• Cerita
  • Dampak Penggusuran Sawah dalam Pertunjukan Seni Ciganitri Kiwari

Dampak Penggusuran Sawah dalam Pertunjukan Seni Ciganitri Kiwari

Pertunjukan seni Ciganitri Kiwari mengajak anak-anak kampung berkreasi sambil memahami perubahan yang disebabkan penggusuran sawah di kampung halaman mereka.

Pemeran ibu-ibu Ciganitri tempo dulu yang membawa bakul nasi ke sawah, dalam pertunjukan seni Ciganitri Kiwari, Minggu (19/03/2023). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

Penulis Dini Putri20 Maret 2023


BandungBergerak.idKampung Ciganitri pernah memiliki sawah hijau sepanjang mata memandang. Anak-anak kampung biasa bermain di pematang. Namun itu dulu, kini bentang persawahan berganti menjadi petak-petak tembok dan perumahan. Alfiyanto, dosen Institute Seni dan Budaya (ISBI) Bandung mengangkat persoalan alih fungsi lahan di Kampung Ciganitri, Desa Lengkong, Kabupaten Bandung, itu melalui pertunjukan seni berjudul “Ciganitri Kiwari”.

Menurut Alfiyanto, perubahan di kampung rural ke urban Ciganitri tak lepas dari megakapitalis dan kolomerasi yang destruktif yang mengatasnamakan percepatan ekonomi. Perubahan ini memberikan dampak pergeseran pada nilai nosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Melalui karya seni “Ciganitri Kiwari”, ia berharap orang-orang teringatkan akan pentingnya kepedulian terhadap persoalan yang terjadi pada rakyat kecil dan lingkungan. Ingatan ini dinilai perlu dibangkitkan kembali.

“Itu kan mengangkat persoalan anak-anak Ciganitri yang tergusur dari tanahnya sendiri. Nah, terus dulu Ciganitri itu kan sebagai daerah persawahan atau daerah agraris, berarti masyarakatnya itu kerja sebagai petani kan dulu berarti. Semakin berkembangnya daerah tersebut sehingga sawah-sawah dan balong atau kolam ikan itu habis semua buat perumahan, ruko, dan bisnis lainnya. Nah, akhirnya orang asli situ terpinggirkan jadinya,” terang Alfiyanto kepada BandungBergerak.id, Minggu (19/03/2023).

Alih fungsi lahan yang melahirkan perubahan nilai di masyarakat sering kali dinormalisasi demi melanggengkan pembangunan yang bertameng perubahan zaman. Ini yang sering luput dan dianggap remeh.

“Jadi kalau sebagian orang itu hal yang biasa, kalau yang namanya perubahan itu, tapi kan kalau kita melihat kehidupan mereka itu sangat miris. Bagaimana kehidupannya, pendidikannya, kesehatannya, gizi anak-anaknya, sehingga muncul sebuah empati bagaimana untuk bisa mengangkat mereka-mereka itu,” ujar Alfiyanto.

Dalam prosesnya, pertunjukan seni “Ciganitri Kiwari” melibatkan anak-anak sebagai elemen utama. Bukan hanya menjadi wahana edukasi, proses kreatif ini juga dapat memintal solidaritas dalam menghidupkan ekosistem aktivitas dan kreativitas seni di Kampung Ciganitri.

Pemeran petani yang menari di atas balong yang mengibaratkan bekas garapan sawah, dalam pertunjukan seni Ciganitri Kiwari, Minggu (19/03/2023). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)
Pemeran petani yang menari di atas balong yang mengibaratkan bekas garapan sawah, dalam pertunjukan seni Ciganitri Kiwari, Minggu (19/03/2023). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Klab Zine Seasons 2 Episode 4: Urgensi Literasi dan Problematika Suporter Sepak Bola
SUARA PINGGIRAN: Mendengarkan Wanggi Hoed
Anak Muda Bukan sekadar Lumbung Suara

Literasi Tubuh dan Tari Kontemporer

Anak-anak Ciganitri yang berperan sebagai penari utama dalam pertunjukan “Ciganitri Kiwariini sebelumnya dilatih menggunakan metode literasi tubuh yang mengantar anak-anak masuk ke dalam proses kreatif tari kontemporer. Alfiyanto menjelaskan, metode literasi tubuh merupakan pelatihan dan media edukasi melalui pendekatan kreativitas seni untuk menggali kepekaan ataupun kecerdasan rasa, raga, pikir, dan imajinasi anak-anak.

