Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa
Pemikiran Njoto mengenai jurnalisme tertuang dalam bentuk artikel pendek atau pidato-pidato yang dikumpulkan dalam buku “Pers dan Massa” yang terbit tahun 1958.
Muhammad Akbar Darojat Restu Putra
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
25 April 2024
BandungBergerak.id – Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama seperti Tirto Adhie Surjo, Mas Matrco Kartodikromo, P. K. Ojong, Haji Mibach dll yang santer terdengar. Memang Njoto lebih dikenal sebagai seorang yang menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama Aidit dan Lukman ketika partai tersebut hampir mendekati ajal pada 1955. Ia juga lebih dikenal sebagai sosok pionir dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mengeskponensi gagasan Turba (Turun ke bawah) demi memanifestasikan seni berwajah rakyat.
Karena itu, dalam tulisan ini saya hendak memaparkan pemikiran Njoto mengenai Jurnalisme. Patut untuk dicatat, ia menuangkan pemikirannya tersebut hanya dalam bentuk artikel pendek atau pidato-pidato yang kemudian dibukukan dalam buku Pers dan Massa. Ia tidak menuliskannya dalam bentuk buku atau magnum opus yang rigor dan sistematis. Kendati demikian, apa yang ia tawarkan, seperti yang akan lihat nanti, dapat menjadi acuan bagi mereka yang menekuni dunia jurnalisme.
Baca Juga: Jejak Pers, Jejak Intelektualitas Bandung
Pers dan Partai Politik Kita
Jejak Langkah Tirto Adhi Soerjo, Pers Bumiputera dan Pers Advokasi
Membangun Pers Ala Lenin
Njoto dikenal sebagai orang yang membawa koran PKI, Harian Rakjat menuju kesuksesan. Betapa tidak, pada masa itu, Harian Rakjat merupakan koran yang memiliki jumlah oplah yang besar. Hal ini mengingat Njoto mendorong Harian Rakjat agar selalu berpedoman pada ide-ide Lenin yang ia klaim sebagai sokoguru pers. Sebagaimana bisa dilihat dalam tulisannya yang berjudul Lenin, Pers dan Kita, ia mengaksentuasikan prinsip pers Leninian yang menampik jalan tengah atau jalan ketiga ketika membuat berita. Maksudnya ialah bahwa pers harus memihak kepada orang yang tertindas ketika menginformasikan peristiwa kepada masyarakat.
Ia pun membedakan antara apa yang disebut dengan objektif dan netral. Objektif adalah sikap yang berpedoman pada kebenaran ketika melihat suatu peristiwa tanpa ada tendensi yang imparsial. Sebaliknya, netral adalah sikap hanya menceritakan gejala dan kronologis suatu peristiwa tanpa adanya tendensi pemihakan. Misalnya, ketika terbit kebijakan kenaikan harga BBM, seorang jurnalis yang objektif pasti akan menginformasikan dengan sebenar mungkin kebijakan itu sembari menunjukkan siapa saja yang terkena imbasnya, sementara jurnalis yang netral hanya menceritakan tentang bagaimana kebijakan itu muncul tanpa ada komitmen untuk menunjukkan siapa yang terkena imbas.
Tak hanya memihak, pers juga mesti berpartai. Bukan berarti bahwa kita harus berafiliasi dengan partai politik ketika menjalankan organ pers. Apa yang dimaksud oleh Njoto ialah bahwa organ pers mesti turut berpolitik dengan mengambil visi membela kaum proletar. Seperti yang dicatat oleh Lenin dalam What Is To Be Done bahwa tugas pers ialah “mengorganisasi penelanjangan-penelanjangan politik yang meliputi semua segi.” Penelanjangan ini begitu krusial mengingat proletar membutuhkan pelajaran dari kenyataan yang konkret dan aktual untuk menumbuhkan kesadaran kelas. Maka, tujuan dari penelanjangan tersebut adalah untuk mengembangbiakkan jiwa-jiwa revolusioner kaum proletar.
Dalam konteks tersebut, ia mengkritik koran-koran yang suka memberitakan peristiwa yang tak krusial dan substansial. Dengan lain kata, peristiwa aneh atau fenomena yang belum pernah ada di dunia ini. Misalnya, ular berkepala ayam, kuda berbulu kambing dll. Bisa juga dengan peristiwa yang sebenarnya penting, tapi malah mengambil sudut pandang (angle) yang tak penting seperti peristiwa demo buruh yang malah tak memberitakan apa saja tuntutannya dan berapa orang yang ikut, melainkan berapa orang yang memakai sepatu terbalik.
Selain itu, ia juga mengingatkan pada pers lokal yang agar tidak bertindak layaknya pers sentral. Peristiwa-peristiwa yang sifatnya kenegaraan (baca: umum) cukuplah diwartakan oleh pers sentral. Tugas pers lokal adalah mewartakan peristiwa-peristiwa kedaerahan yang sifatnya spesifik. Pers lokal tak boleh menganggap remeh atau abai terhadap persoalan yang sifatnya kecil karena bisa jadi sifatnya besar ketika dikuliti lebih dalam. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana pers lokal itu mewartakan persoalan yang memiliki kaitan dengan kelas proletar.
