Membicarakan Pantomim, Kolaborasi, dan Ruang: Kisah dari Tiga Daerah
Tiga seniman pantomim dari tiga daerah berbeda berbagi berbagi kisah. Farid Mime dari Kediri, Alfan Tomim dari Jombang, dan Wanggi Hoed dari Bandung.
Penulis Tofan Aditya28 Maret 2023
BandungBergerak.id – Di hadapan pengunjung, dengan wajah bercat putih dan pakaian hitam-putih, Nizar mencoba menghibur setiap mata yang memandang ke arahnya. Musik jazz mengiringi setiap gerak-geriknya. Nizar berdansa. Sesekali, dia juga memperagakan bagaimana lawan berdansanya berusaha mengambil benda yang ada di saku celana belakangnya. Riuh tepuk tangan terdengar selepas Nizar, yang juga merupakan seorang Tuli, menyelesaikan aksi pantomimnya.
Tidak hanya Nizar, Farid Mime, begitu ia sering disapa, juga berkesempatan untuk tampil. Sedikit berbeda dengan Nizar, Farid tidak menggunakan musik, dia memilih sebuah kursi sebagai properti. Di awal penampilannya, Farid duduk di kursi. Matanya melihat ke sekeliling. Tak lama, dia berdiri, sedikit membungkuk. Matanya membelalak, lidahnya keluar. Kemudian, Farid jatuh ke lantai. Tubuhnya menggeliat dan bergerak sedikit demi sedikit mengikuti arah kepalanya, seolah lehernya sedang ditarik oleh seseorang.
“Judulnya aja ya Anjing Penjaga,” terang Farid, “jadi dia tadi melet-melet di situ, lirik sana lirik sini, itu kayak ‘disuruh’ dan mau. Pada akhirnya dia kan keseret-seret. Dan matinya gak enak.”
Selain mereka berdua, ada pula Ismail, pemuda asal Jombang, yang ikut mempertunjukkan aksi pantomimnya. Pertunjukkan dari tiga seniman ini adalah agenda pembuka dalam kegiatan Art of Silence, Art of Life pada Sabtu (25/3/2023) sore. Bertempat di Pasar Antik Cikapundung, kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Mime Wanggi Hoed dan berkolaborasi dengan Red Raws Center ini merupakan rangkaian dalam perayaan Hari Pantomim Sedunia 2023 di Bandung.
Selepas pertunjukkan, acara dilanjutkan dengan bincang seni. Di hadapan pengunjung, duduk tiga seniman pantomim dari tiga daerah berbeda: Farid Mime dari Kediri, Alfan Tomim dari Jombang, dan Wanggi Hoed dari Bandung. Dipandu oleh Andy Waluya Wartja alias Kitting, ketiga seniman ini bercerita tentang pantomim, kolaborasi, dan ruang di daerah masing-masing.
Baca Juga: RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #3: Yani Maryani Konsisten di Balik Mesin Jahitnya
Menengok Patahan Lembang melalui Hutan Bambu di Gunung Arcamanik
Nonton Film di Gang: Upaya Warga Braga Menghidupkan Gang Apandi
Hari Pantomim Sedunia 2023 di Bandung: Perayaan Menembus Keheningan
Kisah Pantomim dari Jombang, Kediri, dan Bandung
Alfan Tomim diberi kesempatan pertama untuk bercerita. Beliau langsung bercerita tentang kesibukannya saat ini mengurus Sekolah Pantomim Nusantara di kediamannya di Jombang. Berdiri sejak tahun 2019, sanggar seni yang dinamainya sekolah tersebut fokus dalam mendekatkan pantomim pada anak-anak. Bahkan tidak hanya anak-anak, sejak dua tahun lalu, Sekolah Pantomim Nusantara juga fokus kepada kelompok difabel.
Setiap satu minggu sekali, tepatnya hari Jumat, anak-anak berkumpul dan berdiskusi. Di tiap pertemuannya, anak-anak dilatih untuk mengekspresikan imajinasi mereka. Nizar dan Ismail, yang merupakan penampil di agenda sebelumnya, adalah murid dari sanggar ini yang telah bergabung ketika duduk di bangku SMP. Bagi Alfan, Sekolah Pantomim Nusantara adalah upaya untuk menginklusikan pantomim agar dapat dinikmati oleh semua kelompok usia.
“Bagaimana anak-anak menjadikan pantomim sebagai media untuk membebaskan kemerdekaan mereka,” terang pria kelahiran Jember tersebut.
