CERITA ORANG BANDUNG (43): Kepalan Tangan Tiga Buruh Perempuan di Gedung Sate
Gaji yang minim mendorong mereka rela kepanasan dan kehujanan, siang dan malam, ikut dalam gelombang unjuk rasa buruh di Gedung Sate.
Penulis Emi La Palau2 Desember 2021
BandungBergerak.id - Iringan musik dangdut dari pengeras suara memecah kebuntuan malam. Hujan belum benar-benar habis, menyisakan gerimis yang membasahi tubuh-tubuh para buruh yang sudah kuyup. Alunan irama khas lagu koplo memompa semangat mereka untuk berjoget dan bernyanyi bersama. Hampir semua buruh itu mengenakan jas hujan plastik seadanya yang hanya menutupi bagian badan. Yang lain tetap menari meski tak memakai baju pelindung hujan.
Selasa (30/11/2021) itu, para buruh terus bertahan di depan Gedung Sate, Kota Bandung, menunggu Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang tak kunjung datang menemui. Setelah istirahat sejenak untuk salat, hingga waktu menunjukkan hampir pukul 8 malam, semangat para buruh tak juga pudar. Tubuh sudah basah sejak siang.
Para buruh perempuan pun terus bertahan. Ada Nining Indriyani, perempuan berusia 27 tahun yang datang bersama rombongan pekerja dari Subang. Dia sudah bekerja di pabrik sepatu impor Nike PT. Taekwang Industrial Indonesia sejak tahun 2019. Ketika itu informasi lowongan pekerjaan dia peroleh dari seorang kerabat.
“Semoga apa yang kita tuntut bisa didengar pemerintah. Kita rakyat itu susah. Kita kehujanan sampai sakit. Gak mungkin mau kayak gini kalau kita ga kekurangan,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id.
Harapan agar pemerintah mendengar dan lalu mau menaikkan upah Nining dan kawan lainnya tentu sejalan dengan naiknya biaya kebutuhan hidup. Upah yang mereka peroleh saat ini dengan delapan jam bekerja di pabrik, belumlah cukup. Ditambah lagi, upah tersebut bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh seorang sendiri.
Nining adalah perantau asal Palembang. Dia memantapkan niat berangkat ke Jawa Barat untuk mengais rejeki, setelah beberapa pekerjaannya di Palembang dirasa kurang bisa menjamin kesejahteraan. Di sana, dia sempat bekerja sebagai buruh di kebun sawit, dan di beberapa lainnya. Perempuan yang lahir pada 4 Desember 1994 itu kini adalah orang tua tunggal bagi kedua anaknya. Sang suami telah meninggal dunia beberapa tahun lalu, akibat sakit saraf kejepit yang dipicu beban pekerjaannya yang teramat berat menjadi buruh di perkebunan sawit.
Pekerjaan di perkebunan sawit memiliki risiko cukup tinggi, meski Nining bekerja sebagai mandor. Akhirnya setelah enam bulan, dia mencari pekerjaan lain. Nining sempat bekerja menjadi bagian administrasi di kantor kepolisian di daerahnya sekitar delapan bulan. Sebagai pemegang ijazah sekolah menengah kejuruan, gaji yang dia dapat tak seberapa. Dia memutuskan untuk pindah kerja lagi.
Sudah sejak lulus SMK, Nining mulai bekerja. Namun penghasilannya tak juga cukup untuk membiayai adik dan orang tuanya. Dia memiliki dua anak dari hasil pernikahannya dengan sang suami pada 2016 lalu: Alfian yang baru berusia 6 tahun dan sang bungsu yang baru berumur 4 tahun. Saat ini kedua anak tersebut dirawat oleh orang tua Nining di Palembang.
Gali Lubang Tutup Lubang
Pendapatan Nining dari pabrik sepatu pun tak seberapa. Mandek di besaran upah minimum Kabupaten Subang yang saat ini sebesar 3,1 juta rupiah per bulan. Dengan kebutuhan yang banyak, Nining harus menyisihkan pendapatannya untuk keluarga di kampung. Awal bulan November 2021 ini, setelah menerima gaji, dia mengirimkan uang kepada orang tua dan anak-anaknya sebesar 1,5 juta rupiah. Uang tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan kedua anaknya. Si sulung sudah duduk di bangku TK, sementara si bungsu dikirim ke PAUD.
Nining harus menyisihkan pendapatan untuk membayar uang sewa kos-kosan sebesar Rp 700 ribu per bulan. Belum lagi gajinya sudah otomatis terpotong Rp 720 ribu untuk melunasi pinjaman ke perusahaan.Pada tahun 2020 lalu, ayah Nining masuk rumah sakit, dan harus mendapat perawatan akibat sakit kelainan darah. Dia terpaksa mengambil pinjaman dari perusahaan dan baru akan lunas pada Maret 2022 nanti.
Setelah dua alokasi utama itu terbayar, barulah Nining menggunakan sisa uang yang ia punya untuk mencukupi biaya hidupnya sehari-sehari di perantauan. Tentu, tak cukup.
Agar dapat bertahan, Nining sesekali berjualan sepatu yang dipesan oleh rekan-rekannya di pabrik. Sepatu-sepatu itu dia ambil dari Kota Bandung untuk kemudian dijual kembali. Nining sendiri yang berbelanja barangnya ke kota, menaiki sepeda motor. Namun, penghasilan tambahan itu hanya sesekali dia peroleh. Hanya ketika ada teman yang memesan.
Tidak jarang, tiap akhir bulan, Nining sudah tak lagi memiliki uang untuk biaya makan. Jalan pintasnya, dia sering meminjam kepada teman.
