• Cerita
  • RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #4: Hasan masih Menunggu Godot di Pasar Buku Palasari

RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #4: Hasan masih Menunggu Godot di Pasar Buku Palasari

Meski sepi pembeli, Ramadan tahun ini Hasan bisa pulang kampung untuk munggahan, tradisi yang tak bisa ia lakukan selama Ramadan di tahun pagebluk lalu.

Hasan Basri, pemilik Toko Buku Hans di Pasar Buku Palasari, Kota Bandung, Selasa (28/3/2023). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau31 Maret 2023


BandungBergerak.idBuku Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer tampak berdebu. Debu yang sama melekat pada barisan buku lainnya yang menjejali rak-rak di Toko Buku Hans, Pasar Buku Palasari, Kota Bandung. Hasan Basri, sang pemilik toko, menyibukkan diri membersihan dagangannya sambil menunggu pembeli yang tak kunjung datang.

Saat ditemui pada hari keenam Ramadan, Selasa (28/3/2023), belum seorang pun pembeli yang mampir ke Toko Buku Hans. “Jam segini belum ada yang nanyain, dari pagi buka jam 8 sampai sekarang belum ada (pembeli). Namanya juga usaha,” ujar Hasan Basri, ketika ditemui Bandungbergerak.id.

Jarum jam sudah menunjuk ke angka 13.00. Pengunjung setia yang mampir ke toko cuma debu. Hasan tetap berusaha bersabar bercampur pasrah menanti pembeli.

“Mau gimana lagi. Mau teriak-teriak susah, ya hadapi sajalah,” ucapnya.

Toko Buku Hans menjual beragam buku baru maupun bekas dengan genre fiksi dan nonfiksi. Ia mulai berdagang buku sejak 1999, setelah sempat bekerja menjadi buruh pabrik selama enam bulan.

Lulusan sekolah teknik menengah (STM) ini mulanya belajar berbisnis kepada kakaknya. Setelah itu ia mulai membuka bisnis sendiri dengan mengontrak toko buku. Keuletannya berdagang berbuah toko milik sendiri, tidak lagi ngontrak.

Dua tahun lalu, Jumat (23/4/2021), Bandungbergerak.id pernah mengunjungi Toko Buku Hans. Situasi dan kondisinya sama, Hasan lebih banyak menunggu daripada melayani pembeli. Waktu itu diperparah dengan pagebluk yang membuat aktivitas masyarakat di bidang ekonomi dibatasi.

Pada hari-hari biasa tanpa pagebluk saja Hasan sudah kesulitan mendapat pembeli, maka ketika pagebluk jauh lebih sulit lagi. Buktinya di saat pagebluk mereda, pembeli buku tetap jarang.

Hasan sudah berusaha untuk membuka lapak daring. Hasilnya sama saja. Apalagi persaingan di toko online sangat sengit karena banyak penerbit yang juga jualan online. Mereka membanderol harga bukunya sangat murah. Jelas persaingan membanting harga ini tak bisa dilawan oleh para penjual kecil seperti Hasan.

Para penerbit bisa menjual buku dengan potongan sampai 45 persen. Sedangkan penjual seperti Hasan paling banter bisa memberikan diskon 35 persen. Itu pun dengan keuntungan yang sangat tipis. Jadinya Hasan merasa terjepit antara situasi di pasar buku luring dan perdagangan daring: sama-sama sepi.

Saingan lain datang dari para pedagang buku yang menjual buku tak original alias bajakan. Tapi Hasan tak bisa berbuat apa-apa pada persaingan tidak sehat itu. Ia menyadari betul bahwa semua orang butuh pendapatan untuk bertahan hidup. 

Saat ini sekolah dan kuliah sudah dilaksanakan kembali secara luring alias tatap muka. Berbeda dengan di masa dua tahun pagebluk lalu yang menyelenggarakan sekolah secara daring. Bagi Hasin sekolah daring maupun luring tak berdampak banyak pada peningkatan penjualan buku di Toko Buku Hans.

Tumpuan utama Hasan tetap ada pada pembeli yang datang langsung ke toko bukunya. Ia juga biasa bekerja sama dengan sesama pedagang buku di pasar buku legendaris tersebut. Beberapa buku yang ia jual hasil pengambilan dari sesama rekan penjual buku di sana.

“Banyak dari orang-orang. Dia juga suka ngambil ke kita, saling bantu. Kalau ngandalin buku sendiri susah juga, ya saling membantu,” katanya.

