, dari kesakitan. Jadi kami udah kuat, air mata sudah nggak ada. Dari kecil udah didompleng gitu ya. Tapi tetep sakit hati mah ada lah ya, tapi buat apalah sakit hati juga, malah bikin penyakit. Ya udah, kami enjoy aja,” tutur dia.
Baca Juga: Menguatkan Hak-hak Transpuan dan Keluarga Melalui Pelatihan Paralegal Srikandi Pasundan
Ramadan di Tahun Pagebluk (22): Cerita Fiona, Transpuan yang Sukarela Membantu Vaksinasi Covid-19
Ampuhis Sebut LGBTQ Menyimpang
Isu pembuatan Raperda anti-LGBTQ di Kota Bandung bergulir sejak Januari 2023. Bermula audiensi Ampuhis pada 17 Januari 2023 di DPRD Kota Bandung untuk menyampaikan usulan raperda itu.
Sebulan kemudian, tepatnya Rabu, 15 Februari 2023, Ampuhis datang lagi untuk menyampaikan draf naskah akademik raperda tersebut. Dengan duduk berderet di depan meja panjang di ruang Rapat Badan Musyawarah DPRD, mereka diterima sejumlah petinggi dewan. Ada Ketua DPRD Kota Bandung Tedy Rusmawan, Wakil Ketua III DPRD Kota Bandung Edwin Senjaya, Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kota Bandung Dudy Himawan, serta anggota Bapemperda Salmiah Rambe. Semua pimpinan dewan menyambut baik usulan raperda itu.
Ketua Ampuhis Kota Bandung, Anton Minardi mengakui Ampuhis baru dibentuk menjelang pengajuan usulan Raperda anti-LGBTQ ke DPRD Kota Bandung. Di dalam Ampuhis ada guru, ustad, kiai, advokat, serta pedagang, juga aktivis yang peduli terhadap kesehatan, psikolog, psikiater, serta dokter.
Yang menjadi dasar pengajuan usulan, Anton mengklaim, adalah temuan data tentang ratusan ribu orang yang terindikasi LGBTQ menyebar di Jawa Barat dan jumlah terbesar ada di Kota Bandung. Meskipun mengamini bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan plural, tetapi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dipahaminya sebagai dasar bahwa LGBTQ adalah perbuatan menyimpang karena tak sesuai ajaran Tuhan.
“Tidak bisa dibayangkan kerentanan pertahanan dan keamanan apabila semakin banyak LGBTQ di Indonesia,” tukas Anton saat ditemui Bandungbergerak.id di salah satu kampus swasta di Bandung, Kamis, 1 Februari 2024.
Meski demikian, dia mengaku ingin mengenal lebih dekat dengan kelompok LGBTQ agar bisa berdialog untuk mengetahui dan memberikan penyadaran kepada mereka. Istilah dia adalah “mengembalikan pada fitrah mereka: laki-laki jadi laki-laki, perempuan jadi perempuan”.
Lantaran itu pula, Anton membantah muatan Raperda anti-LGBTQ yang diusulkan bersifat diskriminatif. Perda itu diklaim justru untuk melindungi keluarga-keluarga agar tidak terjerumus pada perbuatan menyimpang.
“Saya enggak membenci mereka, tapi justru ayo kita sama-sama belajar dan me-review kembali pola hidup sehat kita itu seperti apa,” kata akademisi sekaligus politisi PKS yang gagal melenggang ke Senayan sebagai caleg DPR RI dalam pemilihan legislatif bulan Februari 2024 lalu.
Sejauh ini, naskah akademik Raperda anti-LGBTQ yang diusulkan Ampuhis telah dilengkapi landasan yuridis, sosilogis, dan politis. Naskah akademik itu disusun dalam kurun waktu tiga bulan sebelum disampaikan ke dewan. Semua proses ini, diakui Anton, belum melibatkan kelompok LGBTQ.
“Kalau ditanyakan urgensinya (raperda), ya saya nggak mau keluarga saya, anak keturunan saya, tetangga saya terkena LGBT. Kalau dibiarkan, (mereka) akan terkena karena ini terjadi semacam penularan dari perilaku penyimpangan seksual ini,” ucap dia.
Berlanjut Jadi Naskah Akademik
Sementara itu, saat ini DPRD Kota Bandung sedang menunggu proses penyusunan naskah akademik oleh pihak Dinas Kesehatan Kota Bandung untuk kemudian menjadi raperda yang akan dibahas di dewan.
“Nanti nama perdanya tidak bisa langsung Perda anti-LGBTQ. Kemungkinan bisa menjadi Pencegahan (dan) Penanggulangan Perilaku Seksual Menyimpang,” kata anggota Bapemperda, Salmiah Rambe ketika ditemui di DPRD Kota Bandung, Kamis, 29 Februari 2024.
