• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Diskriminasi pada Remaja Perempuan dan Tabunya Edukasi Seksual di Dunia Pendidikan

MAHASISWA BERSUARA: Diskriminasi pada Remaja Perempuan dan Tabunya Edukasi Seksual di Dunia Pendidikan

Remaja perempuan sering kali mendapatkan diskriminasi soal tubuh mereka dengan stereotip budaya mengenai bentuk tubuh. Perlu edukasi seksual sejak dini.

Nur Mutia Syahputri

Mahasiswa Ilmu Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB)

Ilustrasi. Sekolah memegang peranan penting dalam melakukan pendidikan seksual dan keragaman gender. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

20 April 2024


BandungBergerak.id – Kekerasan sangat dekat dengan kita. Sejak kecil kita sering mendapatkan kekerasan-kekerasan verbal yang tak jarang kita dapati dari lingkup terkecil yaitu keluarga. Peran keluarga sangat penting dalam tumbuh kembang anak, lontaran-lontaran perkataan yang diajarkan orang tua akan melekat di dalam pola pikir anak. Anak dapat merekam memori pengetahuan yang diberikan orang tuanya karena menganggap setiap perkataannya benar.

Pada tumbuh kembang anak, selain pendidikan pada umumnya yang diajarkan seperti berhitung dan membaca; haruslah diselipkan pendidikan edukasi seksual terhadap anak. Agar kelak nanti anak tersebut dapat mengetahui batasan-batasan apa saja yang harus Ia hindari agar dirinya tidak mengalami segala bentuk kekerasan-kekerasan yang ada.

Memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) remaja perempuan sering kali mendapatkan diskriminasi soal tubuh mereka dengan stereotip budaya mengenai bentuk tubuh.  Tak jarang, banyak dari mereka yang menyesali tubuh mereka sendiri.

Baca Juga: Pentingnya Membela Perempuan dengan Perspektif Perempuan
Mengenal Penyebab Diskriminasi Gender di Dunia Pendidikan
Hari Perempuan Internasional di Bandung, Stop Kekerasan Terhadap Wanoja

Mengapa Bisa Terjadi?

Pada masa peralihan anak ke remaja, remaja memiliki perubahan baik fisik maupun biologisnya. Di dalam perubahan fisik pada remaja perempuan berbeda-beda dilihat dari perubahan fisik internal maupun perubahan fisik eksternalnya.

Remaja sangat  menyukai validasi yang diberikan oleh kerabat terdekatnya. Namun, seiring dengan perkembangan budaya dan teknologi, banyak sekali standar “tubuh ideal” untuk memberikan stereotip bahwa perempuan dapat dikatakan “cantik” ketika mereka memiliki postur tubuh yang ideal tersebut. Selepas dari itu, remaja perempuan yang memiliki postur tubuh “ideal” justru menjadi salah satu korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang yang ia kenal.

Kenapa Aku Jadi Korban?

Dari sinilah muncul banyak pertanyaan? Perempuan seakan-akan dibuat kebingungan dengan tubuhnya sendiri, banyak yang mengatakan “coba naikin deh berat badannya, kamu terlalu kurus”, atau “coba deh kurusin badannya, kamu gendut banget semua pakaian jadi gak cocok sama kamu”. Menyedihkan, perempuan dituntut untuk memiliki postur tubuh sesuai dengan standar ideal pada umumnya.

Banyak perempuan yang merasakan kesedihan berlebih ketika mereka tidak bisa memenuhi tuntutan standar ideal tersebut karena mereka tahu mereka akan semakin dikucilkan. Tubuh ideal pun tidak menjamin pelaku tidak melakukan pelecehan seksual, pelaku melontarkan kekerasan non-fisik maupun fisik terhadap perempuan yang menurutnya memiliki daya tarik seksual.

Edukasi Seksual Penting di Dunia Pendidikan

Selama saya mengenyam pendidikan di Indonesia, saya tidak pernah sama sekali mendapati pengenalan tentang edukasi seksual yang diberikan sekolah atau guru saya. Hal tersebut sangat tabu, tenaga pengajar masih mengira bahwasanya berbicara tentang seks pada remaja merupakan dosa yang sangat besar.

Ketika saya beranjak dewasa, saya mulai mengerti mengapa banyak sekali kasus kekerasan seksual terhadap remaja yang terjadi di Indonesia. Salah satunya yaitu tidak diperkenalkannya edukasi seksual di dalam kurikulum Pendidikan. Di dalam tahapan pembelajaran remaja pada saat ini, mereka perlu memahami batasan dan istilah “consent” untuk melindungi diri mereka.

Remaja memerlukan bimbingan terhadap apa yang benar dan tidak benar dalam melakukan sesuatu, ketika mereka sudah ditahap mengerti mengenai edukasi seksual di situlah mereka bisa mencegah diri dan memahami tindakan kekerasan seksual tersebut. Peran pendidikan dalam hal ini merupakan salah satu jalur yang paling tepat agar remaja dapat mengenal bentuk-bentuk dari kekerasan seksual.

