• Opini
  • Membebaskan Dunia dari Penindasan, Pelajaran Berharga dari “Avatar: The Last Airbender”

Membebaskan Dunia dari Penindasan, Pelajaran Berharga dari “Avatar: The Last Airbender”

Kisah “Avatar: The Last Airbender” mengajarkan kita bahwa kekuatan solidaritas dan perlawanan bersama adalah yang paling dahsyat dalam menghadapi penindasan.

Zidan Faizi

Sarjana Komputer. Aktif Terlibat dalam Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID).

Poster Avatar: The Last Airbender. (Sumber: netflix.com)

26 Maret 2024


BandungBergerak.id – Dalam film "Avatar: The Last Airbender,", Negara Api adalah kekuatan imperialis yang memiliki agenda untuk mendominasi dunia Avatar. Kedominasian ini merupakan contoh yang sangat nyata dari ambisi yang tak terpuaskan dalam meraih kekuasaan dan sumber daya alam. Negara Api bukan hanya menginginkan kekuasaan politik, tetapi juga mengendalikan sumber daya berharga seperti batu api untuk memperkuat dominasi mereka. Dengan menguasai sumber daya ini, mereka memiliki keunggulan strategis dalam perdagangan internasional dan pertempuran militer.

Keinginan Negara Api untuk memperluas pengaruh mereka ke seluruh dunia Avatar tidak hanya tentang ekspansi teritorial, tetapi juga tentang kontrol atas sumber daya alam yang melimpah. Mereka menggunakan kekuatan militer dan politik untuk menaklukkan bangsa-bangsa lain, memaksa mereka untuk tunduk pada keinginan imperialistik mereka. Dalam prosesnya, mereka sering mengorbankan kesejahteraan dan kebebasan individu, dengan mengorbankan hak asasi manusia demi kepentingan negara.

Namun, salah satu tindakan paling kejam yang dilakukan oleh Negara Api adalah genosida terhadap seluruh Pengguna Elemen Angin di Negara Angin. Tindakan ini mencerminkan tingkat kebrutalan dan keangkuhan dari ambisi imperialistik mereka. Dengan memusnahkan seluruh bangsa udara, Negara Api tidak hanya mengambil alih sumber daya alam mereka, tetapi juga berusaha untuk menghilangkan segala potensi ancaman terhadap dominasi mereka di masa depan.

Penaklukan dan genosida yang dilakukan oleh Negara Api dalam "Avatar: The Last Airbender" menunjukkan bagaimana ambisi imperialistik dapat berujung pada kehancuran dan penderitaan bagi masyarakat yang terjajah. Ini adalah contoh yang mengingatkan kita akan bahaya dari kekuasaan yang tidak terkendali dan penggunaan kekerasan dalam mengejar kepentingan politik dan ekonomi. Dengan demikian, kisah ini tidak hanya menjadi cerminan dari dunia fiksi, tetapi juga refleksi yang dalam tentang realitas politik yang kompleks di dunia nyata.

Baca Juga: Film Horor Indonesia Dilihat dari Budaya dan Ekonomi Kreatif
Film Bumi Manusia, antara Idealisme Pembaca dan Pragmatisme Industri Film
Film Dirty Vote Bagian Penting dari Demokrasi

Konsep “Juru Selamat”

Konsep Avatar yang dianggap sebagai "Juru Selamat" merupakan simbol dari ketergantungan yang berlebihan pada satu individu untuk menjaga keseimbangan dunia, mengungkapkan kelemahan dalam sistem pemerintahan yang seharusnya melayani kepentingan mayoritas. Saat dunia bergantung pada Avatar sebagai satu-satunya harapan, ini menunjukkan ketidakmampuan untuk membangun lembaga-lembaga publik yang kuat dan proses yang transparan dalam mengambil keputusan. Lebih jauh lagi, budaya pengagungan terhadap tokoh-tokoh tertentu, seperti Avatar, raja, atau pemimpin suku, hanya menghasilkan keputusan yang terkadang menyimpang dari kebutuhan atau aspirasi mayoritas.

