Menengok Patahan Lembang melalui Hutan Bambu di Gunung Arcamanik
Patahan Lembang yang dimaksud adalah papan penanda sesar Lembang yang terletak di ketinggian 1.515 m dpl di Gunung Arcamanik. Ditempuh dengan melintasi hutan bambu.
Penulis Awla Rajul24 Maret 2023
BandungBergerak.id – Nyaris saja tertinggal rombongan Ngalalana Tatar Bandung Geowana Ecotourism karena tidak berhasil menemukan “warung” yang menjadi titik kumpul rombongan. Beruntung, saat berhenti di salah satu warung di Kampung Pondok Buahbatu ternyata malah berpapasan dengan rombongan tersebut.
Rombongan Geowana terlihat di ujung jalan. Belasan orang bergerombol. Mereka menggendong tas ransel, menggunakan topi rimba, serta sepatu gunung. Beberapa di antaranya membawa tracking pole. Rombongan tersebut akan berjalan menuju Patahan Lembang dengan melewati Hutan Bambu di Gunung Arcamanik.
Dari dalam rombongan tersebut, Gan Gan Jatnika memperkenalkan diri. Ia meminta Zikri, pemandu dari Kelompok Pencinta Gunung Bandung (KPGB) mengantar ke titik kumpul untuk memarkirkan kendaraan dan segera menyusul rombongan.
Patahan Lembang yang dimaksud adalah papan penanda sesar Lembang yang terletak di ketinggian 1.515 m dpl, di Gunung Arcamanik. Adapun Hutan Bambu yang dimaksud adalah hutan bambu seluas kurang lebih 18 hektar di Gunung Arcamanik, Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Hutan Bambu itu berada di dalam Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) pada ketinggian 1.600 m dpl.
Perjalanan bermula dengan melewati kawasan rumah penduduk. Setelah berjalan sekitar lima menit di jalanan yang menanjak, mulailah memasuki hutan pinus. Di dalam hutan tersebut di sela pohon pinus terlihat tanaman kopi jenis arabica yang tingginya ada yang mencapai dua meter. Buah kopi tersebut masih berwarna hijau, tanda belum matang.
Rombongan sempat foto bersama di hutan pinus tersebut. Peserta perjalanan sendiri ada 16 orang, paling banyak perempuan dengan rentang usia 35-50 tahunan. Ada juga seorang bapak, Milton, membawa serta anak lajangnya yang kira-kira berusia sekolah SMA.
Ada empat orang pemandu. Gan Gan dari Geowana, Zikri merupakan anggota KPGB. Agus dan Yadi adalah pemandu lokal. Agus merupakan pengelola Pusat Standarisasi Hutan (Pustarhut) Hutan Bambu Arcamanik. Sedangkan Yadi Supriadi adalah Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Mekarmanik, Kab. Bandung. Total rombongan itu sebanyak 20 orang.
Baca Juga: Nonton Film di Gang: Upaya Warga Braga Menghidupkan Gang Apandi
RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #1: Masih Berjualan Kaus Bandung, Masih di bawah Teras Cihampelas
Hari Pantomim Sedunia 2023 di Bandung: Perayaan Menembus Keheningan
Dampak Penggusuran Sawah dalam Pertunjukan Seni Ciganitri Kiwari
Hutan Bambu Arcamanik
Perjalanan berlanjut dengan suasana perkebunan kopi di kanan dan kiri. Sinar matahari masuk dari celah-celah “atap” pinus. Cuaca pagi itu cerah. Meski jalanan becek, sisa hujan semalaman. Rombongan Geowana berjalan mengular. Jalanan sedikit menanjak, tidak curam.
Setelah berjalan sekitar 20 menit sejak memasuki perkebunan kopi, tibalah di persimpangan. Rombongan lurus sedikit menanjak memasuki hutan bambu. Rombongan berhenti sejenak di sebuah saung, penanda sudah memasuki hutan bambu.
Sebenarnya, jika tidak memasuki hutan bambu, perjalanan bisa terus dilanjutkan dengan menyusuri jalanan perkebunan yang bisa dilalui dengan kendaraan trail. Namun, hutan bambu inilah yang jadi daya tarik pada perjalanan ini.
Gan Gan menyebutkan, untuk ada alternatif jalan lain menuju penanda Patahan Lembang, seperti melalui Puncak Bintang. Namun Hutan Bambu inilah yang menjadi daya tarik khusus. Dari Hutan Bambu bisa saja berjalan menuju Gunung Palasari, namun pemandangan puncak gunung tertutup pepohonan juga waktu tempuhnya jadi lebih lama.
“Kita goal-nya ke Patahan Lembang selain jaraknya yang lebih dekat, pemandangannya kan liat sendiri tadi. Selain itu juga juga sebagai tambahan untuk objek utamanya ini (Hutan Bambu),” ujar Gan Gan.
