• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG (44): Farah tidak Lelah Berbuat Kebaikan

CERITA ORANG BANDUNG (44): Farah tidak Lelah Berbuat Kebaikan

Farah Prisilliana percaya dengan jalan kebaikan walaupun menjadi seorang transpuan di negeri ini bukan perkara mudah.

Farah Prisilliana, pegiat di komunitas pendamping transpuan Srikandi Priangan. (Dok. Farah Prisilliana)

Penulis Sarah Ashilah4 Desember 2021


BandungBergerak.idKehidupan yang keras sering kali membentuk seseorang menjadi pribadi yang getir nan sinis. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Farah Prisilliana, 45 tahun, yang tetap percaya pada jalan kebaikan. Bagi Farah, pengalaman hidup membuatnya semakin kuat. Bukan hanya kuat untuk dirinya sendiri, tetapi juga memberikan kekuatan untuk teman-teman sesama transpuan di sekelilingnya.

Menjadi seorang transpuan di negeri ini tentulah bukan perkara mudah. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap hal itu tabu. Tak jarang, para transpuan terasingkan dari keluarga sendiri karena dianggap aib. Ini pernah dialami oleh Farah di dalam salah satu bab kehidupannya.

Keluarganya sudah menyadari jika ia berbeda dari anak laki-laki lainnya sejak kelas 5 sekolah dasar (SD). Kala itu, Farah sudah terlihat berlaku seperti anak perempuan. Aktivitas bermainnya banyak dihabiskan dengan teman-teman perempuan sebaya. Farah menyukai bermain anyang-anyangan (rumah-rumahan) dan dokter-dokteran bersama teman-teman perempuannya.

Ketika almarhum ayahnya masih ada, Farah biasa dibelikan mobil-mobilan, robot-robotan, atau bola sepak. Alih-alih dimainkan, Farah kecil menusuk bola tersebut hingga kempes. Begitu juga nasib mainan robot-robotan yang berakhir di selokan karena dia tidak menyukainya.

"Kalau dikasih boneka, saya nyaman. Saya bisa tidur kalau sama boneka. Saya juga mulai menyadari kalau saya senang dengan laki-laki itu kelas 6 SD. Tapi masih sebatas suka-sukaan saja. Barulah sewaktu SMP, itu pertama kali saya berhubungan seks," ungkap Farah mengenang masa remajanya.

Tidak cukup menerima stigma dari keluarga sendiri, di bangku SMP Farah juga kerap menerima perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya. Panggilan 'bencong' pun melekat pada dirinya. 

Jengah akan perlakuan orang-orang di sekitar yang tidak bisa menerima kenyataan dirinya, Farah memutuskan keluar dari rumah, lalu terjun ke jalanan selepas lulus SMP. Sembari menjajakan diri demi menafkahi dirinya sendiri, di jalanan pulalah pencarian jati dirinya dimulai.

Kala masih menjajakan diri, banyak dari teman-teman transpuannya yang meninggal dunia akibat kondisi kesehatan yang memburuk. Ketika itu, banyak dari teman-teman transpuan yang tidak melakukan screening HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) akibat tekanan dari para senior transpuan.

Para senior ini, atau kerap dipanggil mami, akan mengancam jika ada transpuan pekerja seks yang melakukan screening, dia tidak lagi diperbolehkan nongkrong. Karena itulah Farah pun menjadi enggan memeriksakan dirinya.

Namun kondisi kesehatan tubuh Farah yang menurun mendorongnya melakukan screening secara diam-diam. Pertama kali melakukan screening, dia mendapati hasil negatif. Tidak disangka-sangka, hasil negatif tersebut merupakan masa jendela—masa antara masuknya virus HIV ke dalam tubuh—dari virus yang sebetulnya sudah ada di dalam tubuhnya.

Tiga bulan setelah masa jendela, timbullah gejala-gejala lainnya, mulai dari batuk, diare berkepanjangan, jamur di mulut, hingga herpes.

"Akhirnya saya memeriksakan diri lagi, ternyata hasilnya positif HIV. Saya merasa campur aduk, stres, dan sedih. Saat itu saya masih tidak mau minum obat, karena itu minum obatnya seumur hidup," ujar Farah. 

