RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #3: Yani Maryani Konsisten di Balik Mesin Jahitnya
Yani Maryani menjahit di emperan toko Jalan Cipaera, Kosambi, Kota Bandung. Ia menyambut Ramadan tahun ini dengan perasaan lebih cerah dari tahun-tahun sebelumnya.
Penulis Emi La Palau27 Maret 2023
BandungBergerak.id - Waktu buka puasa kurang dari dua jam lagi. Di balik mesin jahitnya yang bertuliskan “Yani Jahit”, Yani Maryani (43 tahun) berhasil mengumpulkan uang 110 ribu rupiah, jumlah yang lumayang untuk awal Ramadan. Apalagi ia baru buka setelah dua hari pertama Ramadan memilih libur. Ramadan tahun ini diharapkan tak semuram dua tahun lalu ketika dunia nyaris ambruk karena pagebluk.
Sambil ngabuburit, Yani masih harus melayani pelanggan terakhirnya sore itu, Sabtu (25/3/2023), yang minta dijahitkan celana panjang seragam SD. Setelah mengukur, Yani memasang benang berwarna merah marun ke mesin jahit tuanya. Roda mesin pun berputar.
Sepanjang hari itu, Yani melayani tujuh pelanggan yang menjahitkan celana maupun baju. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum pagebluk, jumlah tersebut turun drastis. Tapi Yani tetap bersyukur.
“Alhamdulillah ada yang ngejahit. Nanti kalau (sudah) dapat THR (orang-orang) baru mulai jahit agak banyakan baju baru (lebaran). Sekarang baju harian biasa saja,” kata Yani, kepada Bandungbergerak.id ketika ditemui di tempatnya menjahit, Jalan Cipaera, tak jauh dari Pasar Kosambi, Kota Bandung.
Sebagai tukang jahit pinggir jalan, pendapatan Yani tak menentu. Ada kalanya penghasilannya meningkat, ada juga saat-saat sepi. Namun Yani mengaku sekarang pendapatannya sudah berangsur normal.
Pada tahun pagebluk, Bandungbergerak.id pernah mengunjungi Yani yang setia dengan mesin jahitnya, Senin (19/4/2021). Waktu itu, pemerintah membatasi kegiatan masyarakat demi mengurangi kerumunan dan persebaran virus corona. Dampaknya luar biasa bagi orang-orang kecil seperti Yani yang pernah tak membawa uang sepeser pun setelah menunggu pelanggan seharian.
“Alhamdilillah sekarang paling sedikit 30 ribu sehari, kalau sekarang mah. Kalau waktu pandemi pernah sampai tidak ada sama sekali,” cerita perempuan berkerudung ini.
Masih seperti tahun lalu, Yani menggunakan sepeda sebagai kendaraan pribadinya. Ia biasa mengayuh sepeda mulai pukul sembilan pagi dari rumahnya di kawasan Gang Babakan Garut, Cibangkong, menuju tempatnya menggantungkan hidup di Jalan Cipaera itu. Jaraknya kurang lebih satu kilometer.
Kenangan Pahit Pagebluk
Ingatannya akan masa muram pagebluk masih menempel kuat di benaknya. Selama 6 bulan aktivitas warga ditutup. Yani tak bisa menjalankan mesin jahitnya. Sang suami, Agus (51 tahun), yang bekerja sebagai buruh harian lepas juga kehilangan pekerjaan. Pasangan suami istri ini terbelit kebutuhan hidup sehari-hari, selain berada di bawah ancaman virus mematikan.
Mereka bisa bertahan hidup dari hasil menjual barang-barang yang ada. Yani memang mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Tapi hanya sekali, tak bisa membuatnya bertahan menghadapi pagebluk yang kala itu entah kapan akhirnya.
Akhirnya, pagebluk berakhir juga. Yani dan suami sekarang berusaha bangkit dari pengalaman getir yang menghancurkan tatanan kehidupan mereka. Mereka memulai lagi menata hidup yang tidak mudah sambil berharap nasib terus membaik dan mesin jahitnya terus berputar.
