• Opini
  • MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #1: Nyekar, Kuramas, dan Botram

MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #1: Nyekar, Kuramas, dan Botram

Sanak saudara di rantau selalu pulang menjelang Ramadan untuk bertemu keluarga. Nyekar ke makam keluarga, botram ala kadarnya, serta mandi dan berenang di sungai.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Makam Dede, anak keempat. (Foto: Ibn Ghifarie)

21 Maret 2024


BandungBergerak.id – Bila puasa tiba, maka selalu datang kerinduan suasana Ramadan di kampung halaman. Sekedar merawat ingatan untuk mengobati masa kecil. Buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe) karya Haryoto Kunto menjadi pelipur hati. Santapan bergizi ngabuburit.

Untuk munggahan saum tahun ini memang tidak dilakukan di desa (Bungbulang Garut Kidul), tanah kelahiran, kampung halaman orang tua atau di kota (Tangerang) mertua, tapi bersama keluarga kecil di Cibiru Bandung.

Meskipun sudah tahun kedua, tidak dibarengi anak pertama (Kaka Fia, kelas 2 SMP) yang tengah mondok (Pesantren Al Kamil). Ya sekedar sahur, ngabuburit (pasar kaget 46, depan kampus UIN Bandung, Bunderan Cibiru) buka bersama, tarawih di awal Ramadhan absen, kecuali sepekan menjelang Idul Fitri, baru bisa kumpul berjamaah. Sungguh Indahnya kebersamaan.

Sebelum pemerintah menetapkan 1 Ramadan jatuh pada hari Selasa tanggal 12 Maret 2024. Anak kedua (Aa Akil, kelas 3 SD) selepas ngaji bertanya, “Abah kita ikut puasa kapan? Kuramas, munggahan itu apa? Kapan ziarah ke Dede?”

Kujawab dengan singkat, “Ngiringan pamarentah wae nya A!

Anakku terus bertanya, “Kenapa harus ada perbedaan di awal Ramadan sama Idul Fitri? Ada yang hari Senin atau Selasa, tapi asyik bisa lebaran dua kali ya Bah! Kaya dulu ya!”

Untuk menjawab soal Kuramas, diajukan pertanyaan, Tadi waktos ngaos diajar doa Kuramas kitu? Dugikeun ka naros sagala bag-bagan eta?”

“Iya tadi belajar doa Kuramas di pengajian,” jawab Aa singkat. “Aa harus hafal doanya! Tolong ajarin Aa ya Bah!”

Baca Juga: Ramadan dan Lebaran setelah Dua Tahun Pandemi
Ramadan Pertama Mahasiswa Perantau di Bandung
Ramadan Selfie

Merawat Tradisi

Dahulu, saat masih kecil di Kampung Darussalam. Aktivitas nyekar, ngojay, ngadulag sangat asyik dan ditunggu-tunggu anak-anak. Pasalnya, setelah beres-beres di Kuburan (Astana Anyar Cangkudu) yang selalu dikomandoi oleh paman (guru SMP), "Hayu barudak urang ka Cangkudu?" ajak Mang Ihin yang biasa dipanggil untuk membersihkan kuburan kakek. Cucu-cucunya biasa memanggil Aki Encur.

Saat tiba di Astana, paman selalu berpatokan pada pohon Hanjuang besar ke sebelah kanan dua langkah untuk membabat rumput ilalang sebagai tanda kuburan Aki (Apa Encur, biasa Mang Ihin ngageuntraan). Memang belum terbiasa nisan kuburan dibangun, dihiasi lantai, marmer. Kecuali padung dari kayu ditulis tangan yang sudah lapuk di makan usia.

Sanak saudara di rantau, selalu pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga, yang diteruskan dengan nyekar, nadran, ziarah ke makam nenek moyang, kakek, nenek, anaknya yang sudah wafat.

Sambil membawa makanan ala kadarnya untuk botram di sawah atau di atas bebatuan sungai. Tanpa ketinggalan membawa peci, sarung yang diselempangkan seperti Kabayan Saba Kota, terus dilanjutkan berenang di sungai (Cibalubur Loa, Cibalubur Sasak) yang diakhiri Kuramas dengan memakai sampo terbuat dari arang (abu) jerami padi yang sudah dibakar. Segar! Airnya jernih, ikannya (Beunteur, Bogo, Lubang) bisa dipancing untuk melengkapi botram. Nikmat sekali rasanya.

Selesai Shalat Zuhur atau sebelum tibanya waktu lohor, sarung yang diselempangkan tadi biasa digunakan untuk berenang, membuat permainan, babalonan, drum sarung, eentogan. Sambil bermain rarakitan dari gebog cau, babalonan, aktivitas ngaruru, saling membersihkan diri dengan cara bergantian digosok oleh batu, yang sudah dibersihkan, berbentuk lonjong, panjang, tipis. Anak-anak berbaris, mengantre atau sesekali membuat lingkaran untuk membersihkan bagian punggung yang agak susah dibersihkan sendiri. Jadi harus rela menunggu giliran atau secara bersama-sama dibersihkan. Indahnya berkumpul.

