• Cerita
  • Artvocation Fest 2023: Menanam Inklusivitas dengan Kolaborasi Lintas Seni

Artvocation Fest 2023: Menanam Inklusivitas dengan Kolaborasi Lintas Seni

Komuji Indonesia mencoba memfasilitasi kebutuhan ruang pertemuan dan kolaborasi antar komunitas. Juga mencoba menanamkan pola pikir inklusif pada industri kreatif.

Suasana di Music Collaboration Zone dalam kegiatan Artvocation Fest 2023 yang diselenggarakan oleh Komuji Indonesia pada Minggu (13/3/2023) di ijo sociopetal space. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya17 Maret 2023


BandungBergerak.id – Menjelang pukul 15.30 WIB, teriakan Zulfa Nasrulloh memecah perhatian semua orang yang ada di iji sociopetal space. Sontak, orang-orang segera berkerumun ke Music Collaboration Zone yang ada di utara lokasi kegiatan. Di atas panggung, bersama Zulfa, telah berdiri Syarif Maulana dan Willy Fahmi Agiska.

Kembali setelah tiga tahun vakum, Hampir Sastra Indonesia kembali menyapa pendengar yang hadir dalam Artvocation Fest 2023 pada Minggu (12/3/2023). Hampir Sastra Indonesia merupakan trio yang mencoba memadu padankan sastra, bunyi, dan tragikomedi dalam jalinan hampir estetis dan hampir fantastis.

"Dunia musik kan dunia menyenangkan. Bahkan kan musik bisa membuat orang lupa bahwa kehidupan itu tidak menyenangkan. Nah, kalau kita kebalikannya. Kita ingin mendekatkan orang yang tadinya mau melarikan diri dari masalah, justru kita kasih masalah," terang Zulfa ketika mendeskripsikan Hampir Sastra Indonesia kepada BandungBergerak.id.

Dari atas panggung, dengan lirik spontan, Zulfa, Willy, dan Syarif mengemas isu yang sedang hangat akhir-akhir ini ke dalam sajian musik yang ekspresif, mulai dari bahaya pinjol (pinjaman online), seruan jangan bayar pajak, hingga kinerja kepolisian.

Naha nu bangor loba polisi, naha polisi loba kunaon,” penggalan lirik yang dinyanyikan trio Hampir Sastra Indonesia dengan nada Runtah-nya Doel Sumbang.

Hampir Sastra Indonesia tidak ingin menyuarakan masalah ini sendiri. Berulang kali, trio ini mengajak penonton untuk ikut bersuara terkait masalah-masalah yang dibahas. Selama satu setengah jam, Hampir Sastra Indonesia membuat pengunjung terhibur, sesekali juga tertawa dan berpikir.

“Minimal banget, musik yang kita tampilkan membuat mereka tidak nyaman, atau resah,” ucap Zulfa.

Hampir Sastra Indonesia adalah satu dari sekian banyak kelompok seni dan komunitas yang hadir memeriahkan kegiatan yang digagas oleh Komuji (Komunitas Musisi Mengaji) Indonesia ini. Selain Hampir Sastra Indonesia, hadir pula kelompok seni dan komunitas lain dari berbagai bidang, seperti Karasa.bdg, Mural.bdg, Satu Layar, Ruang Film Bandung, Gelanggang Olah Rasa, Ayaklab, Rumah Belajar Ummasa, dan banyak lainnya.

Selain petunjukan musik, kegiatan Artvocation Fest 2023 diisi juga oleh pemutaran dan diskusi film, bedah buku dan diskusi sastra, pameran karya komunitas, gathering komunitas, workshop kreatif, serta creative market day.

Artvocation Fest: Poster Artvocation Fest 2023 yang diselenggarakan oleh Komuji Indonesia pada Minggu (12/3/2023) di iji sociopetal space. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Artvocation Fest: Poster Artvocation Fest 2023 yang diselenggarakan oleh Komuji Indonesia pada Minggu (12/3/2023) di iji sociopetal space. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Mendekatkan Film dan Mengaktivasi Ruang Publik lewat Sinema Kuriling
Membakar Semangat Clara Zetkin di Bandung #2: Api Kartini Menyuarakan Perlawanan Perempuan
Ngadu Buku Bandung, Ruang Temu Pegiat Literasi di Bandung
Menggugat Ruang Ramah Disabilitas di Kota Bandung

Pengalaman Anggota Komunitas

Sejak pukul 10.00 WIB, Karasa.bdg bersama Mural.bdg melakukan live mural activity di Live Painting Zone, tepat di tengah lokasi kegiatan. Terik matahari tidak menghalangi anak-anak muda ini untuk menggoreskan kuas catnya di atas sebuah papan triplek. Gelak tawa sesekali muncul ketika mereka saling bercanda satu sama lain.