Di dunia nyata, pembelajaran dari konsep ini menegaskan bahwa kekuatan untuk melawan dominasi Negara Api tidak boleh bergantung pada satu individu/kelompok saja. Persatuan seluruh elemen yang tertindas, termasuk Pengendali Air, Bumi, dan Api, menjadi kunci untuk menghadapi kekuatan imperialisme yang menjajah. Solidaritas dan kolaborasi adalah senjata terkuat dalam menghadapi kekuatan yang mendominasi, menegaskan bahwa perubahan yang nyata dan revolusi sesungguhnya hanya dapat terwujud melalui usaha bersama elemen-elemen yang terpinggirkan tanpa memandang suku atau elemen yang ada, pembebasan umat manusia bukan hanya tugas Avatar, tapi adalah tanggung jawab semua manusia yang tertindas oleh kekuatan besar.

Namun, ketika Negara Api akhirnya dikalahkan oleh persatuan elemen-elemen yang sebelumnya tertindas, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh bangsa yang terjajah. Kekalahan ini mematahkan tekanan dominasi dan penindasan, membuka jalan bagi kebebasan dan keadilan yang merata bagi seluruh masyarakat dunia Avatar. Hal ini mengingatkan kita bahwa bahkan kekuatan terbesar dapat roboh di hadapan persatuan yang kokoh dan keinginan bersama untuk mencapai pembebasan yang sejati.

Diskriminasi Gender

Konservatisme Suku Air Utara dalam "Avatar: The Last Airbender" termanifestasi dalam kebijakan yang membatasi peran perempuan dalam medan pertempuran. Mereka mempertahankan tradisi kuno yang mengekang perempuan, menolak untuk mengakui potensi mereka sebagai pengendali elemen air yang kuat. Kebijakan ini mengekspos ketidakadilan gender yang terakar dalam struktur kekuasaan suku tersebut, memperkuat dominasi patriarki yang meredam kemajuan dan kesetaraan. Dengan menolak memberikan perempuan kesempatan yang setara untuk berkontribusi dalam pertempuran, Suku Air Utara menjaga status quo yang memiskinkan potensi penuh dan kontribusi mereka dalam pertahanan dan pembangunan suku.

Namun, dampak dari konservatisme ini menjadi semakin jelas ketika Suku Air Utara menghadapi serangan dari Negara Api. Meskipun memiliki potensi besar untuk melawan penjajah, keterbatasan dalam memobilisasi seluruh potensi pengendali air, termasuk perempuan, menyebabkan mereka terpecah dan rentan. Kurangnya persatuan dan pemakaian penuh potensi suku menyebabkan Suku Air Utara lebih mudah ditaklukkan oleh kekuatan imperialis. Ini membuktikan bahwa diskriminasi gender bukan hanya masalah moral, tetapi juga masalah strategis yang menghambat kemampuan suatu masyarakat untuk bertahan dan melawan ancaman eksternal.

Dengan kekalahan Suku Air Utara, "Avatar: The Last Airbender" memberikan pesan yang kuat tentang pentingnya kesetaraan gender dalam pertahanan dan pembangunan suatu masyarakat. Diskriminasi tidak hanya melukai individu secara langsung, tetapi juga melemahkan keseluruhan komunitas. Melalui penderitaan Suku Air Utara, kita diingatkan akan pentingnya mengatasi ketidakadilan gender dan memberdayakan semua anggota masyarakat untuk mencapai potensi penuh mereka, baik dalam waktu damai maupun dalam menghadapi ancaman eksternal.

