• Cerita
  • Ramadan Pertama Mahasiswa Perantau di Bandung

Ramadan Pertama Mahasiswa Perantau di Bandung

Cerita mahasiswa perantau asal Banda Aceh dan Makasar menjalani Ramadan pertamanya di Bandung. Ada suasana dan tradisi yang berbeda, selain rindu pada keluarga.

Musafir dan pengunjung menunggu waktu berbuka puasa dengan lesehan di trotoar di depan Masjid Lautze 2 di Bandung (27/3/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul2 April 2023


BandungBergerak.id – Sudah menjadi tradisi di beberapa daerah untuk menjalani puasa di bulan Ramadan bersama keluarga. Di Jawa Barat misalnya ada tradisi munggahan, yaitu menyambut Ramadan dengan berkumpul bersama keluarga, makan bersama dan saling bermaafan. Pun di daerah lainnya juga ada tradisi yang hampir mirip dengan ciri khasnya masing-masing. Namun, momen Ramadan harus dijalani berbeda oleh mahasiswa perantau yang baru pertama kali menjalaninya di perantauannya.

Misalnya mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung asal Banda Aceh, Gebrina Liya Anggraini Cutnyak Dahnial (18 tahun). Geby, demikian ia kerap disapa merupakan mahasiswa semester dua jurusan Studi Agama-Agama (SAA). Tahun ini merupakan tahun pertamanya menjalani Ramadan dengan kondisi dan lokasi yang jauh berbeda.

“Sedikit berbeda dan repot, yang dulunya sahur disediakan dan disiapkan oleh orang tua, sekarang harus memasak sendiri dan menyiapkan bukaan sendiri,” ungkap Geby pada BandungBergerak.id, Selasa (28/3/2023).

Sepanjang Ramadan ia berencana memasak untuk kebutuhan makan ketika sahur dan berbuka puasa. Meski, ia akan tetap berburu takjil sebagai kudapan saat berbuka.

Ia merasakan suasana Ramadan yang berbeda di Bandung dan di Aceh. Misal, di Bandung masih banyak warung makan yang masih buka di siang hari di bulan Ramadan. Sementara di tempat asalnya, provinsi dengan aturan syariat Islam itu melarang warung makan, warung kopi, dan sejenisnya untuk buka di siang hari.

“Perbedaan lain kalau di Aceh saat menunjukkan waktu imsak dan berbuka,” ujar Geby.

Ia melanjutkan, di Aceh sebelum azan Magrib dan azan Subuh berkumandang di masjid-masjid akan memperdengarkan suara sirene selama sekitar satu menit. Suaranya mirip suara sirene peringatan tsunami. Setelah suara sirene ini berakhir sebagai tanda batas akhir imsak atau waktu berbuka tiba, barulah azan dikumandangkan.

Namun, satu hal yang paling dirindukannya adalah berkumpul bersama keluarga saat berbuka dan sahur.

Selama Ramadan, perkuliahan di kampus UIN Sunan Gunung Djati berjalan seperti biasa. Hanya saja, kata Geby, beberapa dosen ada yang melaksanakannya secara daring maupun luring. Salah satu yang dikeluhkan olehnya saat kuliah daring adalah pemberitahuan jadwal yang mendadak. Sehingga perlu untuk menyesuaikan waktu. Pembiasaan selama Ramadan juga perlu untuk dilakukan.

“Berbaur dengan teman yang berdomisili di Bandung untuk lebih terbiasa dengan kebiasaan dan kegiatan mereka saat Ramadhan,” ujarnya.

Mahasiswa di UIN Sunan Gunung Djati datang dari seluruh daerah di Indonesia bahkan dari negara tetangga seperit dari negara-negara Afrika. Total mahasiswa baru angkatan 2022 sejumlah 7.268 orang.

