• Cerita
  • Klab Zine Seasons 2 Episode 4: Urgensi Literasi dan Problematika Suporter Sepak Bola

Klab Zine Seasons 2 Episode 4: Urgensi Literasi dan Problematika Suporter Sepak Bola

Bandung Zine Fest menggelar lapakan Klab Zine dengan menghadirkan Prung dan Bandung Supporter Alliance. Salah satu agenda Pra Event Festival Kampung Kota 3.

Bandung Zine Fest menggelar diskusi lapakan Klab Zine menghadirkan Prung dan Bandung Supporter Alliance di Dago Elos, Kota Bandung, Sabtu (18/03/2023). Rangkaian Pra Event Festival Kampung Kota 3. (Foto: Fryan Septiansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Fryan Septiansyah20 Maret 2023


BandungBergerak.id –  Lapakan Klab Zine yang digagas volunter Bandung Zine Fest digelar pada Sabtu (18/03/2023) di Dago Elos. Kali ini Bandung Zine Festival mengundang dan juga mengupas dua terbitan zine dari dua kolektif yang konsen dalam bidang sepak bola, yaitu Prung dan Bandung Supporter Alliance. Agenda yang berisikan talkshow ini sejatinya merupakan salah satu agenda Pra Event Festival Kampung Kota 3, setelah pra event sebelumnya menyelenggarakan konser musik hardcore punk satu minggu sebelumnya.

Acara dibuka oleh Deden sebagai perwakilan dari Bandung Zine Fest, yang juga bertindak sebagai moderator pada acara talkshow ini. Untuk narasumber dari Prung sendiri diwakili oleh Rifki yang merupakan content writer zine tersebut, sedangkan Bandung Supporter Alliance diwakilkan oleh Amed selaku anggota dari komunitas terkait.

Acara talkshow tersebut diselenggarakan di dalam ruangan, sedangkan di luar ruangan, para pengunjung bisa membaca zine yang disiapkan dari komunitas Prung, Bandung Supporter Alliance, serta komunitas Mata-Mata Zinearchive yang juga berkontribusi menyediakan lapakan arsip zine. Nampak banyak sekali para pemuda yang antusias mengantre untuk mengambil zine dan mulai membacanya di sembarang tempat.

Zine biasanya berkutat terhadap pembahasan musik dan terpusat hanya pada lingkar komunitas musik saja. Namun zine yang dapat dibaca pengunjung saat itu isinya beragam, merambah masuk ke dalam ruang lingkup komunitas atau kolektif di ranah olah raga. Prung dan Bandung Supporter Alliance memang dikenal sebagai komunitas atau kolektif yang berkutat pada ranah suporter bola.

Pada acara talkshow tersebut, Rifki dari Prung mendapat kesempatan pertama berbicara. Ia menjelaskan jikalau Prung yang awalnya konsen di bidang wear, sebelum akhirnya pada tahun 2021 melebarkan sayapnya dengan menerbitkan webzine. Di webzine tersebut, Prung menggarap beragam aspek budaya yang saling berikatan, seperti musik, fashion, serta sepa kbola.

Rifki juga berpendapat tentang sikap Prung menanggapi fanatisme suporter yang berlebihan pada tim sepak bola yang didukungnya. Menonton pertandingan sepak bola adalah hiburan, terlepas dari tim yang didukung itu meraih kemenangan ataupun kekalahan.

"Ironisnya, sepakbola sekarang amat dituhankan, dan fanatisme yang berlebih itu hanya akan terlihat konyol,” ujar Rifki.

Di kesempatan yang sana, Amed yang mewakili Bandung Supporter Alliance (BSA) berbicara mengenai bagaimana zine yang diterbitkan komunitasnya. Awal mula mereka bisa menerbitkan zine diawali oleh pikiran mereka yang berpendapat bahwa sepak bola di Bandung mengalami kejenuhan di segala aspek. Dari sana mereka mulai berdiskusi untuk merancang suatu gagasan.

"Kami lahir di daerah Tamansari yang kala itu tengah konflik perihal penggusuran, dan kami mulai berdiskusi perihal sepak bola khususnya di Bandung,” terang Amed.

Pada tahun 2018, terbitan zine pertama dari BSA lahir. Para anggota BSA kala itu menulis sebuah ulasan perihal rasisme yang kerap terjadi pada pertandingan sepak bola.

"Contohnya saat itu kita menonton pertandingan di Siliwangi, lalu ada pemain lawan yang merupakan orang Papua membawa bola, sontak para suporter mulai menyoraki pemain tersebut, ada juga yang meniru suara monyet. Kita sangat tidak ingin hal itu terjadi sebenarnya," ujar Amed.

Pada zine edisi berikutnya, BSA juga kerap meminta orang di luar dari komunitas untuk menulis di zine mereka. Lalu, artwork yang muncul pada zine BSA kebanyakan dibuat oleh orang-orang yang memang ahli membuat artwork semacamnya, yang biasa dijumpai di Tamansari.

Amed mengatakan bahwa zine yang diterbitkan BSA menjadi media yang dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan sekaligus media untuk terus berproses. "Yang pertama, untuk menyampaikan gagasan kita perihal ekosistem sepakbola sekarang begitu rusak. Lalu untuk proses belajar kita sendiri juga,” terangnya.

