• Berita
  • Nasib Petani dan Sawah yang Tersisa di Bandung Timur

Nasib Petani dan Sawah yang Tersisa di Bandung Timur

Bandung sebagai pusat kota di Jawa Barat, masih memiliki lahan sawah yang jumlahnya menyusut signifikan setiap tahunnya karena derasnya pembangunan.

Petani mulai membajak sawah dan menanam padi di area persawahan Gedebage, Bandung, Rabu (15/12/2021). Pemerintah memasang target produksi padi sebesar 55,20 juta ton di tahun 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki23 Desember 2021


BandungBergerak.idPesatnya pembangunan telah banyak melibas lahan-lahan persawahan atau ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Bandung. Sawah yang tersisa produktivitasnya sangat menurun, sama mirisnya dengan nasib petani yang pendapatannya terus menurun.

Kondisi itu dapat dijumpai di sejumlah daerah di Kota Bandung yang masih memiliki lahan persawahan, antara lain di Kecamatan Ujung Berung. Satu-satunya lahan persawahan yang tersisa di kecamatan ini terletak di Kelurahan Pasanggrahan. Dari total luas kelurahan sebesar 222,5 hektar persegi, kini hanya tersisa sekitar 7 hektar sawah saja yang tersebar di tiga RW.

Faridh (27), seorang petani muda di lokasi tersebut menuturkan, sempitnya lahan persawahan di tempat garapannya tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah. Selama ini, sawah di Pasanggrahan digarap secara mandiri sesuai musyawarah forum antarwarga melalui perwakilan RW. Forum inilah yang melakukan pemeliharaan dan pendistribusian.

“Dari saya kecil sawah ini sudah ada, tahun 2000-an awal kayaknya. Malah waktu itu, lebih luas soalnya kalau ini mah sisa bekas dulu pernah dibangun tapi gak tahu gimana lagi sekarang,” ujarnya, saat disambangi di lokasi persawahan, Rabu (22/12/2021).

Pembangunan yang dimaksud yaitu sebuah wacana pendirian agrowisata yang pernah menjadi salah satu proyek dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Bandung pada 2015 lalu. Namun, pembangunannya justru terbengkalai pada tahun yang sama dan tidak ada kejelasan hingga saat ini.

Menyadari kondisi tersebut, warga Pasanggrahan kembali menggarap lahan terbengkalai tersebut secara inisiatif sejak medio 2016. Rata-rata setiap 1 hektar ladang dapat menghasilkan panen sebanyak 3-4 ton saja. Beras tersebut dijual kembali kepada warga yang berdomisili di tiga RW yang terdaftar dalam forum penggarap sawah.

Menurut Ketua RW 08 Kelurahan Pasanggrahan, Lilis Wiherti, hasil tersebut menurun drastis hingga 3-4 kali lipat dari hasil panen sebelum adanya pembangunan agrowisata. Selain karena sempitnya lahan, penurunan produksi ini terjadi karena ladang yang dipaksakan untuk panen sekitar lebih dari dua kali dalam setahun demi mencukupi kebutuhan warga.

“Karena dipaksain ngejar panen gede, modalnya sama besar karena butuh tambahan perawatan lahan lebih intense tapi hasilnya gak sebanding. Kalau dibilang rugi enggak cuma sekarang harga jualnya juga turun,” ungkapnya saat dihubungi, Rabu (22/12/2021).

Menanggapi keadaan itu, Lilis berpendapat bahwa prioritas pembangunan Pemkot Bandung tidak sejalan dengan kebutuhan warga yang bersifat menunjang laju perekonomian. Selain itu, kebijakan pembangunan pariwisata Pasanggrahan dianggap tidak berpihak pada kesejahteraan petani dan potensi warga lokal lainnya.

Invetasi Perumahan Mengikis Persawahan

Bandung Timur diketahui merupakan satu-satunya sentral sawah yang dimiliki Kota Bandung. Di Kecamatan Panyileukan, banyak lahan persawahan yang kini terdesak pembangunan kompleks permukiman.

Besarnya jumlah perkembangan permukiman ini disinyalir karena sederet rencana pembangunan lokasi pariwisata di Bandung Timur sejak 2016 lalu. Hal ini sebanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus bertambah setidaknya selama lima tahun terakhir. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung dan penuturan pihak kecamatan, jumlah penduduk di Panyileukan mencapai 37.733 pada 2016 dan kini telah menyentuh lebih dari 41 ribu pada semester kedua tahun 2021.

Kepala Seksi Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan Panyileukan, Ayi Rahmat mengatakan, pihaknya masih terus mempertahan sisa lahan sawah yang ada. Meskipun demikian, masih banyak pertimbangan yang mungkin terjadi jika sewaktu-waktu lahan tersebut dibutuhkan juga untuk menunjang pembangunan pariwisata atau permukiman warga.

“Yang ada sekarang ya sebisa mungkin dipertahankan tergantung kebutuhan warga juga. Tapi, kebanyakan petaninya bukan dari sini,” tuturnya melalui pesan singkat, Rabu (22/12/2021).

Diketahui, Kecamatan Panyileukan memiliki luas 552 hektar persegi dengan jumlah luas persawahan diperkirakan sekitar 20 hektar. Namun, banyak petani sekitar mengeluhkan permasalahan yang serupa dengan para petani di Pasanggrahan.

Walaupun luas lahan persawahan di Panyileukan cenderung lebih besar, tapi para petani mengaku hanya dapat menghasilkan panen yang tidak jauh berbeda. Hal tersebut diakibat jalur perairan yang tidak lancar akibat banyaknya pembangunan kompleks megah di sekitarnya. Alhasil, mereka seringkali mengalami gagal panen dan mendapatkan beras yang berkualitas rendah.