Salmiah berharap raperda itu dapat dimasukkan ke dalam program pembentukan peraturan daerah pada awal tahun 2024 ini, sehingga bisa segera dibahas. Dia juga menjadi salah satu anggota dewan yang mendorong Pemerintah Kota Bandung untuk segera menetapkan program pembentukan peraturan daerah, salah satunya Raperda anti-LGBTQ.
“Karena kondisinya sudah sangat meresahkan atau mendesak. Kami harus punya peraturan untuk mencegah anak-anak kami, mencegah masyarakat khususnya para remaja, jangan sampai berperilaku menyimpang dan menjadi anggota komunitas LGBT ini,” ucap anggota Komisi 4 DPRD Kota Bandung dari Fraksi PKS itu.
Salmiah berdalih, dengan keberadaan perda tersebut bukan berarti komunitas LGBTQ akan ‘disingkirkan’. Ia mengklaim, justru perda itu akan melindungi masyarakat secara keseluruhan sebab mencegah anak-anak, remaja dan masyarakat Kota Bandung tidak ikut berperilaku menyimpang.
“Kemudian bagi mereka yang telanjur menjadi waria, gay, dan lain-lain, kami upayakan bagaimana mereka bisa kembali menjadi orang yang normal,” paparnya.
Soal potensi perda tersebut akan bersifat dikriminatif dan melanggar hak asasi manusia (HAM) kelompok minoritas gender, Salmiah justru meminta para pihak jangan menyalahgunakan kata “HAM” untuk melindungi sesuatu yang dinilai salah.
“Jika kami mengetahui ini merupakan penyimpangan dan hal yang harus diluruskan, maka luruskan,” tukas dia.
Meski begitu, Salmiah menjanjikan pihaknya akan melibatkan kelompok minoritas gender dalam proses penyusunan aturan itu ke depan.
“Tentu, kami akan melibatkan dan mendengarkan. Jangan khawatir, perda ini tidak hadir untuk menyingkirkan atau membunuh, tetapi menyelamatkan. Presepsinya harus diubah ke arah yang positif,” ucap Salmiah.
Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna menyatakan bahwa Pemerintah Kota Bandung mendukung dan mendorong kelahiran Raperda anti-LGBTQ. Pemkot juga memberikan masukan naskah akademik yang diisi oleh orang-orang kompeten. Meskipun belum bisa dilaksanakan dalam waktu terdekat, ia meyakini raperda tersebut akan terus berlanjut. Ema meminta masyarakat agar memahami raperda tersebut sebagai niat baik pemerintah, selaku penyelenggara negara.
“Ini sudah ada komitmen dari penyelenggara pemerintah dalam hal ini eksekutif dan legislatif untuk bisa sama-sama menghadirkan aturan ini. Bagaimana pun kan banyak mayoritas yang menyatakan kegelisahan apabila hal ini tidak diatur. Dan tentunya kami hargai,” ucap Ema kepada Bandungbergerak.id ketika ditemui usai menghadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Al-Ukhuwwah, Kota Bandung, Rabu, 28 Februari 2024.
Bagi kelompok yang menolak perda yang berpotensi diskriminatif itu, Ema mempersilakan untuk menyampaikannya dalam forum pembahasan di Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kota Bandung. Berbagai kelompok masyarakat akan diundang, termasuk kelompok minoritas gender.
Berharap Perda Tak Diskriminatif
Alhasil, ruang aman bagi kelompok LGBTQ untuk hidup di Kota Bandung masih jauh panggang dari api. Salah satu inisiator gerakan #StandWithHer di Kota Bandung, sebuah gerakan kolaborasi semua unsur pemangku kepentingan dalam menanggapi pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan kasus kekerasan berbasis gender, Indri Hafsari melihat hak-hak kelompok minoritas di Kota Bandung masih belum terpenuhi. Solidaritas untuk memberikan ruang kepada kaum minoritas gender juga cukup berat dan butuh perjuangan.
“Sangat tidak ada (perlindungan terhadap kelompok minoritas gender di Bandung), sih, menurutku. Jangankan memberi ruang aman untuk mereka, ya. Untuk berekspresi, untuk mereka mungkin melaksanakan kegiatan rohani, beribadah segala macam, apalagi kayak misalnya dunia pekerjaan. Di sini kami masih belum terbentuk solidaritas itu sih,” ungkap Indri ketika ditemui Bandungbergerak.id di Bandung, Sabtu, 3 Februari 2024.
Indri meminta rencana penyusunan Raperda anti-LGBTQ ditinjau ulang. Apalagi ada anggapan LGBTQ menyimpang dari ajaran agama sehingga dicap salah dan berdosa. Menurut dia, belum tentu kelompok minoritas gender adalah pendosa.