Ramadan sekarang menjadi tumpuan Yani untuk menjemput nasib yang lebih cerah. Puncaknya pada menjelang lebaran nanti, Yani berharap jumlah pelanggannya semakin meningkat.
Selama menjahit, Yani tidak mematok harga tinggi. Potong celana harganya antara 12.000-15.000 rupiah. Namun kalau ada pelanggan yang memberinya 10.000 ia menerima saja.
Semakin sulit pengerjaan semakin tinggi ongkosnya. Misalnya untuk permak dan membesarkan pakaian membutuhkan proses pengerjaan lebih lama, Yani mematok harga 30.000-35.000 rupiah.
Di sisi lain, suaminya juga kini sedang bekerja. Dengan kondisi yang berangsur normal, Yani memegang prinsip bahwa hidup harus selalu disyukuri. Tidak boleh mengeluh sepi.
“Tahun ini ada lebih baik gitu. Suami kerja bangunan. Ga berani bilang sepi kalau bilang sepi jadi doa,” ungkapnya.
Baca Juga: RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #1: Masih Berjualan Kaus Bandung, Masih di bawah Teras Cihampelas
RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #2: Merawat Asa Toleransi Bersama Pendeta di Jamika
Mesin Jahit Warisan
Yani kelahiran Garut tahun 1979. Anak pertama dari lima bersaudara ini tumbuh dan dibesarkan di Bandung bersama sang nenek. Kedua orang tuanya berpisah ketika Yani masih berumur dua tahun.
Yani hanya mengenyam bangku pendidikan sampai jenjang SMP. Ekonomi menjadi alasan utama ia tak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Tak mau membebani orang tua dan neneknya, begitu lulus SMP ia mulai mencari pekerjaan. Namun sejak SD ia sudah mulai belajar menjahit dari ibunya yang bekerja sebagai penjahit bendera. Pada tahun 2001, ia mengikuti kursus menjahit. Tujuh tahun kemudian ia mulai berani membuka jasa menjahit, menjalankan mesin jahit warisan ibunya.
Kini di rangka mesin jahit tertera spanduk bertuliskan “Yani Jahit”, “Terima Permak”, “Jeans dan Kain”, “Pasang Bordir”. Selain itu, Yani menerima pasang ritsleting, membesarkan dan mengecilkan baju dan celana.
Yani mengaku tidak memiliki keahlian lain selain menjahit. Dari pekerjaan menjahit ini ia turut membantu kehidupan rumah tangganya. Ketika suaminya yang buruh serabutan sedang tidak bekerja, otomatis ia menjadi tulang punggung keluarga.
Meski demikian, Yani berusaha merendah soal keahliannya itu. “Jahit cuman dasar saja. Satu satunya penghasilan utama keluarga,” katanya.
Berharap Memiliki Momongan
Yani menikah tahun 2000 ketika usianya menjelang 21 tahun. Kini usianya sudah 43 tahun dan belum ditakdirkan mendapat momongan. Tak jarang ia mendapat stigma dari lingkungannya karena menjadi perempuan yang belum memiliki anak. Yani sabar menghadapi stigma tersebut.
“Sering dapat ungkapan (stigma), diam saja, soalnya mereka belum ngerasain, ngomong kayak gitu sisi lain karena belum tahu, sisi lain karena gak ngerasain,” ucapnya.
Sama seperti dijumpai dua tahun lalu, Yani tetap berharap memiliki anak. Terkadang benaknya dihinggapi rasa khawatir akan masa tuanya nanti. Pada kesempatan lain, pikiran buruk tersebut ia tepis sendiri karena pada dasarnya setiap orang memiliki nasibnya masing-masing. Termasuk soal anak.
“Jadi jalan saja, ikhtiar saja,” ucapnya, seraya sesekali melihat mesin jahit tuanya yang kadang-kadang suka mogok. Tetapi warisan dari sang ibu itu tetap setia menemani hari-hari Yani yang merindukan kehadiran buah hati.