“Air yang bekas-bekas pembangunan teh sering ngalir ke sini, banyak semen-semen yang suka kebawa jadi kerak di tanah (persawahan). Kalau udah gini emang susah mau ngehasilin beras yang bagus juga, kalau gagal panen bisa sampai setengahnya lebih,” kata seorang petani, Iwang di sela pemeliharaan ladang, Selasa (21/12/2021).

Mayoritas lahan persawahan di Panyileukan merupakan milik pribadi, baik dari warga sekitar maupun pemilik lahan perorangan dari luar lokasi. Sebagian petani harus menyewa lahan sekitar 2 juta rupiah per tumbak atau setara 14 meter persegi setiap bulannya. Masing-masing tumbak biasanya digarap oleh 4-5 petani.

Baca Juga: Data Luas Lahan Sawah di Kota Bandung 2003-2017, Setiap Tahun Rata-rata 98,5 Hektare Sawah Hilang
Kebijakan Impor Beras Tak Berpihak kepada Petani
Mengingat Mang Oded dari Dekat

Sepetak Sawah di Antara Pabrik

Penyempitan area persawahan juga terjadi di sekitar Kecamatan Cinambo hingga Kecamatan Arcamanik. Tantangan yang dihadapi para petani di wilayah tersebut yaitu maraknya pembangunan pabrik sejak awal tahun 2000-an.

Kebanyakan ladang sawah terletak di antara permukiman warga yang padat dan sisa lahan pabrik. Satu-satunya ladang persawahan terbesar di Cinambo berlokasi tepat di Jalan Cinambo dengan luas sebesar 2 hektar persegi. Jumlah ini bahkan tidak menyentuh yang mencapai satu persen dari total luas kecamatan yang mencapai 419 hektar persegi.

Seorang petani di Cinambo, Dadan Soleh memaparkan, hasil panen di lokasi tersebut tak pernah mencapai jumlah maksimal sejak 10 tahun terakhir. Sekali panen, beras yang dihasilkan hanya sekitar 0,25 ton.

“Kalau ini mah panen alhamdulillah, gak panen juga ya sudah. Kita masih garap juga (karena) sayang aja, lumayan hasilnya buat makan per bulan,” paparnya, kepada Bandungbergerak.id, Selasa (21/12/2021).

Di samping itu, masih banyak ladang sawah lainnya di wilayah Kecamatan Arcamanik dengan status kepemilikan pribadi warga. Namun, sedikit di antaranya yang berukuran lebih dari satu tumbak.

Beban Berat Menunaikan Janji Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan Kota Bandung merupakan salah satu janji politik almarhum Oden M. Danial, Wali Kota Bandung yang wafat 10 Desember lalu. Kini jabatan Wali Kota Bandung diemban Yana Muliana yang sebelumnya menjabat Wakil Wali Kota. Yana berjanji akan melanjutkan dan membereskan janji kampanyenya, termasuk di bidang ketahanan pangan.

"Masih ada beberapa janji politik kami berdua yang belum selesai. Tentunya jadi kewajiban kita menyelesaikan sehingga menjadi legacy yang baik buat almarhum. Kita butuh dukungan dari DPRD Kota Bandung," jelas Yana, dalam siaran pers setelah mengikuti Rapat Paripurna Pengumuman Pemberhentian Wali Kota Bandung Karena Meninggal di Gedung DPRD Kota Bandung, Kamis (16/12/2021) lalu. 

Sedikit mengulas sejumlah program strategis yang diusung oleh almarhum Oded semasa masih hidup, Yana mengungkapkan, masalah penuntasan program ketahanan pangan dan persoalan sampah mendapat perhatian khusus.

"Kita tahu ketahanan pangan itu karena Kota Bandung sangat bergantung 95 persen dari luar kota. Almarhum sudah membuat program Buruan Sae. Untuk program penanganan masalah sampah, almarhum sangat ingin menyelesaikannya di tempat (dari sumbernya)," ujarnya.

Tentutnya tidak mudah menunaikan program ketahanan pangan bagi Kota Bandung yang bergantung pada pasokan pangan dari luar Bandung. Diperlukan komitmen kuat untuk mewujudkannya. Apalagi saat ini pembangunan Kota Bandung lebih masif di bidang infrastruktur yang banyak menimbulkan alih fungsi lahan dan menyusutnya persawahan yang juga berfungsi sebagai RTH. Fenomena ini terjadi secara menyeluruh di Kota Bandung.

Merujuk data BPS Kota Bandung antara 2003-2018, penyusutan luas lahan sawah berlangsung secara signfiikan. Pada tahun 2003, Kota Bandung masih memiliki 2.104 hektare lahan sawah. Pada tahun 2017, luasnya tersisa 725 hektare. Artinya, dalam kurun 14 tahun terjadi pengurangan luas lahan sawah sebanyak 1.379 hektar. Atau, 98,5 hektare setiap tahunnya.

Pemerintah Kota Bandung tercatat memiliki lahan sawah abadi di kawasan timur seluas 32,4 hektar. Hasil panen dari sawah abadi itu hanya sanggup mencukupi 5 persen dari total kebutuhan warga Kota Bandung sebanyak 600 ton beras per hari. Sehingga 95 persen kebutuhan pangan warga Kota Bandung merupakan hasil “impor” dari daerah luar Bandung. Dengan kondisi demikian, tak heran kalau Bandung akan selalu ikut tergoncang jika terjadi gejolak pada harga beras nasional.    

Editor: Redaksi

COMMENTS

//