• Berita
  • HARU SUANDHARU SIAP NYALON GUBERNUR: Menyoal Kebijakan Diskrimatif, dari Perda Anti-LGBT hingga Pelarangan Ahmadiyah

HARU SUANDHARU SIAP NYALON GUBERNUR: Menyoal Kebijakan Diskrimatif, dari Perda Anti-LGBT hingga Pelarangan Ahmadiyah

Isu intoleransi yang merugikan kelompok minoritas rentan kerap digoreng menjelang Pemilihan Kepala Daerah. Bagaimana calon gubernur Jawa Barat menyikapinya?

Pekerja merakit kotak suara Pemilu 2024 di gudang Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung, Jalan Ibrahim Adjie, Senin, 19 Desember 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul6 Mei 2024


BandungBergerak.idMomen Pemilihan Umum (Pemilu) di setiap jenjang kerap ‘ditunggangi’ oleh para politisi untuk membawa isu-isu intoleransi. Isu agama hingga rancangan kebijakan diskrimatif menjadi bahan ‘jualan’ para caleg untuk mendulang suara. Kondisi macam ini membuat situasi demokrasi dan toleransi di Indonesia semakin keruh.

Menjelang pemilu 2024 lalu, bergulir wacana tentang pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Anti-LGBTQ di Kota Bandung yang pembahasannya sudah dimulai sejak 2023. Di Jawa Barat, Peraturan Bupati (Perbup) Garut Nomor 47 Tahun 2023 tentang Anti-LGBT sudah lebih dulu terbit.

Isu serupa juga kerap menjadi santapan menjelang Pilkada. Di Jawa Barat, pemilihan gubernur serta bupati dan wali kota akan digelar pada akhir tahun 2024 ini. Haru Suandharu, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), merupakan satu nama yang digadang-gadang akan bertarung memperebutkan kursi nomor 1 di Jawa Barat.

Haru tidak sepakat dengan fakta bahwa menjelang tahun-tahun politik banyak aturan diskriminatif yang muncul. Menurutnya, semua peraturan daerah yang berlaku sudah melewati prosedur yang disyaratkan dan berlangsung secara demokratis.

Berkaitan dengan persoalan LGBT, Haru melanjutkan, Indonesia menikmati ‘berkah’ bonus demografi karena rakyat yang taat dalam beragama. Sebab semua agama yang diakui di Indonesia melarang pernikahan sejenis. Makanya, persoalan ini seharusnya tidak perlu dibenturkan dengan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM).

Haru juga sempat mempertanyakan persoalan terkait Raperda Anti-LGBTQ di Kota Bandung. Sebab jika persoalan kekerasan yang dialami oleh penyintas, mutlak harus ditentang. Adapun persoalan perbedaan pendapat soal substansi dalam rancangan peraturan itu, ia mempersilakan untuk saling membuka ruang dialog.

Politisi kelahiran Tasikmalaya ini menjamin bahwa melindungi kelompok rentan merupakan kewajiban pemerintah. Siapa pun gubernurnya dan dari manapun partainya. Haru juga mengimbau kepada kelompok rentan dan marginal, ketika anggota PKS berhasil maju menduduki kursi parlemen, ia menjamin, kader PKS akan sungguh-sungguh memperjuangkan suara masyarakat yang diwakilinya.

Gak usah khawatir teman-teman yang merasa termarginalkan. Silakan melakukan dialog dengan PKS sebab sudah menjadi kewajiban bagi PKS untuk menerima aspirasi masyarakat,” demikian ungkap Haru, dalam podcast Suara Pinggiran bersama BandungBergerak.id.

Baca Juga: HARU SUANDHARU SIAP NYALON GUBERNUR: Beda Jauh APBD Jabar dan DKI Jakarta
HARU SUANDHARU SIAP NYALON GUBERNUR: Toleransi di Jawa Barat Baik-Baik Saja

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Haru Suandharu dalam podcast Suara Pinggiran BandungBergerak.id. (Foto: Tangkapan Layar Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Haru Suandharu dalam podcast Suara Pinggiran BandungBergerak.id. (Foto: Tangkapan Layar Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Aturan Larangan Ahmadiyah

Saat menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, politisi PKS Ahmad Heryawan melahirkan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 12 Tahun 2012 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat. Aturan ini merupakan salah satu kebijakan diskriminatif yang ditentang beberapa organisasi masyarakat sipil, namun tidak kunjung dicabut sampai sekarang. Bahkan setelah kursi nomor 1 di Jawa Barat itu diduduki oleh Ridwan Kamil yang sebelumnya menjabat wali Kota Bandung. 