Monarkisme yang Mendatangkan Perlawanan

Monarkisme yang dipraktikkan oleh Kerajaan Bumi dalam "Avatar: The Last Airbender" merupakan bentuk pemerintahan yang menempatkan kekuasaan mutlak pada monarki atau raja. Dalam konteks cerita, monarkisme ini menghasilkan sistem pemerintahan yang otoriter dan korup. Raja Bumi, sebagai pemimpin absolut, mengendalikan segala aspek kehidupan di kerajaannya tanpa memperhatikan kebutuhan atau aspirasi rakyatnya.

Dalam cerita, kekuasaan absolut Raja Bumi menciptakan ketidakadilan yang meluas di Kerajaan Bumi. Rakyatnya dipaksa untuk tunduk pada kehendaknya tanpa memiliki hak atau kebebasan untuk menyuarakan pendapat mereka. Ini menciptakan ketidakpuasan yang merajalela di kalangan rakyat, terutama mereka yang merasa tertindas oleh rezim monarki.

Ketergantungan pada monarki juga menyebabkan ketidaksetaraan yang mendalam dalam distribusi kekayaan dan keadilan sosial. Kekuasaan dan kekayaan terpusat di tangan elite, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian. Ini menciptakan ketegangan sosial yang meningkat di seluruh kerajaan, memperburuk kondisi kehidupan bagi mereka yang berada di bawah pemerintahan monarki.

Namun, dalam perjalanan Aang dan teman-temannya, kita melihat bagaimana monarki Kerajaan Bumi tidak bisa bertahan tanpa dukungan rakyatnya. Gerakan perlawanan yang tumbuh dari bawah, dipimpin oleh Toph Beifong dan kelompok Avatar, menentang kekuasaan otoriter Raja Bumi. Akhirnya, dengan bantuan elemen-elemen yang terpinggirkan dan rakyat yang bersatu, monarki Kerajaan Bumi digulingkan, membuka jalan bagi munculnya pemerintahan yang lebih adil dan demokratis.

Persatuan adalah Jalan Pembebasan

Dalam dunia yang digambarkan oleh "Avatar: The Last Airbender," kita melihat bagaimana ambisi kekuasaan dan penindasan dapat menghancurkan kehidupan dan memicu perlawanan dari yang tertindas. Setiap elemen cerita, mulai dari imperialisme Negara Api hingga monarkisme Kerajaan Bumi, mencerminkan realitas politik yang kompleks yang sering kali kita hadapi di dunia nyata.

Namun, tulisan ini bukan hanya tentang cerita fiksi; itu adalah cerminan dari keadaan dunia saat ini. Di masa kini, kita juga dihadapkan dengan penindasan dan dominasi yang mungkin tidak selalu terlihat secara kasat mata. Kekuatan besar dan korporasi berkuasa merajalela, mengeksploitasi sumber daya alam dan mengabaikan hak-hak asasi manusia demi keuntungan mereka sendiri.

Tetapi seperti dalam kisah "Avatar: The Last Airbender," kita diberi pelajaran yang berharga bahwa perubahan hanya dapat terjadi melalui perlawanan dan persatuan. Persatuan elemen yang terpinggirkan, seperti Pengendali Air, Bumi, dan Api, merupakan kunci untuk melawan tirani dan ketidakadilan yang menghancurkan kehidupan manusia.

Maka dari itu, kita diingatkan akan pentingnya tidak hanya memperjuangkan kebebasan dan keadilan bagi diri sendiri, tetapi juga untuk bersatu dan berjuang bersama-sama untuk pembebasan umat manusia. Kisah Avatar mengajarkan kita bahwa kekuatan solidaritas dan perlawanan bersama adalah yang paling dahsyat dalam menghadapi penindasan.

Dengan demikian, tulisan ini bukan hanya sekadar refleksi atas cerita fiksi, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Kita semua memiliki peran dalam memperjuangkan keadilan dan kebebasan, dan hanya dengan bersatu dan berjuang bersama kita dapat mencapai dunia yang lebih adil dan merata bagi semua.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//