Karena mengabaikan kondisinya, gejala yang Farah alami pun semakin parah. Dia terlihat seperti kulit dan tulang semasa itu. Untuk berjalan pun dia merasa tidak mampu. Akhirnya Farah menjalani perawatan intensif selama tiga minggu di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung demi memulihkan kesehatannya.

Setelah dirawat, Farah masih harus berobat jalan. Namun karena ternyata ia juga terserang Tuberculosis Multidrug - Resistant (TB MDR), dia harus meminum obat TB terlebih dulu selama hampir satu tahun.

Farah kemudian mengambil program obat antiretro viral—terapi ARV yang berfungsi menidurkan Human Immunodeficiency Virus atau HIV di dalam tubuh. Sudah hampir 8-10 tahun dia meminum obat ini. Sempat merasa bosan, namun ia tetap memaksakan diri untuk meminum obat ini agar dirinya dapat bertahan hidup. Farah akhirnya menganggap jika obat-obatan yang harus dikonsumsinya itu adalah vitamin.

Setelah rutin meminum obat, Farah dapat kembali beraktivitas. Dia lalu bergabung dengan teman-teman Srikandi Pasundan yang merupakan payung bagi Srikandi Priangan yang dijalankannya kini.

Setelah bergabung dengan Srikandi Priangan, Farah memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya yang dulu sebagai pekerja seks, dan memilih untuk membantu teman-teman transpuan. Sebelum menjadi ketua Srikandi Priangan, Farah direkrut menjadi seorang peer-educator terlebih dulu untuk menjangkau transpuan-transpuan yang membutuhkan pertolongan.

Perjuangan Farah di Srikandi Priangan pun membuahkan hasil. Aktivitas yang dilakukannya selama ini menyebabkan tingkat paparan HIV di kalangan teman-teman transpuan menurun drastis. Menurutnya, kini dari 10 orang transpuan hanya 4 orang yang mengidap HIV/AIDS.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (41): Syarif Pelukis di Jalan Braga, Berawal dari Kontraktor Bangunan kini Menjadi Seniman
CERITA ORANG BANDUNG (42): Ocin dan Mebelnya Setia Menanti Pelanggan
CERITA ORANG BANDUNG (43): Kepalan Tangan Tiga Buruh Perempuan di Gedung Sate

Farah Menginspirasi Sutradara Tonny Trimarsanto

Bukan hanya menginspirasi para transpuan, kisah hidup Farah Prisilliana rupanya telah menarik perhatian sutradara Tonny Trimarsanto. Film dokumenter berjudul “Pada Suatu Hari Nanti” garapan Tonny menjadi juara pertama di Grito Queer Festival dalam nominasi protagonis terbaik. Film ini juga telah tampil di berbagai festival film dunia, tiga di antaranya adalah European Film Festival Intregation You and Me, SonderBlu Film Festival, juga Festival Genders & Performances.

Farah, yang menjadi bintang film "Pada Suatu Hari Nanti", tidak menyangka jika kisah hidupnya dikenal sampai ke luar negeri. Dia mengingat, proses pembuatan film relatif menyenangkan meski selama tiga bulan kehidupannya harus berada di dalam sorotan kamera.

"Saya tentu ingin dikenal sebagai sosok role-model positif untuk orang-orang. Saya transpuan, ODHA, juga disabilitas, tapi saya bisa melakukan apa yang orang lain tidak bisa perbuat. Saya bisa berkontribusi terhadap masyarakat. Disabilitas bukanlah halangan untuk berkarya, jadi jangan mudah menyerah," tutur Farah.

Menurut Farah, kita sebagai manusia harus berbuat baik sebelum dipanggil Yang Maha Kuasa. Karena ketika manusia meninggal dunia nanti, hanya kebaikan yang ikut bersamanya. Dia juga berharap, jika dirinya tidak ada di kemudian hari, maka harus selalu ada Farah-Farah yang berikutnya.

Farah juga bercerita, demi memperingati hari AIDS sedunia yang jatuh pada 1 Desember 2021, dia akan menjadi sponsor di kegiatan yang diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) pada tanggal 10 Desember 2021 mendatang. Dia akan menyumbangkan 20 dus telur asin yang diproduksinya sendiri untuk mendukung acara tersebut.

“Jauhi virusnya, dekati orangnya, dirangkul harus kasih support," ujar Farah. "Kalau ada orang yang masih berburuk sangka, kita senyumin aja. Yang penting kita terus berbuat kebaikan.”

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//