Koleksi zine terbitan Prung. (Foto: Fryan Septiansyah/BandungBergerak.id)
Koleksi zine terbitan Prung. (Foto: Fryan Septiansyah/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Gelombang Suara Distorsi Menjelang Festival Kampung Kota 3
Artvocation Fest 2023: Menanam Inklusivitas dengan Kolaborasi Lintas Seni
Mendekatkan Film dan Mengaktivasi Ruang Publik lewat Sinema Kuriling
Membakar Semangat Clara Zetkin di Bandung #2: Api Kartini Menyuarakan Perlawanan Perempuan

 

Literasi dan Permasalahan di Lingkup Suporter Sepak Bola

Literasi menjadi satu pembahasan penting pada talkshow Klab Zine malam itu. Salah satunya literasi di kalangan suporter sepak bola.

Amed berharap terbitnya zine BSA bisa sedikitnya berkontribusi pada literasi di lingkup suporter, meskipun di sisi lain ia sadar akan tantangannya. "Kita sadar literasi lewat zine kita tidak terlalu efektif, namun kita ingin perlihatkan bahwa kita punya sikap dan upaya untuk memperjuangkan literasi lewat zine kita,” ujarnya.

Sementara Rifki berpendapat bahwa masalah yang terjadi pada lingkup suporter bukan hanya perihal literasi saja, banyak aspek lainnya yang juga perlu dibenahi. "Urgensi suatu media dalam suporter hari ini sangat penting, karena masih banyak masalah yang harus dibenahi. Sangat amat jauh untuk mengubah keadaan sekarang,” ujarnya.

"Banyak yang ngomong ‘football for all’ tapi ‘all’-nya tuh dari mana? Buat siapa? Itulah keadaan suporter sekarang, tidak secara generalisir, tapi cuman buat kelompok atau circle nya saja,” tambah Rifki.

Lebih lanjut, keduanya ditanyai pendapatnya mengenai munculnya kultur rasisme dan konflik dalam sepak bola. Mengenai hal ini, Amed bercerita tentang isu kedaerahan di lingkup sepak bola Indonesia, hal ini memunculkan sisi positif dan negatifnya tersendiri.

"Karena kedaerahan di sepak bola Indonesia itu kental, beda sama Amerika yang kebanyakan suporter itu para pendatang, tribalismenya kurang kuat", ujar Amed.

Kedaerahan yang begitu kuat di sepak bola Indonesia, membuat suporter begitu superior terhadap tim daerahnya masing-masing sehingga tidak ada keterbukaan terhadap suporter satu sama lainnya.

"Kami melihat tribalisme yang kental di Indonesia ini salah jalan, harusnya kedaerahan yang kuat ini bisa dijadikan sebuah ikatan baru dan berjejaring dalam hal sosial. Contohnya isu penggusuran Tamansari di Bandung bisa kita organisir dengan kelompok di daerah lain untuk didiskusikan lalu dibantu,”  ujar Amed.

Di lain pihak, Rifki juga setuju dengan yang dikatakan oleh Amed. Ia beranggapan bahwa suporter harus bisa berjejaring satu sama lain dan melakukan hal-hal yang positif.

"Pengorganisasian suporter dewasa sekarang sangat penting, apa yang mereka lakukan dalam ranah sepak bola tentunya harus memiliki nilai yang baik. Contohnya stadion harus jadi media untuk menyampaikan pesan seperti isu sosial di daerah masing-masing,” ujar Rifki.

"Dalam pelaksanaannya, suporterlah yang harus memiliki kesadaran untuk melakukannya, mereka juga harus bisa peduli dengan adanya kehadiran perempuan dan anak-anak di stadion,” tambah Rifki.

Koleksi zine terbitan Bandung Supporter Alliance. (Foto: Fryan Septiansyah/BandungBergerak.id)
Koleksi zine terbitan Bandung Supporter Alliance. (Foto: Fryan Septiansyah/BandungBergerak.id)

Menghidupi Kolektifnya lewat Zine

Di penghujung acara, keduanya ditanyai mengenai cara menghidupi kolektifnya masing-masing. Amed bercerita, rata-rata anggota BSA memiliki pekerjaan masing-masing. Pendapatan yang diperoleh dari penjualan zine mereka donasikan.

"Biasanya (produksi zine) pre-order sistemnya, biasanya hasil dari bikin zine 70% kita donasikan untuk kantong-kantong warga maupun pasar gratis yang ada. sisanya kita pergunakan untuk keperluan agenda kita,” ujar Amed.

Berbeda dengan BSA, Rifki mengatakan jika Prung memang berniat menjadikan zine sebagai media untuk menghidupi kelompoknya. "Dari kita sih sejujurnya untuk selling, karena awalnya memang kita ini jualan niatnya,” ujarnya.

"Prung sendiri kerap menyikapi hal minus dalam masalah hasil finansial yaa kita ikhlaskan, hitung-hitung sebagai tindakan peduli kepada suporter,” tambah Rifki.

Perihal dampak dari perilisan zine sendiri, BSA memiliki cerita tersendiri. Lewat Zine, BSA bisa mendapatkan jaringan baru dengan kelompok suporter di daerah lain yang tentu saja memiliki gagasan serta visi misi yang sama untuk berbagi ide, bertukar cerita, serta berdiskusi perihal isu sosial di daerahnya masing-masing.

"Kita cukup senang lihat respons dari teman-teman kita dari luar kota maupun dari Bandung. Salah satu contoh impact yang cukup besar kita rasakan yaitu saat zine sebelumnya muncul lalu kita berjejaring dengan suporter Jakarta dan bercerita soal pergusuran Tamansari. Isu Tamansari ini dibawakan dan dibentangkan lewat spanduk di tribun Jakarta,” ujar Amed.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//