Baca Juga: RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #1: Masih Berjualan Kaus Bandung, Masih di bawah Teras Cihampelas
RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #2: Merawat Asa Toleransi Bersama Pendeta di Jamika
RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #3: Yani Maryani Konsisten di Balik Mesin Jahitnya

Kondisi Pahit Pandemi

Ketika pagebluk mereda, Hasin masih merasakan hantaman pada ekonominya. Pandemi telah menguras uang tabungannya. Hasan bahkan merasa kondisi setelah pandemi semakin parah. Pada saat pandemi ia masih bisa menjual buku satu dua di toko online, sekarang hal itu sulit dilakukan.

“Masih susah juga pembeli datang ke sini. Dampaknya (pandemi) uang habis kemarin,” katanya.

Hasan berusaha melihat sisi positif sebagai penyemangat hidupnya. Ia mengaku masih tertolong karena toko buku yang dijalankannya sudah milik sendiri. Seandainya ia masih ngontrak, sulit membayangkan betapa repotnya ia harus menutupi biaya kontrakan. Banyak pedagang buku lain yang akhirnya gulung tikar karena tak sanggup lagi membayar uang kontrakan.

“Di sini banyak yang gulung tikar, sama buku sama kios mau dijual, apalagi yang ngontrak lebih berat. Untungnya (saya) punya sendiri, kalau yang ngontrak mah babak belur,” ceritanya.

Selama dua tahun pagebluk kemarin, Hasan tak bisa mudik munggahan maupun lebaran. Tak ada penghasilan yang bisa dibawa pulang. Kalaupun ada uang, Hasan belum tentu lolos dari pembatasan sosial yang melarang mudik demi mencegah penyebaran virus.

“Jalan ditutup, kayak mau perang. Sebenarnya (saya lebaran tahun lalu) mau pulang, aparat TNI/Polri berjaga. Pusing kalau udah kayak gitu,” katanya.

Ramadan di tahun pagebluk membuat Hasan seperti di penjara. Ia menjalani munggahan dan lebaran seorang diri di Bandung, jauh dari istri dan anak. Jam buka toko buku pun sangat terbatas.

Gak bisa keluar aktivitas jualan kayak di penjara. Jualan jam 10 pagi jam 1 siang harus tutup, tiga jam,” ceritanya.

Beban hidup Hasan kian berat manakala kehidupan istri dan anak-anaknya harus tetap dibiayai, dapur keluarga harus terus terjaga. Ia akhirnya terpaksa meminjam uang ke bank untuk modal dan membiayai kehidupan keluarga. Total utangnya ke bank selama dua tahun pagebluk mencapai 20 juta rupiah!

Hasan harus membayar cicilan 700 ribu rupiah per bulan selama dua puluh empat bulan. Ia masih bersyukur karena utang tersebut dilakukan ke bank milik pemerintah yang bunganya cukup rendah. Berbeda dengan bunga bank swasta yang menyesakkan dada.

Hasan yakin rasa syukur harus terus dipanjatkan di tengah sulitnya ekonomi perbukuan. Dalam kondisi tersebut, Ramadan tahun ini ia bisa munggahan bersama keluarga, setelah dua kali Ramadan sebelumnya tak bisa pulang.

Pada hari pertama Ramadan, ia pulang dulu ke kampung halaman di Ciamis, Jawa Barat, untuk munggahan bersama keluarga. Uang yang ia bawa pulang besarannya tak seberapa. Tetapi yang penting tahun ini ia bisa berkumpul bersama keluarga. “Puasa pertama ngumpul keluarga. Bisa bawa pulang sedikit uang,” ujarnya.

Hasan Basri (38) menunggu datangnya pembeli di lapaknya di Pasar Buku Palasari, Bandung, Jumat (23/4/2021) sore. (Foto: Emi La Palau)
Hasan Basri (38) menunggu datangnya pembeli di lapaknya di Pasar Buku Palasari, Bandung, Jumat (23/4/2021) sore. (Foto: Emi La Palau)

Demi Keluarga

Hasan selalu berusaha menjaga semangatnya. Ia adalah tumpuan keluarga di kampung halaman. Anak pertamanya kini sudah berusia 12 tahun dan sedang duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) kelas tujuh. Anak kedua dan ketiganya kembar masih berusia 4 tahun. Tiga anak Hasan dirawat oleh istrinya Ciamis.

Sampai saat ini ia belum bisa memikirkan bagaimana caranya membelikan baju lebaran untuk ketiga anaknya. Kondisi pasar buku yang lesu membuat pikirannya tidak tenang. Yang ada di pikirannya cuma satu, yaitu berharap suatu saat jumlah penjualan bukunya bisa meningkat.

“Ramai weh mau gimana lagi, ingin semuanya orang ramai,” katanya.

Di toko bukunya di Pasar Buku Palasari, Hasan setia bersama rak-rak berisi buku menunggu pembeli sambil sesekali mengusir debu. Sama halnya seperti dua tahun lalu ketika Bandungbergerak.id mengunjunginya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//