Sedangkan proses kreatif kontemporer merupakan ruang bagi anak-anak untuk unjuk kreativitas, eksplorasi, dan improvisasi diri melalui stimulus yang diberikan agar proses belajar bisa terarah dengan baik. Alfiyanto juga menyoroti ketimpangan yang acap kali terjadi antara anak-anak kampung yang merupakan penduduk asli dengan pendatang yang mendiami komplek perumahan dalam berbagai aspek kehidupan.

“Nah, jadi target utama ya bagaimana anak-anak Ciganitri yang penduduk asli itu bisa seperti orang-orang pendatang yang ada di komplek perumahan. Kalau komplek perumahan cenderung pasti pendidikannya itu lebih baik dari orang penduduk kampung itu. Nah, dengan melalui literasi tubuh itulah menumbuhkan kepercayaan diri mereka, kemudian rasa empati mereka, meningkatkan daya pikir, terus kemudian meningkatkan daya imajinasi mereka,” kata Alfiyanto.

Pertunjukan seni ini juga menjadi wadah pemberdayaan masyarakat dengan proses kreatif tari kontemporer yang menggunakan pendekatan partisipatori dan melibatkan masyarakat, sehingga masyarakat turut berperan aktif di dalam prosesnya. Walau menghadapi beberapa tantangan seperti masyarakat yang masih awam dengan seni kontemporer, namun seiring berjalannya waktu dan pengefektifan metode literasi tubuh akhirnya dapat menggiring masyarakat menuju pemahaman dan pengimplementasian karya seni “Ciganitri Kiwari” ini.

Antari Dewi merupakan salah seorang yang berperan sebagai penari dalam pagelaran karya seni tersebut. Ia mengungkapkan kesannya selama mengikuti proses penciptaan karya seni Ciganitri Kiwari yang memotivasinya untuk bisa melestarikan kebudayaan khususnya mengenai seni tari.

Antari berharap karya seni yang dicetuskan oleh Alfiyanto bisa lebih dikenal masyarakat luas di luar Kampung Ciganitri. Dengan demikian, semakin banyak orang yang dapat menilik lebih jauh mengenai persoalan yang dihadapi. Selanjutnya, kepedulian bersama akan tumbuh.

“Semoga masyarakat yang lain pun selain di Ciganitri itu bisa tahu juga kondisi di Ciganitri itu kayak gimana dan semoga karya ini juga bisa ditampilkan di tempat lain, tentunya harapan saya juga sangat besar untuk Uda Yanto (Alfiyanto), Wajiwa, dan juga anak-anak Ciganitri,” kata Antari.

Harapan serupa disampaikan Alfiyanto. Menurutnya, manfaat metode literasi tubuh sudah terbukti dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari terutama oleh kalangan anak-anak.

“Target utamanya yaitu bagaimana literasi tubuh ini bisa berkembang sampai ke luar Ciganitri ini, dan mungkin juga bisa dikembangkan sampai ke tingkat nasional. Nah itu harapannya, karena setelah ada pembuktian terus sesudah ada eksperimen, dan hasilnya sudah ada ternyata benar-benar ampuh literasi tubuh ini dengan proses kreatif tari kontemporer itu sebagai media edukasi untuk anak-anak,” pungkas Alfiyanto.

Pagelaran karya seni “Ciganitri Kiwari” oleh Alfiyanto merupakan ujian terbuka promosi doktoral penciptaan seni pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta. Informasi mengenai kegiatan Rumah Kreatif Wajiwa, kelompok seni tempat Alfiyanto berkreasi, bisa diakses pada laman instagram @alfiyanto_wajiwa.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//