“Sering (tidak ada uang), setiap dari akhir bulan sampai awal bulan gak megang uang sama sekali. Kadang minjem ke teman buat makan,” ungkapnya. “Tiap bulan pasti minjem ke teman. Gali lubang tutup lubang.”
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (40): Susi Berjualan Kosmetik di Pasar Kaget demi Ekonomi Keluarga
CERITA ORANG BANDUNG (41): Syarif Pelukis di Jalan Braga, Berawal dari Kontraktor Bangunan kini Menjadi Seniman
CERITA ORANG BANDUNG (42): Ocin dan Mebelnya Setia Menanti Pelanggan
Kondisi yang tidak jauh berbeda sering dialami Ami Astuti (36). Dia juga merupakan pekerja di pabrik yang sama dengan Nining, sejak 1 Juni 2015.
Sebelumnya, Ami hanya ibu rumah tangga. Sang suami pekerja harian lepas di perusahaan beras dengan pendapatan yang tak menentu. Jika sedang ramai pesanan, suaminya bisa mendapatkan uang, namun seiring pandemi, suaminya seringkali tak punya uang. Satu-satunya pengharapan keluarga, ya, dari gaji Ami.
“Memutuskan kerja karena kebutuhan, bantu suami juga. Suami serabutan di pabrik beras. Harian,” tutur Ami.
Ami memiliki empat orang anak. Si sulung, Wildan (18), baru lulus SMK dan saat ini sedang mencari pekerjaan. Anak kedua Adrian (14) sedang duduk di kelas dua SMP, sementara anak ketiganya Sri Fatima (11) bersekolah di kelas 6 SD dan si bungsu Sasa (4) belum bersekolah.
Tiap gajian uang Ami sering kali langsung tandas tak bersisa. Sejak pandemi, selain pendapatan suami berkurang, anak-anak yang bersekolah daring membuat pengeluarannya bertambah. Dua anaknya membutuhkan telepon pintar untuk keperluan pembelajaran. Alhasil, Ami harus kredit HP untuk anak-anaknya.
“Karena gaji kita belum layak, untuk biaya sehari-hari saja kita masih minjem. Apalagi kalau suami lagi gak ada penghasilan,” ungkapnya, ketika ditanya mengapa masih bertahan di depan Gedung Sate.
Persoalan makin berat dengan pengeluaran lain. Ami juga punya utang ke koperasi. Jika ingin mendapat uang tambahan, dia harus lembur untuk mendapat Rp 3,3 juta. Namun, pekerjaannya yang sif agak sulit untuk mendapat lembur.
“Jujur saja kita dari gaji gak kebagian, (karena) punya utang ke koperasi. Sehari-harinya, kalau pengin dapat 3.3 juta rupiah harus lembur. Sedangkan pengeluaran lebih 4 juta rupiah sebulan. Jadi nutupin itu dari berutang gali lubang tutup lubang,” tuturnya.
Sudah sejak dua bulan lalu, Ami terus ikut dalam aksi unjuk rasa. Bersama para buruh di Kabupaten Subang, dia menuntut kenaikan upah sebesar 5 persen yang kemudian disetujui oleh Bupati. Perjuangan membuahkan hasil. Namun, keputusan akhir penetapan ada di tangan Gubernur.
“Makanya saya tiap ada aksi, ikut, benar-benar berjuang. Panas kepanasan, hujan kehujanan. Dua bulan terakhir kita turun aksi terus,” ungkap Ami, yang di masa kecilnya bercita-cita menjadi dokter.
Aspirasi dengan Puisi
Sambil mengacungkan tangannya yang erat terkepal, Sri Martati (48), salah satu pekerja di PT. Kahatex di Sumedang, turut berjuang dalam gelombang unjuk rasa buruh di Gedung Sate. Dengan lantang, dia merapalkan ayat-ayat puisi karya Etik Widya yang berjudul "Kepada Bapak-bapak Penguasa”. Suaranya menggema melalui pengeras suara.
Ketika kami mengadu tanpa lampiran bukti. Kau pura-pura peduli
Ketika segala penyiksaan terkuak ke permukaan. Kau pura-pura berduka, Ketika kawan kami pulang tanpa nyawa
Bapak-bapak penguasa negeri, Masih banyak lagi. Derita yang menyita kebahagiaan kami.
Sudah sejak pagi Sri bersama rombongan pekerja dan serikat buruh bertolak dari Sumedang menuju Gedung Sate. Mereka membawa harapan agar tuntutan kenaikan upah sesuai rekomendasi bupati dan wali kota dari 27 daerah di Jawa Barat disetujui Gubernur.
Datang dengan harapan dan visi yang sama, Sri memilih menyampaikan aspirasinya menggunakan puisi. Dia berharap, dengan puisi pesan mereka bisa didengar. Sudah sejak malam, hingga hampir tengah malam, Sri menyiapkan puisinya.
“Pengin baca puisi. Kalau aspirasi biasa kan sudah biasa. Kalau perempuan bisa menyampaikannya lewat seni,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id.
Sudah sejak tahun 1994, sejak lulus dari SMA, Sri bekerja di PT. Kahatex sebagai operator sistem pengecekan kualitas produk. Bekal utamanya adalah hasil kursus komputer selama tiga bulan.
Sri berasal dari Desa Kesegeran, Cilongok, Banyumas. Dulunya Sri bercita-cita menjadi guru, namun karena keterbatasan biaya kedua orang tuanya, dia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Sri anak kelima dari delapan bersaudara.
Buruknya kemampuan ekonomi keluarga memaksa cita-cita Sri menjadi guru boleh kandas. Pun cita-cita Ami menjadi dokter. Namun sebagai perempuan buruh, semangat mereka tak pernah padam untuk menyuarakan hak.