Jika naik sebagai gubernur, Haru Suandharu menegaskan bahwa kebijakan tersebut perlu dikaji terlebih dahulu, di mana letak persoalannya. Jika duduk perkaranya nihil, maka kebijakan tersebut bisa dilanjutkan. Tetapi jika ada persoalan, perlu didusikan dan dikaji ulang.

“Saya bilang kalau saya jadi Gubernur, saya akan kaji kembali. Mari kita kaji, mari kita diskusikan!” kata Haru tegas.

Haru menjelaskan, di semua agama yang diakui di Indonesia memiliki perbedaan pendapat dan pandangan mengenai ajarannya. Perbedaan itu ada yang dianggap sekedera perbedaan, ada pula yang dianggap sesat. Haru menyebut kalau perbedaan itu sesat dan menganggu ketertiban umum, pemerintah memiliki kewajiban untuk mengambil langka-langkah supaya ketertiban tercipta.

“Kalau memang dianggap benar pergub itu melanggar HAM, kenapa tidak dicabut oleh pemerintah pusat kalau bertentangan? Seharusnya diliat substansinya. Kalau tujuannya untuk menciptakan ketertiban umum, lantas mengapa ditentang?” ungkap Haru.

Sama halnya dengan perda Anti-LGBT, persoalan yang pantas menjadi perhatian adalah ketertiban umum. Sebab, persoalan agama dan keyakinan bukan kewenangan pemerintah daerah, melainkan pemerintah pusat. Pemerintah daerah fokus dalam “mewujudkan ketertiban”.

“Kalau memang Pergub itu mengganggu ketertiban umum, kita cabut. Tapi kalau tidak, justru itu dicabut malah mengganggu ketertiban umum. Menurut saya, Pergub itu menjadi strategis,” kata Haru menjawab bagaimana sikapnya terkait Pergub Ahmadiyah jika ia terpilih sebagai Gubernur Jabar.

Aturan Diskriminatif Mempengaruhi Layanan Publik

Pada tahun 2019, Setara Institute menemukan ada 91 produk hukum yang berpotensi diskriminatif di Jawa Barat. Direktur Setara Institute waktu itu, Ismail Hasani menyebutkan produk hukum tersebut terindikasi menyalahi aturan kebijakan otonomi daerah. Produk macam itu juga dianggap rawan untuk dijadikan instrumen diskriminasi hingga kekerasan. Perda pelarangan Ahmadiyah, misalnya. Produk hukum yang dinilai diskriminatif ini dapat membuat kelompok Ahmadiyah dipolitisasi.

“Di Jabar misalnya, perda khusus terkait Ahmadiyah ini betul-betul kemudian mendorong atau mengakselerasi praktik intoleransi terhadap Ahmadiyah terlepas dari kontroversi Ahmadiyah. Misalnya, bahwa mereka adalah saudara sebangsa tentu saja kita semua sebagai orang yang memiliki kepedulian sama terhadap konstitusi tidak bisa tinggal diam,” ujar Ismail, dikutip dari siaran pers Setara Institute, Selasa, 13 Agustus 2019.

Setara Institute lantas melakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak produk hukum daerah diskriminatif terhadap akses layanan publik di Jawa Barat dan Yogyakarta. Penelitian ini mengidentifikasi 32 produk hukum daerah, 11 di antaranya produk hukum yang dinilai diskriminatif di Jawa Barat.

“Dari 32 produk hukum daerah yang dikaji, 2 produk hukum daerah di Jawa Barat mendiskriminasi secara langsung (direct discrimination) kelompok Ahmadiyah, yaitu Peraturan Gubernur No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat dan Surat Keputusan Walikota Bogor No. 503/367-Huk Tentang Pembatalan Surat Keputusan No. 601/389-Pem Tahun 2006 Tentang Pendirian Gereja Yasmin Bogor,” demikian dikutip dari penelitian Setara Institute.

Selain itu, dari 28 kasus diskriminatif yang terdokumentasikan di Jawa Barat, ditemukan 54 praktik pelayanan diskriminatif. Rincianya, 30 kasus terjadi di sektor pelayanan administratif dan 24 di sektor pelayanan jasa.

Setara juga menemukan, selain mengandung masalah inkonstitusionalitas, produk hukum diskriminatif juga digunakan untuk melegitimasi perilaku intoleran, mulai dari stigma sosial yang dimiliki individu, main hakim sendiri, hingga kekerasan yang didukung negara terhadap kelompok minoritas.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Pilgub Jabar

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//