Baca Juga: RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #4: Hasan masih Menunggu Godot di Pasar Buku Palasari
Jangan-jangan di Bandung Banyak Reklame tak Berizin, Mudah Roboh, dan tidak Membayar Pajak?
Membicarakan Pantomim, Kolaborasi, dan Ruang: Kisah dari Tiga Daerah

Merindukan Budaya di Kampung Halaman

Pengalaman pertama menjalani Ramadan pun dirasakan berbeda oleh mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati lainnya asal Makassar, Sulawesi Selatan, Muhammad Rendy Argawinata. Rendy adalah mahasiswa semester dua jurusan Ilmu Hadits. Tahun ia menjalani Ramadan bersama teman-teman kuliahnya yang berasal dari Bandung dan daerah-daerah lainnya.

Jika Ramadan sebelumnya ia bisa “mager-mageran” di rumah, sekarang ia harus bergerak menyiapkan kebutuhan Ramadan secara mandiri. Di rumah, waktu sahur dibangunkan oleh orang tua dan makanan sudah terhidang di meja makan. Hal yang sama juga dirasakan ketika akan berbuka puasa.

“Berbanding terbalik dengan puasa di perantauan yang mungkin kita harus berusaha sendiri untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, semua tidak instan begitu saja. Saat sahur tidak ada orang tua yang bangunin, dan saat buka puasa tidak ada orang tua yang menyediakan makanan yang siap untuk kita santap,” cerita Rendy kepada BandungBergerak.id, Kamis (30/3/2023).

Secara umum, ia merasakan antusias yang sama antara masyarakat di Makassar dan di Bandung saat menyambut bulan Ramadan. Hanya saja yang berbeda adalah budaya dan kebiasaan masing-masing. Kata Rendy, orang-orang di kampung halamannya memiliki cara tersendiri untuk menyambut dan memeriahkan Ramadan yang dirasanya berbeda dengan di Bandung.

Selain beribadah, ada beberapa tradisi yang dijalankan di Sulawesi dalam menyambut Ramadan yang dipercaya untuk menambah keberkahan dan suka cita selama Ramadan. Contohnya adalah tradisi pembacaan Kitab Barzanji, membuat makanan khas yang disebut Songkolo Patang Rupa dan makanan-makanan manis, serta menyalakan lilin sesudah Magrib dan menjelang Isya.

Songkolo Patang Rupa adalah masakan khas dari ketan sebagai simbol perekat sesama manusia. Kebiasaan memasak ini biasa ditemui ketika menyambut Ramadan. Patang Rupa artinya empat warna. Biasanya, lanjut Rendy, masyarakat Sulawesi menggunakan warna hitam, putih, kuning, dan merah pada ketan.

“Kemudian berdoa kepada Allah untuk diberi berkah dan keselamatan. Itu berdoa semoga di balik ritual itu berisikan tentang keselamatan selama menjalani Ramadan, kemudian bisa bertemu kembali di tahun akan datang,” terang rendy.

Selain itu, membuat makanan manis disimbolkan sebagai bentuk penyesuaian dengan harapan dapat menikmati dan menjalani Ramadan dengan “manis” atau enak. Satu kebiasaan lainnya adalah menyalakan lilin. Tradisi ini, kata Rendy secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Sulawesi sebelum ada aliran listrik di Sulawesi hingga sekarang.

Selain tradisi-tradisi di kampung halaman yang ia rindukan, menjalani Ramadan bersama keluarga, suasana kampung halaman dan kuliner khas Sulawesi adalah kerinduan yang paling utama. Namun, dengan sedang menjalani kuliah dan menjadi anak rantau di Bandung, ia juga mendapatkan pengalaman baru menjalankan Ramadan di Bandung.

“Menjalani Ramadan di perantauan juga harus tetap menjalani perkuliahan dirasa sedikit menantang karena jam perkuliahan di pagi hingga sore hari sangat menguras tenaga. Di samping itu, butuh kesabaran dan ketulusan dalam menjalaninya, antara mengerjakan tugas dan menjalankan ibadah di bulan Ramadan harus seimbang,” tutup Rendy.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//