Pasal Larangan Jurnalisme Investigasi di RUU Penyiaran Menguntungkan Koruptor
Iklim demokrasi digentayangi ancaman RUU Penyiaran. Elite-elite politik memanfaatkan regulasi untuk menghindari jurnalisme investigasi.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah27 Mei 2024
BandungBergerak.id- Iklim demokrasi, kebebasan pers, dan berekspresi di Indonesia digentayangi ancaman sejumlah pasal-pasal karet yang dibikin penguasa. Pasal-pasal multitafsir ini akan membatasi partisipasi publik yang tertuang dalam Racangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran).
Salah satu pasal kontroversial RUU Penyiaran adalah pasal 50 B ayat (2) huruf C mengenai larangan liputan investigasi jurnalistik. Dalam lingkup pemberantasan korupsi, produk jurnalistik investigasi menjadi kanal alternatif membongkar praktik kejahatan yang merugikan negara.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Pers, Indonesia Corruption Watch (ICW), Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Greenpeace Indonesia, Watchdoc, serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan masyarakat berhak menyoroti kinerja negara termasuk dengan kerja-kerja investigative jurnalistik.
“Sebagai pilar keempat demokrasi, media punya peran strategis dan taktis dalam membangun demokrasi, khususnya yang melibatkan masyarakat sebagai fungsi Watchdog,” tegas pernyataan resmi Koalisi Masyarakat Sipil, diakses Senin, 27 Mei 2024.
RUU Penyiaran kini sedang berproses di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk merevisi UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran yang bertolak belakangan dengan semangat demokrasi. RUU ini tak hanya mengancam pers namun juga gerakan antikorupsi di Indonesia.
Keberadaan pasal larangan jurnalisme investigasi secara tidak langsung menguntungkan koruptor alias pelaku korupsi. Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil menilai Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan secara tersurat memuat ketentuan larangan jurnalistik investigasi bermasalah dan harus ditolak.
Catatan Koalisi Masyarakat Sipil
Rancangan RUU Penyiaran menambah daftar panjang relugasi yang tak memihak pada pemberantasan korupsi. Sebelumnya, negara telah melakukan beberapa revisi undang-undang dengan hasil tak berpihak pada hak asasi dan sumber daya alam atau lingkungan.
“Seperti revisi UU KPK, UU Pemasyarakatan, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Adanya norma yang membatasi konten investigatif tersebut justru berpotensi semakin menghambat kerja-kerja masyarakat sipil,” jelas Koalisi.
Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dalam RUU Penyiaran yang melarang konten jurnalisme investigasi jelas bertentangan, padahal produksi jurnalisme investigasi merupakan bagian wujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis.
Koalisi Masyarakat Sipil juga mencatat, dalam konteks pemberantasan korupsi banyak informasi publik yang diinvestigasi oleh jurnalis yang lebih dipercayai oleh masyarakat. Tentunya, dengan adanya pelarangan kerja investigasi akan berdampak buruk pada penindakan kasus korupsi.
“Hasil liputan investigasi sering kali membantu aparat penegak hukum da?am proses penyelidikan atau penanganan perkara korupsi. Data dan Informasi mendalam yang dihasilkan para jurnalis juga ikut memberikan informasi kepada penegak hukum untuk mengambil tindakan atas peristiwa dugaan kasus korupsi maupun pelanggaran lainnya. Selain itu, dalam konteks penuntasan kasus korupsi, liputan investigatif kerap kali bisa membongkar aspek yang tidak terpantau, sehingga jadi trigger bagi penegak hukum menuntaskan perkara,” ungkap Koalisi.
RUU Penyiaran mengancam independensi media, pelarangan laporan investigatif menjadikan pers tak lagi berkerja sebagai pengontrol kekuasaan.
“Jurnalisme investigasi adalah salah satu alat bagi media independen–sebagai pilar keempat demokrasi– untuk melakukan kontrol terhadap tiga pilar demokrasi lainnya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi sama dengan menjerumuskan Indonesia sebagai negara yang tidak demokratis,” beber Koalisi.
Koalisi masyarakat sipil mendesak DPR dan Presiden untuk:
- Menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang substansinya bertentangan dengan nilai demokrasi dan upaya pemberantasan korupsi;
- Menghapus pasal-pasal yang berpotensi multitafsir, membatasi kebebasan sipil, dan tumpang tindih dengan UU lain;
- Membuka ruang ruang partisipasi bermakna dalam proses penyusunan RUU Penyiaran dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat terdampak lainnya;
- Menggunakan UU Pers sebagai pertimbangan dalam pembuatan regulasi yang mengatur soal pers.
Baca Juga: Dewan Pers: RUU Penyiaran Upaya Kesekian Pemerintah dan DPR Menggembosi Kebebasan Pers
Revisi UU Penyiaran Mengkebiri Jurnalis dan Membungkam Kebebasan Berekspresi Warga Negara
Realitas Kebebasan Pers di Jawa Barat tak Sebebas Hasil Survei Dewan Pers
Minim Partisipasi Publik, Suara Kritis Dibungkam
Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Padjajaran Kunto Adi Wibowo mengatakan, perancangan RUU Penyiaran tidak melibatkan partisipasi publik dan pekerja media. Proses pembentukan regulasi ini mencerminkan ketidakpahaman pembuat undang-undang.
“Terkait minimnya partisipasi publik baik profesi dan media, ketika RUU ini keluar kita kaget. Ada yang mengkaitkan jurnalisme investigasi bisa menganggu penyelidikan polisi, nama investigasi lebih pada nama jurnalisme bukan pada objeknya, ini mencerminkan ketidakpahamanan undang-undang,” ujar Kunto dihubungi BandungBergerak, Minggu, 19 Mei 2024.
Pembatassan terhadap laporan dan kerja investigasi merupakan usaha keras membungkam suara-suara kritik agar publik tak bisa menanyakan dan lebih tahu pada objek-objek yang diinvestigasi. “Jurnalisme investigasi menjadi sesuatu yang menakutkan, supaya media tidak kritis, supaya publik tidak punya pandangan kritis pada elite politik,” terang Kunto.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang Kebebasan Pers