Agus menjelaskan bahwa kawasan seluas sekitar 18 hektar itu ditanami bambu sekitar tahun 1950-an. Dibantu oleh kelompok peneliti, kawasan tersebut diniatkan untuk konservasi serta sumber serapan air.
Ada beragam jenis bambu di sana, mulai jenis bambu lokal hingga jenis bambu dari mancanegara. Beberapa jenisnya seperti bambu sumpit, bambu bitung, bambu gombong, hingga jenis bambu Cina atau bambu Jepang.
Agus sempat bercerita ihwal nama-nama bambu tersebut. Bambu sumpit misalnya, disebutkan demikian karena sering digunakan menjadi bahan pembuat sumpit. Lalu bambu gombong karena ciri-cirinya yang besar, jumbo. Bambu gombong juga biasa digunakan untuk membuat gapura atau genteng. Ia juga menceritakan sejumlah hewan yang biasa ditemukan di hutan bambu, seperti ular dan monyet.
Di perjalanan saat menyusuri hutan bambu itu, Agus menemukan rebung. Rebung adalah tunas bambu yang bisa dimanfaatkan menjadi makanan. Ia menguliti kulit batang bambu yang menutupi rebung dengan pisau hingga bagian rebungnya saja yang tersisa. Ia membentuknya seperti corong es krim. Ia menjelaskan bahwa rebung jenis ini haruslah direndam dulu di dalam air selama sekitar 30 menit barulah bisa dimasak. Perendaman rebung dilakukan untuk menghilangkan rasa pahit atau jika ada jenis-jenis racun.
Bambu memiliki banyak jenis. Ada yang tumbuh berumpun (Sympodial), ada pula yang tumbuh sendiri-sendiri (Monopodial). Jenis-jenis bambu ditanami secara terpisah di bloknya masing-masing.
Jenis bambu monopodial, salah satunya adalah bambu Cina atau bambu Jepang. Bibit bambu jenis ini dulunya didatangkan langsung dari negara asalnya. Untuk sampai ke blok ini, peserta harus menanjak di hutan bambu dengan kemiringan sekitar 30-35 derajat.
Patahan Lembang dan Kebun Kopi
Perjalanan kemudian memasuki jalur perkebunan kopi. Rombongan menyusuri jalanan yang beberapa ruasnya becek, beberapa sangat becek. Ada bekas-bekas roda motor trail di jalan yang becek itu. Karena kondisi itu berjalan di sana mesti hati-hati. Sebab jika kehilangan keseimbangan, bisa-bisa terpleset.
Perjalanan di kebun kopi itu cukup landai. Beberapa kali harus jalan menanjak, namun tidak begitu curam. Pohon-pohon kopi selalu saja menjadi pemandangan. Namun di beberapa titik, di persimpangan bukit misalnya, pemandangan kota Bandung bisa dilihat jelas dari ketinggian.
Dari Hutan Bambu hingga sampai ke penanda Patahan Lembang ditempuh dengan jalan kaki sekitar satu setengah jam. Ritme perjalanan cukup santai. Saat kelelehan, beberapa kali peserta beristirahat sejenak, mengisi tenaga dengan minum dan memakan kudapan.
Lelah itu terbayarkan ketika sampai di warung Kang Pian. Jarak dari warung Kang Pian ke penanda Patahan Lembang tak jauh, jika berjalan paling menghabiskan waktu satu menit.
Di warung Kang Pian peserta berhenti sejenak. Warung ini menjual berbagai minuman, kopi saset, gorengan, serta mi instan. Selain warung, ada saung-saung yang biasa disinggahi oleh pejalan kaki maupun pemotor trail. Suasana warung dan saung itu rindang, diatapi pepohonan pinus.
Pemandangan di penanda Patahan Lembang melunasi lelah yang dirasakan. Dari ketinggian 1.515 m dpl itu, pemandangan Lembang serta cekungan Bandung dapat dinikmati. Gunung-gunung di Bandung Raya seperti Tangkubanparahu, Gunung Putri, Gunung Burangrang, dan gunung lainnya bisa dilihat jelas.
Di titik akhir ini, selain dinikmati dengan bersantai, Gan Gan dan Yadi membagikan informasi mengenai Patahan Lembang dan perkebunan kopi warga yang berada dalam wadah LMDH.
Gan Gan menyebutkan bahwa Sesar Lembang terbentang sepanjang 29 km dan terdiri dari dua bagian, yakni patahan segmen barat dan patahan segmen timur. Potensi bencana Sesar Lembang yang mengkhawatirkan adalah ketika seluruh segmen bergerak berbarengan hingga mengakibatkan gempa bumi dengan kekuatan mencapai tujuh magnitudo.