Pers sentral dan pers lokal tersebut, kembali Njoto mengingatkan, harus giat menjalankan koresponen dengan buruh, petani, mahasiswa, pelajar dan terutama wong cilik. Koresponen ini diadakan agar organ pers memiliki hubungan yang erat dengan massa. Juga guna mendidik massa memahami berbagai persoalan yang terjadi, entah budaya, politik, ekonomi, filsafat dll. Dalam konteks ini, ia mengikuti prinsip koran Pravda Uni Sovyet, seperti yang dicatat oleh Stalin:
Kami ingin kaum buruh tidak membatasi diri pada simpati saja, tetapi ambil bagian yang aktif dalam memimpin surat kabar kita,. Janganlah kaum buruh mengatakan bahwa mereka tidak cocok untuk menulis. Penulis-penulis kelas buruh tidaj turun dari langit dalam keadaan sudah jadi: mereka hanya dapat dilatih secara berangsur-angsur, dalam rentetan aktivitas kesusasteraan. Apa yang diperlukan ialah memulai pekerjaan itu dengan berani: kamu boleh gagal sekali atau dua kali. tetapi akhir-akhirnya kamu akan dapat menulis.
Asas Jurnalistik
Njoto menambahkan bahwa asas dalam jurnalistik tak hanya memihak sebagaimana sudah dijelaskan di muka, melainkan juga mengutamakan kebenaran dan berprinsipil. Kebenaran adalah asas yang jauh lebih penting daripada kecepatan. Acapkali jurnalis diminta untuk meliput suatu peristiwa dan kemudian mewartakannya dalam waktu yang relatif cepat. Padahal yang jauh lebih penting dari itu adalah kebenaran.
Bagi Njoto kecepatan memang hal yang penting dalam jurnalistik, di mana suatu peristiwa semestinya memang diinformasikan secepat mungkin, sehingga publik segera mengetahuinya. Namun, kita tak boleh melupakan asas kebenaran karena bagaimanapun peristiwa yang dilihat oleh jurnalis bukanlah peristiwa yang singular dan simplikatif, melainkan peristiwa yang plural, kompleks dan rumit. Dengan demikian, pengujian dan pemeriksaan data atau yang biasanya disebut dengan verifikasi menjadi tahapan yang penting.
Asas selanjutnya adalah memiliki prinsip. Maksudnya adalah organ pers tidak boleh plintat-plintut demi kepentingan sesaat. Misalnya, suatu kala ia bisa mendukung kelompok A, kemudian berganti kelompok B dan berganti lagi kelompok C secara arbitrer tanpa menelisik siapa yang benar dan siapa yang salah. Njoto menyebut jurnalisme seperti ini sebagai “Jurnalisme Bajing Lompat”, model jurnalisme yang hanya memberitakan sesuatu berdasarkan pada apa yang lebih menguntungkan, sehingga bersifat oportunistik. Karena itu, ia mengingatkan bahwa organ pers harus memiliki prinsip yang jelas dan tegas. Prinsipnya tak lain dan tak bukan ialah menjunjung tinggi demokrasi dan mendukung kepentingan rakyat.
Asas tersebut mesti dibarengi dengan penulisan berita yang langsung kepada titik persoalan. Berita tak perlu ditulis dengan kata-kata indah laiknya penulisan sajak atau roman, melainkan dengan singkat, padat dan substansial. Orang tak boleh langsung mendamprat Nyoto dengan mengatakan mengenai genre jurnalisme sastrawi yang berbeda dengan penulisan berita pada umumnya. Sebab, jurnalisme sastrawi belum lahir saat Njoto masih hidup. Kendati singkat dan tidak perlu berbelit-belit, penulisan berita yang ia inginkan mesti hidup dan bisa menggerakkan jiwa pembacanya.
Penutup
Walaupun ia tak banyak menghasilkan tulisan jurnalisme, namun apa yang ia tuliskan, bagi saya, setidaknya tetap relevan. Njoto mengajarkan kita bahwa organ pers semestinya digunakan sepenuhnya demi kepentingan rakyat. Organ pers tak boleh memihak sedikit pun pada mereka yang memperkosa hak-hak rakyat. Ia menunjukkan pada kita bahwa organ pers harus dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam konteks Indonesia sekarang, ketika oligarki meneguhkan dan melanggengkan hegemoninya melalui media, model organ pers ala Njoto tersebut dapat menjadi media counter-hegemonic oligarki.
Bukan hanya itu, organ pers juga dapat diarahkan untuk mendidik kaum proletar. Dengan lain kata, organ pers dapat digunakan untuk menumbuhkan kesadaran kelas kaum proletar dalam melihat berbagai kenyataan yang penuh dengan ketimpangan dan penindasan akibat destruktifikasi sistem kapitalisme. Maka, organ pers dapat digunakan sebagai senjata untuk melawan kapitalisme bagi mereka yang berada di persimpangan kiri jalan.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel lainnya tentang pers dan jurnalisme.