Apa Saja yang Perlu Dipahami ?

1. Pengenalan mengenai anatomi dan fisiologi tubuh tentang organ reproduksi dan perubahan fisik ketika masa pubertas

Di dalam konteks ini, pengenalan tubuh khususnya organ reproduksi diperlukan. Disini tenaga pengajar dapat memberitahukan kepada murid-muridnya secara jelas tanpa merendahkan harkat dan martabat mengenai bagian apa saja yang merupakan organ reproduksi dan bagaimanakah fungsi dan cara kerja nya. Untuk murid perempuan, perlu diajarkan mengenai menstruasi tentang bagaimana siklus menstruasi dapat terjadi dan cara menjaga kesehatan alat kelamin serta penghitungan tanggal menstruasi normal dan/atau tidak teratur, misalnya dengan mengenalkan aplikasi pelacak siklus menstruasi yang dapat diunduh di gawai. Hal ini dapat memberikan pemahaman kepada remaja bahwa dirinya dan organ reproduksi nya merupakan satu kesatuan yang berharga dan perlu dijaga.

2. Perubahan Fisik pada remaja perempuan memasuki pubertas

Perubahan fisik ini dapat dilihat ketika remaja menginjak usia 12 tahun timbul berbagai macam perubahan salah satunya yaitu meningkatnya hormon estrogen. Hormon estrogen merupakan hormon yang berperan penting dalam mengatur siklus menstruasi hingga seks yang diproduksi sendiri oleh ovarium. Ketika remaja perempuan memasuki tahapan ini, akan muncul beberapa perubahan fisik yang terjadi. Misalnya, pertumbuhan payudara, pertumbuhan bulu ketiak, bulu kemaluan, menstruasi pertama, bahkan meningkatnya gairah seksual.

3. Pencegahan-pencegahan mengenai perlindungan seksual

Pada tahapan ini, sebeum tenaga pengajar mengajarkan kepada murid-muridnya, mereka harus memberikan ruang aman bagi remaja perempuan untuk menghindari ketidaknyamanan. Pembelajaran awal dapat dilakukan mengenai consent, consent atau persetujuan merupakan salah satu hal utama yang paling penting, karena mereka hanya dapat memberikan izin secara sadar dan paham khususnya di dalam konteks hubungan seksual dan untuk tubuh mereka. Tenaga pengajar pun perlu memberikan informasi bagian dari tubuh mana yang perlu dihindari untuk disentuh orang lain. Disamping itu, penjelasan mengenai paksaan, ancaman, rasionalisasi terhadap bentuk-bentuk kekerasan harus dijelaskan dengan detail dan lugas. Hal ini berkaitan dengan tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi di lingkup sekolah disebabkan oleh remaja perempuan yang belum mengetahui bentuk dari kekerasan seksual.

4. Pihak yang membantu korban ketika mengalami pelecehan seksual

Ketika korban mengalami tindakan kekerasan seksual dan merasa kebingungan apa yang telah  terjadi dan tindakan apa yang dilakukan pelaku, pertama-tama lingkungan korban harus menyadari jika ada sesuatu yang menjanggal ditandai dengan perubahan sikap korban di dalam lingkup sosialnya. Namun, terutama dan paling utama pendamping korban diperlukan disini. Hendaklah pendamping korban mendengarkan dan memahami kekhawatiran dari korban sehingga korban dapat terbuka dan pendamping korban bisa mengambil sikap. Dapat dilihat dalam Pasal 7 Ayat (1) dan (2) Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022: (1) Pelecehan seksual nonfisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan pelecehan seksual fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan delik aduan; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Korban Penyandang Disabilitas atau Anak; (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Korban Penyandang Disabilitas atau Anak. Maksud daripada pasal tersebut adalah delik aduan tidak berlaku bagi anak di bawah 18 tahun dan penyandang disabilitas, oleh karena itu pendamping korban dapat mendampingi korban dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwenang. Pendamping korban dapat melaporkan nya kepada bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di daerah setempat.

 

Berdasarkan paparan yang telah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa edukasi seksual sangat dibutuhkan bahkan sejak usia dini. Keluarga dan sekolah merupakan entitas yang paling penting untuk mendidik anak sebagai generasi masa depan. Sistem kurikulum pendidikan di Indonesia perlu memuat edukasi seksual yang diharapkan dapat diajarkan di mata pelajaran terlepas dari dosa yang dikorelasikan dengan konteks keyakinan. Untuk setingkat remaja pada SMP atau SMA, tenaga pengajar yang merupakan guru bimbingan konseling harus memahami, membuat wadah, dan menjadikan lingkungan sekolah sebagai ruang aman terutama tugas utamanya sebagai konselor pelajar.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//