Solidaritas Jurnalis Bandung: Lawan Revisi Undang Undang Penyiaran!
Solidaritas Jurnalis Bandung menyatakan RUU Penyiaran bukan hanya mengancam para jurnalis melainkan juga masyarakat yang rajin mengunggah konten di media sosial.
Penulis Sifa Aini Alfiyya28 Mei 2024
BandungBergerak.id – Solidaritas Jurnalis Bandung yang terdiri dari berbagai organisasi dan komunitas pers turun ke jalan menolak Revisi Undang Undang (RUU) Penyiaran, di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Bandung, Selasa, 28 Mei 2024. RUU Penyiaran mengancam iklim demokrasi serta kebebasan pers di Indonesia. Bahkan kebebasan berekspresi masyarakat akan turut terampas.
Massa solidaritas kompak menyuarakan bahwa RUU Penyiaran merupakan regulasi yang membungkam hak-hak publik akan informasi berkualitas. Massa berasal dari dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Perhimpunan Fotografer Indonesia (PFI) Bandung, Wartawan Foto Bandung, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB), pers mahasiswa, dan elemen masyarakat.
Revisi UU No. 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran sejak awal terasa ganjil dan kontroversial. Melansir aji.or.id ‘Revisi Undang-Undang Penyiaran: Melanggengkan Kegemaran Negara dalam Membatasi Kebebasan’, beberapa pasal dapat melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi. Terdapat Pasal 50B ayat (2) larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender, larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik;
Lalu, Pasal 8A huruf q menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran, dan Pasal 42 muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan, Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Koordinator Divisi Advokasi AJI Bandung Fauzan Sazli mennyatakan, seharusnya negara tidak boleh melarang-larang liputan jurnalis khususnya metode jurnalisme investigasi yang sudah menjadi ruh media massa dalam menyingkap penyimpangan atau kejahatan pejabat publik.
Ia juga menyatakan, sengketa pers yang selama ini dilakukan di Dewan Pers akan diambil alih oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik pemberitaan televisi, radio, maupun media cetak, dan online. Hal ini menuai masalah karena hukum dan kewenangan KPI dan Dewan Pers menjadi tumpang tindih. UU Penyiaran juga akan bertabrakan dengan Undang Undang Pers.
Melalui RUU Penyiaran KPI terlihat ingin mengambil alih menjadi seperti lembaga sensor film terhadap konten-konten digital di masyarakat. Regulasi ini akan menyasar konten-konten kritis terhadap pemerintah. Konten yang akan diunggah nantinya akan menjadi sangat terbatas.
“Semua pihak tidak hanya jurnalis akan terancam melalui RUU Penyiaran ini dan tentu berdampak kepada kerja-kerja jurnalistik. Jadi ini merugikan kerja-kerja wartawan dan merugikan juga orang untuk melakukan kebebasan berdemokrasi,” kata Fauzan di sela-sela demonstrasi.
Ia mengingatkan, Indonesia telah memiliki Undang Undang ITE yang memiliki pasal-pasal karet. Pasal serupa muncul di RUU Penyiaran Pasal 50B ayat (2) tentang larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik. UU Penyiaran berpotensi memakan warga kritis, aktivis, ataupun jurnalis seperti yang telah terjadi pada Undang Undang ITE.
Karena itu, Fauzan menegaskan, seluruh masyarakat harus menolak sekuat tenaga terhadap RUU Penyiaran yang akan menjadi draft pada tanggal 29 Mei 2024. Denokrasi akan terancam karena kebebasan pers dibungkam oleh DPR RI melalui kebijakan yang sedang mereka bicarakan.
Revisi RUU Penyiaran dilakukan sembunyi-sembunyi, tidak ada dialog publik atau kepada Dewan Pers dan rekan-rekan wartawan. DPR RI sejak tahun 2020 hingga akhir 2023 tidak melakukan pembahasan mengenai RUU ini, tetapi baru pada 27 Maret 2024 jurnalis wartawan menemukan adanya draf ini di internet.