“Tidak perlu sampai menyentuh hal-hal privat seperti itu. Bagiku, setiap manusia bertanggung jawab kepada Tuhan masing-masing, bertanggung jawab pada perilaku dan sikapnya masing-masing. Jadi, kami kenapa harus merepotin, kan,” tutur caleg DPRD Kota Bandung dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang tak berhasil lolos kontestasi Pemilu 2024 ini.
Kehadiran Raperda anti-LGBTQ pun, menurut Indri, seolah memposisikan keberadaan kelompok minoritas gender adalah salah dan bahkan menjadi sebuah kejahatan. Mereka pun akan mengalami diskriminasi berlapis karena sudah terdiskriminasi sehari-hari, kemudian tambah didiskriminasi dengan aturan-aturan yang tidak adil bagi pilihan gender mereka.
Menurut Indri, lebih bijaksana apabila yang diutamakan adalah dialog dengan kelompok minoritas gender tersebut tanpa memberikan stigma terlebih dahulu. Seperti membuang anggapan bahwa mereka salah.
“Maksudku, coba secara empati dilihat dulu mereka itu gimana. Dan digali lagi masa lalu yang dijalani mereka itu seperti apa. Karena aku selalu percaya karakter manusia dibentuk dari tempaan-tempaan masalah yang mereka alami. Jadi nggak bisa menghakimi mereka saat itu,” tegas Indri.
Upaya untuk memberikan ruang aman bagi kelompok LGBTQ di Bandung, diakui Indri, menjadi pekerjaan rumah yang cukup panjang. Yang bisa dilakukan adalah paling tidak memberikan support system berupa solidaritas untuk bisa berempati kepada kelompok minoritas gender terlebih dahulu. Semakin kelompok minoritas gender tahu dan paham akan hak-hak asasi manusia, semakin mereka mampu menuntut hak yang sama.
“Ya, tapi melihat Kota Bandung, ya ini, agak perlu usaha lebih. Dan kami perlu banyak teman juga yang punya cara pandang yang sama, ya, untuk bisa memperjuangkan hak-hak mereka ini juga,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Kampung Keluarga Berencana (KB) Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Nina Fitriana mengaku punya dua pandangan terhadap kelompok minoritas gender ini. Pertama, ia memandang LGBTQ memang garis tangan mereka yang terlahir sebagai LGBTQ. Dan yang kedua, ia masih menganggap ada kelompok minoritas LGBTQ yang diakibatkan pengaruh lingkungan.
Namun dari sisi kemanusiaan, Nina mendukung pilihan hidup yang diambil oleh kelompok minoritas gender ini. Apabila raperda itu disahkan, ia berharap perda itu bukan untuk mendiskriminasi.
“Aku ingin perda-nya tuh tidak ada diskriminasi, terus menghakimi atau bahkan membuat mereka tidak mendapatkan hak mereka sebagai warga negara ya. Tidak seperti itu kalau saya,” papar ungkapnya kepada Bandungbergerak, ketika ditemui di kediamannya di Tamansari, Rabu, 14 Februari 2024 malam.
Caleg DPRD Kota Bandung dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang masih menunggu keputusan hasil Pemilu itu pun menyatakan setuju apabila hak-hak kelompok minoritas gender, seperti hak atas pendidikan, hak kesehatan, dan lainnya dihadirkan dalam perda tersebut.
Diskriminasi Atas Nama Legalitas
Pakar hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Valerianus B. Jehanu menyatakan, untuk mengetahui keseluruhan rencana kebijakan pengaturan kelompok gender minoritas, draf dan isi raperda harus dibaca. Namun apabila melihat tema besarnya adalah Perda anti-LGBT atau pun Perda Pencegahan (dan) Penanggulangan Perilaku Seksual Menyimpang, dia menebak peraturan itu kemungkinan besar mengandung materi yang sifatnya diskriminatif.
Dan peraturan diskriminatif yang sejatinya tidak diperbolehkan di Indonesia ini tidak hanya ada di Bandung, melainkan juga di beberapa daerah lainnya. Ia mengakui bahwa tren perda diskriminatif muncul mendekati tahun politik.
“Kalau lihat kecenderungan perda-perda semacam ini, memang trennya ya mendekati tahun-tahun politik. Muncul tuh rancangan-rancangan peraturan di tingkat lokal yang nuansanya diskriminatif, ada nuansa politik di situlah,” ungkap Valeri kepada Bandungbergerak.id, melalui sambungan telepon, Selasa, 13 Februari 2024.