“Sampai sekarang kan ada gempa-gempa kecil, nah gempa-gempa kecil itu pelepasan energinya. Kalau sudah tidak ada gempa-gempa kecil harus khawatir, kok udah gak ada lagi gempa yang terukur,” jelas Gan Gan.
Selanjutnya, giliran Yadi memberikan penjelasan mengenai perkebunan kopi. Perkebunan kopi di daerah tersebut sudah dimulai sejak sekitar 1818 pada zaman penjajahan Belanda. Namun sekitar tahun 1926 daerah tersebut diganti menjadi pinus karena harga kopi yang anjlok pasca Flu Spanyol.
Salah satu produk kopi dari LMDH tersebut dinamai Rasagalor. Penamaan ini disebabkan, daerah desa Mekarmanik dan sekitarnya dulunya dinamai sebagai Blok Rasagalor pada zaman Belanda. Desa-desa sekitar juga dinamai berdasarkan fungsi daerah tersebut saat zaman Belanda.
Jenis kopi yang ditanami adalah jenis arabica karena ketinggian kebun di atas 1.000 m dpl. Yadi juga menyebutkan, hasil kopi dari perkebunan di atas 1.400 m dpl lebih bagus, karena hama kopi tidak dapat tumbuh pada ketinggian itu. Sedangkan bagi kebun di bawah 1.400 m dpl untuk menyamai kualitasnya harus dilakukan perawatan khusus untuk mencegah hama kopi.
Di bawah LMDH yang diketuai Yadi, terdapat 380 petani yang terbagi kepada delapan kelompok. Petani kopi kemudian mendirikan koperasi yang sekaligus menjadi salah satu upaya untuk menguatkan ikatan dan memberikan edukasi tentang budi daya kopi yang lebih baik.
Salah satu persoalan yang dihadapi petani kopi yakni pada pengolahan kopi. Beberapa petani masih melakukan pengolahan dengan cara tradisional. Sehingga kebanyakan petani menjual kopi dengan sistem yang belum diolah menjadi kopi siap konsumsi.
“Kendalanya sekarang itu belum sampai dipasarkan olahannya, hanya sampai cherry gelondongan aja. Sekarang tahap untuk belajar mengolah itu di koperasi,” ungkap Yadi.
Usai kedua penjelasan, peserta kemudian foto bersama di depan penanda Patahan Lembang. Tak lama berselang perjalanan pulang pun dimulai. Jalanan yang tadi becek makin bertambah becek sebab rombongan motor trail makin banyak yang melintas.
Alternatif Tempat Berlibur
Peserta Geowana kebanyakan adalah ibu-ibu dengan rentang usia 35-55 tahun. Perjalanan singkat ke gunung seperti ini adalah alternatif liburan. Selain perjalanannya yang relatif singkat dan tak harus menginap, olahraga dan mendapatkan edukasi adalah nilai tambah yang hendak didapatkan.
Yayuk, adalah salah satu peserta rombongan dari Cimahi. Ia dan rombongannya pergi dari Cimahi menuju titik kumpul dengan menyewa angkot. Ia mengaku perjalanan ke alam bebas seperti ini sering ia lakukan, minimal sekali dalam sebulan. Banyak manfaat yang didapatkan, selain biaya yang murah, olahraga adalah manfaat yang ia cari.
Ayu, salah satu peserta ikut menambahi bahwa perjalanan ke alam bebas sebenarnya sangat berat saat dijalani. Banyak tenaga yang harus dihabiskan di perjalanan. Namun, perjalanan ke alam bebas memiliki candu tersendiri. Salah satu keuntungan lainnya yang ia dapatkan dengan perjalanan bersama Geowana adalah edukasi. Seperti pada perjalanan kali ini mengenai seputar bambu, kopi dan Patahan Lembang.
“Kalau buat saya mah mau naik gunung atau turun gunung menyiksa. Tapi gunung itu candu jadi gak kapok. Nah enaknya gabung Geowana itu gak hanya sekedar trip, tapi ada pengetahuanya,” ungkap Ayu, atau yang kerap disapa Buyuy ini.
Perjalanan pulang ditempuh lebih cepat daripada perjalanan pergi. Hal itu disebabkan jalan pulang hanya menyusuri perkebunan kopi yang landai tanpa memutar ke hutan bambu. Meski jalanan semakin becek, bekas dilalui motor trail, peserta Geowana terus berjalan menyusuri dengan hati-hati.
Tak hanya perasaan bahagia saat mencapai titik akhir perjalanan, atau pemandangan kota Bandung yang memukau dari ketinggian. Setiap peserta Geowana masing-masing pulang membawa pengalaman dan pengetahuan.