“Tidak ada niatan baik dari DPR RI dan itu tidak disebarkan secara sengaja. Sebagai organisasi profesi wartawan ingin dilibatkan dalam RUU ini karena kerja-kerja kami terancam,” ujarnya.
Jika RUU Penyiaran, seluruh jurnalis akan melakukan boikot terhadap DPR RI. Bahkan Dewan Pers telah menyatakan sikap menolak RUU ini karena berpotensi dapat melakukan intervensi dan tindakan represif terhadap kebebasan pers dan berekspresi jurnalis, konten kreatif, atau pers mahasiswa.
Ia meminta kepada para pemangku kebijakan untuk tidak membuat peraturan-peraturan yang berdampak buruk kepada publik seperti RUU Penyiaran ini. Ia mengingatkan jalan menuju demokrasi di negeri ini cukup panjang dan berdarah-darah. Ketika ada undang-undang yang merugikan demokrasi sama saja dengan mengkhianati reformasi yang telah diperjuangkan oleh rakyat pada 1998 lalu.
“Kita akan berjuang terus untuk menegakkan demokrasi di Indonesia, untuk menegakkan kebebasan pers, apa pun itu yang berdampak buruk bagi demokrasi, kami akan melawan. Kami akan menolak ketidakadilan atau upaya represi pemerintah atau rezim terhadap kebebasan pers,” ujar Fauzan.
Baca Juga: Pasal Larangan Jurnalisme Investigasi di RUU Penyiaran Menguntungkan Koruptor
Revisi UU Penyiaran Mengkebiri Jurnalis dan Membungkam Kebebasan Berekspresi Warga Negara
Dewan Pers: RUU Penyiaran Upaya Kesekian Pemerintah dan DPR Menggembosi Kebebasan Pers
Persma Semakin Rentan
RUU Penyiaran ini juga menjadi ketakutan bagi pers mahasiswa (Persma). Mereka akan semakin terjepit dan rentan. Syifa Khoirunnisa, anggota Suara Mahasiswa Universitas Islam Bandung, persma akan kesulitan mengangkat isu eksklusif seperti investigasi karena adanya jerat hukum yang menantinya dari kampus atau negara.
Sebagai perempuan juga ia khawatir posisinya semakin rentan karena sejak awal stigma buruk kepada jurnalis perempuan masih melekat hingga sekarang. Para jurnalis terutama perempuan akan semakin sulit menyampaikan informasi penting kepada masyarakat karena menurutnya RUU ini sarat dengan kepentingan seseorang atau golongan tertentu.
Bagi Syifa, RUU Penyiaran adalah penjegalan terhadap jurnalis yang hendak mengangkat isu yang kritis. Jurnalisme akan berjalan mundur karena dilarangnya jurnalisme investigasi. Berita-berita yang muncul akan terasa hambar karena kemungkinan hanya diisi oleh siaran pers.
Ia mengajak mahasiswa harus turut menyuarakan penolakan RUU Penyiaran karena akan berdampak kepada kebebasan berpendapat terhadap isu-isu penting bagi publik, seperti kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ruang gerak mahasiswa di media digital akan terbatas dan sulit dalam membuat konten investigasi karena dijegal oleh KPI.
“Kita harus menolak dengan tegas dan harus bareng-bareng biar konsisten menolak RUU Penyiaran,” kata Syifa, yang juga turut turun ke jalan menolak RUU Penyiaran.
Tidak hanya persma, Syifa juga mengajak seluruh mahasiswa untuk turun ke jalan menolak RUU Penyiaran yang menjadi ancaman bagi jurnalis dan kebebasan berekspresi masyarakat sipil.
“Harapannya untuk wakil rakyat harap didengar dan dipertimbangkan lagi dengan melihat perjuangan-perjuangan pers sudah sampai mana, dan dampaknya ke masyarakat umum,” pungkasnya.
*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Sifa Aini Alfiyya, atau artikel-artikel lain tentang Kebebasan Pers dan Kebebasan Berekspresi