Apabila berhasil disahkan, menurut Valeri, perda tersebut tidak hanya mendiskriminasi, tetapi juga menghukum pilihan atau orientasi seksual yang berbeda. Artinya, orientasi seksual atau pilihan identitas dan ekspresinya kemudian bisa diklasifikasi sebagai kejahatan yang dibenarkan untuk dihukum. Padahal orang dihukum apabila melakukan tindakan kejahatan.
“Kalau kita berpikir, ekspresi seseorang kok dianggap kejahatan? Nah itu yang akan mungkin terjadi kalau peraturan semacam ini tuh dilegalkan atau disahkan,” ujarnya.
Dampak lainnya adalah persekusi terhadap kelompok minoritas gender akan meningkat. Ancaman terhadap keamanan mereka menjadi mengkhawatirkan karena dengan hadirnya perda itu bukan lagi argumentasi moral yang dipakai, tapi sudah argumentasi legal.
“Ini kan peraturan yang mempertegas bahwa orientasi seksualnya atau identitasnya itu melawan hukum atau bertentangan dengan hukum sehingga semua orang akan memandang ini boleh untuk dilakukan persekusi atau semacamnya ya. Apalagi kalau hukum melegitimasi itu,” papar Kepala Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pangayoman Unpar ini.
Sebaliknya, bagi kelompok yang antipati terhadap LGBTQ atau mendukung LGBTQ sebagai kejahatan, pengesahan perda tersebut menjadi momentum. Mereka memiliki alasan tambahan untuk semakin mendiskriminasi atau membatasi ruang hidup dari kelompok minoritas gender.
Valeri mengingatkan bahwa pengesahan perda anti-LGBTQ akan menjadi tantangan bagi aktivis pembela HAM. Mereka harus berhati-hati agar pembelaan yang mereka lakukan terhadap kelompok minoritas gender yang dipersekusi tidak dianggap pembelaan terhadap pelanggaran. Apalagi saat ini sedang tren kasus kriminalisasi terhadap para pembela HAM.
“Nah kalau caranya seperti itu, kekhawatiran saya adalah semakin sedikit orang berani untuk bersuara. Itu juga bahaya ya dalam kerangka kewargaan kita. Akhirnya yang minoritas justru dibiarkan untuk semakin terjerembab dalam diskriminasi,” kata Valeri.
Mungkinkah Perda Adil bagi LGBTQ?
Dalam konteks pembentukan peraturan, ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni proses dan materinya. Valeri menjelaskan, secara proses yang perlu diperhatikan adalah proses pembentukan peraturan tersebut harus partisipatif. Artinya, tidak hanya menghadirkan kelompok mayoritas, tapi juga melibatkan kelompok-kelompok yang akan terdampak dari peraturan tersebut.
Apabila dalam penyusunan Raperda anti-LGBTQ yang diajak bicara hanya kelompok yang anti-LGBTQ, tentu hal ini tidak menggambarkan proses yang partisipatif sebab tidak melibatkan kelompok-kelompok yang terdampak. Jika perda ini disahkan, ini menjadi sebuah catatan dari sisi proses.
“Saya kira, teman-teman aktivis atau teman-teman LGBTQ sendiri harus protes. Bagaimanapun, proses pembentukan peraturan itu akan meaningfull ketika semua terlibat dalam proses pembentukannya,” tutur Valeri.
Dalam proses, partisipasi bukan berarti hanya datang tanda tangan daftar hadir, melainkan terlibat menyampaikan aspirasi, dan aspirasinya harus dipertimbangkan oleh pemangku kebijakan. Selanjutnya, pembentuk peraturan punya tanggung jawab untuk menyampaikan kembali hasil dari aspirasi yang disampaikan itu. Hanya dengan ini, sebuah peraturan bisa disebut berkeadilan.
Selanjutnya dari sisi materi adalah apa yang harus ada di dalam materi peraturan. Materi dari sebuah peraturan harus menggambarkan dan mencerminkan kitab hukum di Indonesia. Valeri mengungkapkan bahwa negara hukum punya Pancasila yang salah satu silanya mengamanatkan keadilan sosial. Meskipun orang bisa berdebat ada sila Ketuhanan dan agama melarang LGBTQ, Valeri mengingatkan bahwa negara berkewajiban memenuhi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari kelompok minoritas gender itu. Apalagi dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundangan, telah diatur tentang asas kemanusiaan, asas keadilan, persamaan kedudukan, dan seterusnya
“Nah, apa posisi negara terhadap warga negara itu harus klir di situ, dan saya kira dari sisi materi, supaya berkeadilan, kita kembali ke sana,” tutur Valeri. “Kembali pada semangat kesetaraan tadi.”
*Liputan ini bagian dari Program Workshop dan Fellowship Keberagaman Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta