• Kolom
  • MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #2: Dogdog, Kohkol, dan Sahur

MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #2: Dogdog, Kohkol, dan Sahur

Tradisi membangunkan sahur menjadi semacam gerakan kolektif untuk saling mengingatkan pentingnya puasa dengan semangat sosial, peduli sesama, empati dan toleransi.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Kesenian dogdog yang menjadi komponen reak dapat dijumpai di gang Kecamatan Cibiru, Minggu, 22 Oktober 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

29 Maret 2024


BandungBergerak.id – Saat asyik membaca koran Pikiran Rakyat, tiba-tiba Aa Akil (anak kedua, kelas 3 SD) datang bertanya, "Bah, kata Mbu video bangunin sahur Cibiru di Info Bandung Timur viral, ada dogdog? terus itu dogdog Tibelat, Juarta Putra atau Gumilang Putra bukan? Coba liat yuk Bah!"

Kujawab dengan singkat sambil menutup koran, "Duka, pan tos biasa di Cibiru mah ngadogdog pas sahur!”

"Cobi mana HP Babah urang tinggali, enya kitu!" Tanpa basa-basi kubuka Instagram, cari Info Bandung Timur, ada lima akun, coba dibuka satu-satu, pas Bandung Timur klik video, dicari-cari Setelah bulak-balik menelusuri ternyata ada video "Bangunin sahur ala Cibiru guys" pada akun @infobandungtimur_, akun dengan 7.126 postingan, 163rb pengikut, 294 mengikuti.Video membangunkan sahur untuk daerah Cibiru tersebut diunggah Sabtu, 16 Maret 2024 lalu dari sumber asli videonya tiktok/radil_muhammad (2023) yang telah ditonton 107rb, 4.414 suka, 127 komentar, serta 261 dibagikan.

Mari kita bandingkan dengan video terbaru “cuma di Ujungberung” dengan tulisan kondisi normal di Bandung Timur saat sahur ketika wekeend, yang berhasil ditonton 111rb, 3.222 suka, 162 komentar, 234 dibagikan.

Kondisi masjid Darussalam Bungbulang Garut, Rabu, 27 Maret 2024. (Foto: Nuralimat Hakiah)
Kondisi masjid Darussalam Bungbulang Garut, Rabu, 27 Maret 2024. (Foto: Nuralimat Hakiah)

Baca Juga: JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #13: Indahnya Berbagi, Nyate Bersama
MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #1: Nyekar, Kuramas, dan Botram

Berkah Puasa  

Pikiran melayang, menembus ruang dan waktu, langsung ada kerinduan ke kampung halaman di Bungbulang Garut Kidul yang berjarak 73 kilometer ke arah barat daya dari pusat kota Intan atau dari Bandung sekitar 136,4 kilometer lewat Sumadra; 112,0 kilometer lewat Pangalengan. Jika dari Cibiru menggunakan kendaraan umum (elf bomber, Aldy Jaya) bisa memakan waktu 5-6 jam. Di sana ada kebiasaan membangunkan sahur dengan mendengar, menabuh bedug, kohkol, sesekali ngalodong (meriam bambu), petasan.

Dahulu, saat masih kecil di Pasar Lama suka ikut-ikutan membangunkan sahur bersama anak-anak remaja (pamuda bardal, barudak Darussalam) yang dikomandoi oleh A Ipan, anak Ua.

Arak-arakan nakolan kohkol, kentongan, ember cat yang dijadikan alat musik ala kadarnya "Sahur, sahur, sahur, Bapak-bapak, Ibu-ibu sahur, sahur, sahur!" dimulai dari pos ronda dekat rumah Pak RW (guru SD, Ua Enjang) jalan ke atas kira-kira 50 meter untuk ke Pasantren dengan melewati jarian, tempat pembuangan sampah yang berada di samping heleran (tempat penggilingan padi Mang Eman).

Saat hari-hari biasa jarang orang melewati daerah ini kecuali buang sampah. Sebab rimbun, ditumbuhi pohon bambu-bambu (awi gombong, awi surat, caringin yang besar), sedikit gelap, banyak sampah. Sering orang tua dulu melarang anaknya untuk pergi ke jarian, "Bisi kasabet jurig jarian."

Pernah suatu hari Mang Pidin, rumahnya yang berbeda didepan heleran menakut-nakuti anak-anak saat bertemu di pos ronda, "Jang muterna tong ka jarian nya, bisi aya jurig?"

A Ipan langsung menjawabnya, "Wios Mang, biasana pas puasa mah jurigna oge dirangket atawa dicang-cang nya. Jadi moal aya!" Sambil memukul-mukul alat seadanya, "Sahur, sahur, sahur, Bapak-bapak, Ibu-ibu sahur, sahur, sahur!"

Dari tempat penggilingan padi jalan terus sekitar 50 meter belok kiri menuju sekolah dasar (Bungbulang I dan II) untuk memutar alun-alun, melewati KUA, masjid Agung, Rumah Sakit, terkadang bertemu (berpapasan) dengan rombongan lain dari Kaum, Panyingkiran, Pasantren yang sama-sama ikut membangunkan sahur, jalan terus melewati GOR (pasar ceplak sekarang) menuju jalan perapatan stamplat (terminal bus Eka Jaya, elf, Indomaret sekarang) terus mengikuti jalan Kandangwesi, dekat masjid Sabilissalam belok kiri untuk ke Pasar Lama.

Sesekali dari Rumah Sakit belok kiri ke kantor Desa Bungbulang yang berdampingan dengan kantor Kecamatan (Kawadanaan dulu) belok kanan untuk ke Pasar Lama jalur rumah Pak Haji Hasan. Semuanya berakhir di masjid Darussalam. Setelah itu bubar atau malah ikut sahur bersama orangtua pas lilikuran di masjid Darussalam. Asyik balakecrakan sahurnya.

Dalam satu kesempatan, anak-anak bardal pernah sekali membangunkan sahur dengan cara ngalodong di Joglo, sawah dekat rumah Mang Ujang (pedagang layangan yang asyik buat ngabuburit) tepat posisi di atas kolam Mang Apud, biasa dipanggil, yang terhalang satu kolam samping masjid Darussalam.

Selesai ngaji subuh, sambil ngabeubeurang, A Ipan mengajak teman sebayanya untuk pergi ke Cikaret, mata cai yang aliran airnya diarahkan ke balong milik Pak Haji Hasan, posisi sumber air ini tepat sebelum daerah Cangkudu untuk mencari pohon bambu, ternyata masih kecil dan tak cukup untuk dibuat lodong. Konon, tempat ini terkenal dengan mitos "Awas aya leled samak" kata orang tua, agar anak-anak tidak main ke Cikaret. Karena ditanami pohon cokelat, kapolaga, kelapa, kakao, bambu kuning, awi surat!

"Hayu barudak urang ka Cibalubur Loa ngala awina," ajak A Ipan. Memang sepanjang jalan menuju kuburan Astana Anyar Cangkudu terdapat awi surat yang tinggi dan besar milik Pa Haji, saat itu kebetulan Mang Obar, tukang kebun, penjaga kolam Pa Haji ada meminta izin untuk mengambil bambu yang akan dibuatkan lodong. "Mangga sa leunjeur wae, teras engke ngalodong na tong di Joglo nya, tapi di Inpres atawa ka Cibalubur wae da sepi!"

Selesai diambil bambunya dibuat lodong. Ruas bambu bagian dalamnya dikosongkan, pada ujung bambu diikat karet biar tidak pecah, karbit diberi air, ditutup dan disulut.

Ada yang dibagi tugas untuk pergi ke pasar membeli karbit, memikul lodong untuk dihantarkan ke pamatang sawah, dekat leuit (tempat menyimpan padi), samping SD Inpres (instruksi presiden era Soeharto). Setelah mendapatkan karbit, bukan untuk mematangkan pisang tapi dipakai tes lodong, dicoba-coba berkali-kali dan berhasil menyala lodongnya. Doar, Doar, Doar, mengeluarkan dentuman suara yang besar, menggelegar. Hore berhasil!

Muncul keinginan iseng untuk ikut membangunkan sahur dengan memakai lodong. Tiba waktunya, malah dimarahin tetangga karena menyalakannya di Joglo. "Dasar barudak, ari ngalodong mah di Cibalubur pas ngabuburit lain ayeuna rek sahur," umpat Mang Ujang.

Selesai ngaji Subuh, ajengan bertanya. "Saha tadi nu ngalodong pas sahur? Engke deui mah biasa mending nguriling muter ka alun-alun bari bawa kohkol nya ker tatalu! Lain nyeuneut lodong sagala," ujar ajengan.

Walhasil, aktivitas membangunkan sahur dengan kohkol sambil dibarengi dengan alat ala kadarnya tidak lepas dari pesan orang tua, kiai, ajengan, "Pahala ngagugahkeun nu sahur teh kacida ageung na, teras sahur, kangge ngalakonan ibadah puasa salami ramadan!"

Harapannya agar warga tidak kesiangan saat makan sahur guna melaksanakan ibadah puasa, aktivitas di siang harinya terus berjalan lancar, tidak lemas, malas dan tetap produktif bekerja, masar, nyawah, ngebon, tatanen.

Memang tradisi membangunkan sahur tiap daerah  berbeda-beda. Ini menjadi semacam gerakan kolektif untuk saling mengingatkan pentingnya puasa yang sangat erat dengan semangat sosial, peduli terhadap sesama, empati dan toleransi.

Suasana Joglo Bungbulang Garut, Rabu, 27 Maret 2024. (Foto: Nuralimat Hakiah)
Suasana Joglo Bungbulang Garut, Rabu, 27 Maret 2024. (Foto: Nuralimat Hakiah)

Menjaga Tradisi

Untuk di Cibiru, ngadogdog sahur sudah menjadi kebiasaan warga yang khas saat puasa. Seakan-akan menjadi identitas yang turun temurun dan menjadi daya tarik wisata religi. Dalam liputan Mengenalkan Reak pada Anak-anak dengan Ngariung di Sakola Lawang (hasil penelitian Unpar - hibah Dikti) dijelaskan dengan rinci,

Dogdog, salah satu alat musik perkusi tradisional Sunda yang sering digunakan untuk mengiringi pertunjukan Reak. Keberadaan Padepokan Bumi Ageung Saketi ada di Lingkung Seni Reak Tibelat, terkenal dengan Kesenian Reak Dogdog.

Ada lima jenis dogdog; dogdog tilingtit, dogdog tong, dogdog brung, dogdog dublag, dan bedug. Beberapa dimainkan dengan cara dipukul menggunakan panakol, dipukul menggunakan tangan.

Tentunya kebudayaan Sunda ini sarat makna dan filosofi. Pasalnya, dengan dogdog, generasi Z dan Alpha diajak agar selalu ingat untuk menjaga hubungan vertikal dengan Maha Pencipta. Tak heran bila aktivitas dogdog sering dimaknai dengan ngariung itu sendiri. (www.bandungbergerak.id).

Dalam Bookchapter KKN: Pemberdayaan Masyarakat untuk Peningkatan Desa Wisata di Kabupaten Bandung, terdapat tulisan reak dogdog sebagai Ikon Kesenian Desa Cinunuk Kec Cileunyi Kab Bandung (2023:217-232), Mohamad Rudiana, Yohanes Irmawandi yang dimuat pada Jurnal ISBI menuliskan,

Menurut informasi yang berkembang di masyarakat, seni reak bukanlah kesenian asli Cinunuk, melainkan seni tradisional yang berasal dari Rancakalong Kabupaten Sumedang. Kesenian réak merupakan kesenian rakyat yang pada awalnya difungsikan untuk upacara tutup nyambut ampih pare, upacara memasukan padi ke dalam lumbung (leuit) (Siswantara, 2021).

Kesenian arak-arakan réak di pertunjukan dari halaman rumah dan berjalan di sepanjang jalan, hingga kembali lagi ke halaman rumah. Selesai mengarak anak sebelum dikhitan, kesenian reak mempertunjukan tarian dan menyajikan bunyi-bunyian. Puncaknya dari pertunjukan reak adalah pemain Bangbarongan (Bérokan) dan Kuda lumping mengalami kerasukan roh (kesurupan, trance).

Peristiwa kesurupan saat pertunjukan merupakan puncak dari pertunjukan helaran reak. Tujuannya upacara tolak bala. Perpaduan dari jenis kesenian helaran reak, gerak- gerak tari lebih menekankan pada gerak-gerak saka (Siswantara, 2021).

Pada tahun 1960-an para pedagang dari Kabupaten Sumedang membawa pertunjukan kesenian reak ini, hingga ke daerah Cileunyi, Cinunuk, Cibiru, dan Ujungberung. Kesenian reak dogdog di Cinunuk telah ada sejak zaman tahun 1962.

Bagi Aki Rahma dan Abah Juarta dari Cinunuk mengubah fungsi seni ini menjadi seni pertunjukkan untuk mengarak anak khitan. Mereka menghilangkan Waditra Angklung, sehingga suara dari Waditra Dogdog lebih dominan. Oleh karena itu dinamakan seni “Reak Dogdog”.

Reak berasal dari kata bahasa Sunda yaitu ngareuah-reah, ngaramekeun (memeriahkan, meramaikan). Secara umum bentuk pertunjukan seni reak dogdog adalah helaran. Namun dalam bahasa masyarakat Cinunuk, dikenal dengan istilah arak-arakan, iring-iringan.

Pasalnya, kesenian itu dipertunjukkan dengan cara arak-arakan, mengelilingi kampung sebagai alat untuk menarik masa. Bentuk pertunjukan seni reak dogdog ada dua; pertama dogju (dogdog maju), kedua, dogcing (dogdog cicing). Saat dogju (dogdog maju), pertunjukan dilaksanakan dengan cara berkeliling kampung, setelah arak-arakan baru para pemain reak diam di tempat untuk dilanjutkan dengan Bangbarongan. Sedangkan dalam bentuk dogcing (dogdog cicing), pertunjukan hanya dilaksanakan di sekitar halaman yang punya hajat (Asykarulloh, A. 2022). (www.jurnal.isbi.ac.id)

Bila anak susah bangun sahur, maka istri punya jurus pamungkasnya. “Aa bangun sudah mau imsyak dan dogdog sudah lewat!” Meskipun anak ketiga Kakang terkadang ikut sahur.

Dengan sigap, Aa, Kakang bangun untuk makan sahur. Namun, harus merelakan tidak bisa menyaksikan atau sekedar mendengarkan lantunan dogdog yang diiringi dengan musik khas sunda, “Sahur, sahur, sahur!”

Cag ah.   

* Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang Ramadan.  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//