“Beda itu Nada” adalah tagline yang coba disampaikan dalam live mural activity ini. Melalui kalimat tersebut, terselip harapan agar setiap orang menyadari perbedaan sebagai sebuah hal yang biasa. Justru, melalui perbedaan-perbedaan tersebut, setiap orang dapat mengeksplorasi dan membuat sebuah karya yang luar biasa.

“Banyak orang, tempat terbuka gitu. Dan itu juga kolaborasi bareng komunitas baru juga kan,” ucap Erina Suryani, anggota Karasa.bdg, ketika menceritakan pengalamannya di Artvocation Fest kali ini.

Sebagai salah seorang anggota komunitas yang terlibat, mahasiswa semester 6 Ilmu Administrasi Bisnis Universitas Pasundan ini mengaku mendapat banyak pengalaman dan keseruan ketika bertemu dengan komunitas-komunitas lain.

“Kalau kita kan rupa ya, jadi ketemunya tuh dengan mural lagi. Kalau di sini kan bisa ketemu dari musik, sastra, sama film,” terang Erina.

Kegiatan dari Karasa.bdg dan Mural.bdg baru selesai pukul 17.00 WIB. Meski lelah, raut wajah anak-anak muda ini menunjukkan ekspresi puas. Bukan hanya karena karyannya telah selesai, lebih dari itu, anak-anak muda ini senang ketika bisa bertemu dan berkolaborasi dengan komunitas-komunitas hebat lainnya.

Penampilan Hampir Sastra Indonesia di Artvocation Fest 2023 pada Minggu (12/3/2023). (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Penampilan Hampir Sastra Indonesia di Artvocation Fest 2023 pada Minggu (12/3/2023). (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Pengembangan Industri Kreatif yang Lebih Inklusif

Kota Bandung merupakan salah satu kota besar yang menjadi barometer pergerakan industri kreatif. Seperti halnya kota lain, Bandung menghadapi beberapa tantangan dalam pengembangan industri kreatif. Masalah-masalah tersebut antara lain fragmentasi dan eksklusivisme antar kelompok lokal dan stakeholder.

Eggie Fauzy, selaku penggagas Komuji Indonesia, mengatakan bahwa kelompok-kelompok komunitas kreatif di Bandung cenderung bekerja sendiri-sendiri, berkarya tanpa berinteraksi dan berkolaborasi dengan kelompok lain. Dampak dari fragmentasi seperti demikian adalah ekslusivisme, yaitu sikap mengecualikan atau menolak kelompok lain yang berbeda.

“Jadi sebenernya value yang ditawarkan Komuji itu adalah bagaimana kita bisa berpikir secara terbuka, inklusif,“ ucap Eggie ketika ditemui selepas Artvocation Fest 2023.

Komuji Indonesia, yang sejak awal memang fokus dalam isu keberagaman, mencoba memfasilitasi kebutuhan dari komunitas-komunitas, khususnya dalam penciptaan ruang pertemuan dan kolaborasi antar komunitas, selama sembilan bulan lamanya. Tak hanya memfasilitasi, Eggie beserta kawan-kawan juga mencoba untuk menanamkan pola pikir inklusif agar nantinya komunitas yang terlibat dapat menularkan kepada komunitas lain. Sebab, tanpa pola pikir inklusif, bagi Eggie, industri kreatif akan “kurang gizi”.

“Yang saya harapkan adalah cara pandang kita sudah berubah, juga kemudian opportunity kita akan diubah, sehingga kemudian ekosistem (industri kreatif) di Kota Bandung ini akan berjalan kembali,” tutur Eggie yang sempat bekerja sebagai manager band, stage manager, show manager, dan event coordinator.

Tak hanya komunitas, Komuji Indonesia, yang lahir pada tahun 2010, juga mendorong stakeholder lain, seperti akademisi, pemerintah, dunia usaha, dan media, untuk terlibat dalam mewujudkan Bandung sebagai kota kreatif yang bermartabat, adil, saling menghormati, dan menghargai perbedaan.

Akademisi terlibat dalam penyusunan, penyempurnaan, dan pengembangan modul ajar lokakarya. Pemerintah membantu mewujudkan sosialisasi nilai inklusif kepada generasi muda di Kota Bandung. Dunia usaha memberikan dukungan dalam mendorong ekonomi kreatif melalui penyaluran pemasaran karya. Media sebagai expender dalam menyampaikan pesan ke berbagai lapisan masyarakat.

“Intinya, gak mungkin hari ini kita bisa berjalan sendiri-sendiri kalau kita punya mimpi yang besar, kalau kita pengen punya lompatan cepat, kolaborasilah,” pesan Eggie.

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//