Selanjutnya giliran Farid Mime yang bercerita. Farid mengenal pantomim sejak masih bersekolah di salah satu SMP di Pasuruan, tepatnya tahun 2013. Namun ketika melanjutkan sekolah di salah satu SMK di Kediri, Farid sempat vakum menekuni pantomim. Baru kemudian saat berkuliah laki-laki bernama lengkap Farid Muhammad ini kembali tertarik dengan seni pantomim. Alasannya, belum ada seniman pantomim di daerahnya tersebut.
Bagi Farid, pantomim adalah salah satu cara untuk menyerap dan mengekspresikan perasaan, baik itu yang berasal dari diri sendiri maupun lingkungan. Oleh karenanya, laki-laki yang juga aktif terlibat dalam aksi-aksi di akar rumput ini menganggap bahwa tidak aneh apabila seni pantomim lekat dengan isu-isu di masyarakat, mulai dari isu lingkungan sampai hak asasi manusia.
“Kan aku berangkat dari psikologi gitu, jadi fokusnya lebih ke visualisasi rasa. Jadi, memvisualisasikan rasa apa yang diresahkan diriku gitu, utamanya. Pun dari hal-hal di lingkungan,” ucap Farid.
Sebagai pembicara terakhir, Wanggi Hoed memiliki cerita sendiri. Bagi Wanggi, seni pantomim sudah lama berkembang di Bandung. Nama-nama seperti Dede Dablo dan X Man pernah eksis sebagai pengisi pentas dalam seni yang menjadikan mimik dan gerak sebagai dialog.
Di tahun 2007, bersama Rama Kusnadi, Wanggi mendirikan sebuah komunitas ketika masih berkuliah di STSI Bandung. Komunitas tersebut bernama Mixi Imaji Mime Theater. Sejak tahun 2007 sampai 2011, tahun resmi kelahirannya, komunitas ini aktif berlatih pantomim setiap saat.
“Karena ruangnya kampus bahwa setiap hari latihan, ya tiap hari pertunjukkan,” terang Wanggi, “Latihan itu bagian dari uji coba, gitu.”
Melalui komunitas ini, Wanggi mulai mencoba menyoroti isu-isu kaum marginal dan kelompok minoritas. Suara dari kelompok yang terdiskriminasi terus digemakan. Dari konsistensi Wanggi ini, muncul kemudian wacana ‘pantomim adalah perlawanan’.
Setelah komunitas, Wanggi ingin menaiki tangga lagi. Pijakan yang dipilih adalah dengan mendirikan Pusat Studi Mime Wanggi Hoed. Melalui momen dan movement, Wanggi ingin mencoba membawa pantomim tidak hanya sebagai sebuah seni pertunjukkan, tetapi sebuah seni yang bisa dipandang lebih ilmiah.
Pusat Studi Mime Wanggi Hoed mulai aktif melakukan pendokumentasian arsip, kajian, dan kekaryaan seni pantomim. Pameran poster yang ditampilkan dalam perayaan Hari Pantomim Sedunia di Bandung pada tahun ini juga merupakan hasil dari kerja-kerja Pusat Studi Mime Wanggi Hoed.
“Karena pantomim itu pada akhirnya punya cara kemandirian tersendiri, garis nilainya tadi. Selain seni ini sunyi, tidak begitu populer seperti seni lainnya,” pungkas Wanggi.
Agenda Selanjutnya Hari Pantomim Sedunia 2023 di Bandung
Bertepatan dengan kumandang azan magrib, diskusi pun selesai. Riuh tepuk tangan penonton kembali hadir mengapresiasi gelaran bincang seni bersama tiga seniman pantomim hari ini. Pengunjung, penampil, dan pembicara kemudian buka puasa bersama dengan menyantap camilan yang telah disediakan. Namun kegiatan belum berakhir. Tidak lama berselang, Alfan Tomim, menyuguhkan penampilan penutup dalam acara perayaan Hari Pantomim Sedunia hari ini.
Ke depannya, rangkaian perayaan Hari Pantomim Sedunia 2023 di Bandung masih akan terus berlanjut. Pameran poster dan kegiatan-kegiatan lainnya akan dilaksanakan sampai dengan tanggal 20 April 2023.
Pada Rabu (29/03/2023) nanti, akan ada pemutaran film dan diskusi bersama Alya Nurshabrina, Miss Indonesia 2018, di Red Raws Centre, Pasar Antik Cikapundung, Lantai 3 Blok FC 1, Bandung.
Mime the Language of Peace. Mime the Language of All. Pantomim Dimana-mana.