• Berita
  • Revisi UU Penyiaran Mengkebiri Jurnalis dan Membungkam Kebebasan Berekspresi Warga Negara

Revisi UU Penyiaran Mengkebiri Jurnalis dan Membungkam Kebebasan Berekspresi Warga Negara

Tidak hanya jurnalis, RUU Penyiaran membidik warga pengguna media sosial termasuk para pembuat konten-konten yang kritis terhadap pemerintah.

Ilustrasi. Kebebasan pers. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah22 Mei 2024


BandungBergerak.id – Hak-hak publik terhadap produk jurnalisme berkualitas dalam bayang-bayang kegelapan. Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang dilakukan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengatur pasal-pasal kontroversial yang membatasi kerja-kerja jurnalistik dan kebebasan berekspresi. Revisi UU Penyiaran mendapat sorotan tajam dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.

Pengamat penyiaran dan juga ahli Dewan Pers Nursyawal mengatakan, revisi UU Penyiaran merupakan ancaman bagi semua warga negara karena pembuat hukum sedang mencoba melakukan pelanggaran hukum yang dapat membungkam kritik warga negara serta pengawasan media.

Di sisi lain, AJI dan LBH Pers menilai, selain membatasi kerja jurnalistik, hal berlebihan dilakukan negara dalam RUU Penyiaran berdasarkan draf 27 Maret 2024 adalah pemerintah berniat untuk melakukan kendali berlebih (overcontrolling) terhadap ruang gerak warganya. Hal ini berdampak pada pelanggaran terhadap hak atas kemerdekaan pers dan juga pelanggaran hak publik atas informasi.

AJI dan LBH Pers menyatakan, pelanggaran ini mengkhianati semangat perwujudan negara demokratis sesuai Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang pers. UU Pers merupakan undang-undang yang dicita-citakan melindungi kerja-kerja jurnalistik serta menjamin pemenuhan hak publik atas informasi.

Beberapa pasal RUU Penyiaran yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi termuat pada pasal 508 ayat (2) yang melarang penanyangan ekslusif jurnalistik investigasi, larangan penanyangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, transgender, dan larangan penanyangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinnaan dan pencemaran nama baik.

Kemudian di pasal 8A huruf 9 mengenai menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus bidang penyiaran di pasal 42 yang berisi di antara lain, pertama, muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan perundang-undangan. Kedua, penyelesain sengketa mengenai kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Pemerintahan berusaha mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi UU Pers. Sebab pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) ada draf revisi UU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dan kewenangan Dewan Pers,” demikian pernyataan resmi AJI dan LBH Pers, diakses, Selasa, 21 Maret 2024.

“Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers,” jelasnya.

Tidak hanya itu, pemerintah menggunakan kekuasaannya secara eksesif melalui pasal-pasal pemberangus demokrasi dengan berdalih perlindungan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik yang semakin dilegitimasi melalui RUU Penyiaran.

“Alih-alih mempersempit ruang kriminalisasi bagi jurnalis maupun masyarakat pada umumnya, eksistensi pasal elastis ini justru semakin diperluas penggunaannya,” tuturnya.

Penanyangan ekslusif tersebut sebagai wujud keenganan pemerintah dalam melakukan pembenahan pada pelenyenggaran negara yang memilih menutup kanal informasi tersebut. Hal ini bukan fenomena yang mencengangkan mengingat kultur pemerintahan Indonesia yang antikritik, tidak berorientasi pada perbaikan, dan enggan berpikir.

Budaya noninklusif diperlihatkan oleh pemerintahan yang mendiskriminasi kelompok LGBTQ+. Oleh karenanya AJI Jakarta dan LBH Pers mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI sebagai berikut: 

  1. Meninjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran; 
  1. Menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi; 
  1. Melibatkan Dewan Pers dan kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu yang beririsan.

Baca Juga: Kritik Keras Mahasiswa Bandung atas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Batas Usia Capres dan Cawapres
Kritik Korupsi dalam Komik “From Bandung With Laugh”
Menukas Politik Identitas, Kritik pada Partai Politik dan Pemuka Agama

Pelanggaran Hukum oleh Pembuat Hukum

Pengamat penyiaran dan juga mantan Ketua AJI Bandung mengatakan, selain mengancam semua warga negara dan media pers dengan pembungkaman, penyusunan revisi UU Penyiaran tidak melibatkan partisipasi publik. Padahal menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2022, partisipasi bermakna dari  masyarakat sebagai upaya memperbaiki tata cara yang buruk pada pembentukan undang-undang.

Oleh karena itu, mantan Ketua AJI Bandung ini menegaskan Revisi UU Penyiaran perlu melibatkan masyarakat. “Masukan dari masyarakat harus dipertimbangkan oleh pembuat undang-undang dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) tidak dighosting gitu," jelas Nursyawal. 

Syawal juga melihat RUU Penyiaran telah mengubah subtansi lembaga penyiaran sebagai penghasil laba. Pasal-pasal prinsip demokrasi penyiaran berdasar pilar keberagaman konten dan keberagaman kepemilikan media dihilangkan.

“Kuasa publik dalam dunia penyiaran juga hilang dengan pemangkasan kewenangan lembaga negara independen bernama Komisi Penyiaran Indonesia, dan kembali ke rezim kuasa modal," sambungnya 

Dalam revisi tersebut tak ada pembatasan pemusatan kepemilikan dan tak ada lagi afirmasi dukungan terhadap hak masyarakat lokal, penyiaran lokal, komunitas, publik termasuk publik lokal.

Syawal mengingatkan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seharusnya jadi wadah kedaulatan rakyat atas penggunaan frekuensi oleh entitas bisnis. Namun, sayangnya anak kandung reformasi ini malah dikebiri.

“KPI sebagai anak kandung reformasi, yang niat awalnya untuk mengembalikan manfaat pemakaian frekuensi sebesar-besarnya demi kepentingan masyarakat, dikebiri dan dipasung menjadi peliharaan kaum dominus. Media dikembalikan menjadi alat hegemoni," beber Nursyawal.

Sejumlah pasal RUU Penyiaran diduga mengandung agenda tersembunyi dengan embel-embel demi melindungi anak bangsa dari dampak negatif media digital. Di balik itu, revisi undang-undang ini membungkam sikap kritis masyarakat, di mana para pembuat konten di sosial media juga menjadi subjek hukum.

Mengenai larangan konten jurnalistik investigasi dan klausul penyelesaian sengketa jurnalistik diselesaikan di Komisi Penyiaran Indonesia, menurut Nursyawal hal ini yang membuat ledakan penolakan opini publik.

“Pengelola media dan pekerja pers kompak menyuarakan penolakan. Bersama pasal-pasal lain, komunitas pers mengancam jika revisi UU Penyiaran memuat pasal-pasal yang mengancam kebebasan dan kemerdekaan pers, serta kebebasan berekspresi, maka "senayan akan berhadapan dengan kami"," tegas Nursyawal.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang Kebebasan Pers

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//