Terkadang selesai ngaruru, malah asyik main lempar tanah, pasir sambil petak umpet di air, bebatuan, tak ketinggalan sembunyi di balik pohon. Ada yang sering naik ke atas pohon Loa, A Ipan biasa dipanggil, anak Ua, lama tidak ditemukan, akhirnya loncat dari ketinggian sekitar 5-10 meter menceburkan diri ke dasar sungai yang jernih, muncrat. Seakan-akan ragam ikan di dalam air terlihat dengan jelas.

Tentunya, dengan tetap melaksanakan salat di bebatuan jadi aktivitas yang tidak boleh ditinggalkan saat ngojay di Cibalubur. Bisi pamali, doraka! Sungguh praktik ini menjadi bukti nyata atas harmonisasi budaya Sunda dengan Islam yang ditanamkan sejak dini oleh orang tua, ajengan.  

Saat Aa Akil berziarah ke makam Dede, anak keempat. (Foto: Ibn Ghifarie)
Saat Aa Akil berziarah ke makam Dede, anak keempat. (Foto: Ibn Ghifarie)

Ziarah Ingatan

Masih segar dalam ingatan, selesai mandi di sungai Cibalubur Loa. Saat ngaji sore anak-anak selalu ditanya oleh Ajengan, guru ngaji. “Saha nu hente acan Kuramas ngacung? Masih aya waktos dugikeun ka Maghrib! Omat nu hente acan Kuramas, dianggir, diruruan di bumi wae hente kedah ka Cibalubur nya!

Ngadulag setelah Salat Magrib jadi tanda dimulainya puasa esok hari. Tentunya selesai Salat Isya diteruskan dengan tarawih, tadarus. Ada yang 23 rakaat di masjid Darussalam, Kaum, Pasantren; 11 rakaat di masjid Mujahidin, Sabilissalam, Babussalam, Cigolewang.

Seperti tahun sebelumnya, warga Babakan Dangdeur (Badeur, biasa anak Karang Taruna menyebutnya) saat menjelang Ramadan selalu diadakan bersih-bersih, opsih lingkungan, solokan, parit, tak ketinggalan membersihkan masjid (Ar Rahman) yang diakhiri dengan botram.

Namun, pada tahun ini tidak ikut beres-beres masjid, karena berbarengan dengan adanya keperluan keluarga. Botram apabila. Hapunten nu kasuhun Pa RT, pengurus DKM! Sebagai penggantinya malah ikut nimbrung mayor, makan bareng dengan Ibu-ibu tetangga, yang dianggap paling sepuh berkata "Hayu nambih deui, da engke mah moal tiasa botram nya!"

Ketika asyik membaca buku Ramadhan, Haryoto Kunto menuliskan:

"Ramadhan adalah rajanya bulan. Bulan penuh berkah, hikmah dan ampunan. Dengan kerinduan yang mendalam umat Islam setiap masa menunggu kehadirannya. Ibadah puasa dikerjakan dengan tekun dan sederhana oleh warga Bandung baheula, kini tinggal menjadi kenangan indah, memori sejarah yang terpaut erat dalam kalbu."

"Kala itu, menurut sesepuh Sunda sering disebut Jaman di Imah betah ku rupa-rupa larangan. Rupa-rupa bisi jeung pamali. (Jaman betah di rumah nan penuh segala larangan. Berbagai pamali dan kecemasan yang mungkin terjadi). Seperti jatuh akibat naik pepohonan, tertusuk duri karena main di kebun. Jangan main dekat sumur nanti kabadi atau kasibat. Jangan bermain dekat sungai nanti tenggelam. Awas, jangan sekali -kali makan dengan menggunakan cowet sebagai piring, kalau bujang atau jejaka bisa-bisa ngawin janda. Sedangkan kalau masih gadis jangan-jangan nanti kawin dengan aki-aki. Sialnya, sekali orang terlewat lupa mandi keramas, konon ibu cepat mati. Masya Allah! Begitulah tahayul, pantangan orang kuno." (h.21).

 

Mengingat bahwa Ramadan merupakan saat bertapa sebulan lamanya, mencegah makan-minum, berbuat maksiat dan laku bicara yang tercera, maka sebagian warga Kota Bandung yang doyan makan mengawali munggah dengan acara makan-makan bersama.

Acara makan minum bersama ini dikenal dengan istilah botram yang sering diselenggarakan di tempat wisata, alam terbuka (sawah, ladang, daerah indah pegunungan), di kebun milik pribadi. Kegiatan Meok (makan enak omong kosong) tadi berlangsung meriah, di seling sempal guyon penuh kegembiraan.

Sebulan sebelum memasuki bulan Ramadan, secara gotong royong warga kampung menata dan membersihkan perkuburan sekaligus menziarahi makam para leluhur dan handai tolan.

Walhasil, diteruskan dengan gotong royong "bersih-bersih desa" yang meliputi perbaikan lorong, jalan kampung, membersihkan selokan, mengecat (mengapur) pagar, bagunan dan membersihkan halaman dan lingkungan kampung. Jadi tidak seperti sekarang orang mengapur bangunan dan membersihkan lingkungan bila menyambut perayaan 17 Agustus. Tapi dulu, hal itu dilakukan orang dalam rangkaian menyambut bulan suci (bersih) Ramadan. (Haryoto Kunto,1996:25, 27-28)

Tiba-tiba anak ketiga (Kakang Faqih, umur 3 tahun) memanggil, “Babah baca cerita Kancil ya!”

Cah ah.

* Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang Ramadan.  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//