• Indonesia
  • Dewan Pers: RUU Penyiaran Upaya Kesekian Pemerintah dan DPR Menggembosi Kebebasan Pers

Dewan Pers: RUU Penyiaran Upaya Kesekian Pemerintah dan DPR Menggembosi Kebebasan Pers

Dewan Pers beserta semua konstituen yang terdiri dari komunitas dan organisasi pers tegas menolak draft kedua dari UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Ilustrasi. Kebebasan pers. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Salma Nur Fauziyah15 Mei 2024


BandungBergerak.idPersoalan Rancangan Undang Undang (RUU) Penyiaran ramai diperbincangkan oleh media massa. Dewan Pers dan organisasi pers menolak regulasi ini karena isinya cenderung bertentangan dengan Undang Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. RUU Penyiaran ini juga membuat pers tidak merdeka atau independen, dan mendorong pers untuk melahirkan produk jurnalistik yang buruk dan tidak profesional. 

Menanggapi hal tersebut, Dewan Pers mengadakan jumpa pers yang turut dihadiri para konstituen yang terdiri dari komunitas pers, Selasa, 14 Mei 2024 di Gedung Dewan Pers Lt. 7 Jakarta.

Ninik Rahayu sebagai Ketua Dewan Pers menyampaikan beberapa poin terkait permasalahan Rancangan kedua Undang-Undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang kontroversial ini. Ninik mengatakan, Dewan Pers menghormati DPR dan pemerintah yang memiliki kewenangan konstitusional dalam menyusun regulasi terutama yang berkaitan dengan pemberitaan pers, baik media cetak maupun elektronik.

“Terhadap draft RUU Penyiaran versi Oktober 2023, Dewan Pers dan konstituen menolak sebagai draft yang mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana yang dijamin dalam Undang Undang Dasar ‘45,” ujar Ninik Rahayu.

Argumentasi penolakan tersebut terkait dengan konteks politik hukum. Pembentukan RUU Penyiaran tidak melibatkan UU Pers. Hal ini mencerminkan tidak adanya integrasi dalam lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai produk penyiaran. Jika RUU Penyiaran disahkan sebagai undang-undang, aturan-aturan di dalamnya dapat menyebabkan produk pers hanya menghasilkan produk pers yang tidak berkualitas, tidak profesional, tidak merdeka, dan tidak independen. 

Dalam proses penyusunan RUU Penyiaran, menurut Ninik para penyusun regulasi ini tidak menerapkan prinsip meaningful participation. Publik memiliki hak menyampaikan pendapatnya dalam merancang sebuah regulasi dan pemerintah sebagai penyusun kebijakan mestinya dapat mendengar dan mempertimbangkan masukan-masukan masyarakat tersebut. Dalam persoalan ini, Dewan Pers dan konstituen selaku penegak UU no. 40 Tahun 1999 ini tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU tersebut.

Bahkan Ninik menyebut ada beberapa pasal yang mengancam kebebasan pers seperti pelarangan konten bermuatan jurnalisme investigatif hingga penyelesaian sengketa pers oleh lembaga selain Dewan pers, dalam konteks ini KPI.

Beberapa konstituen yang hadir, seperti AJI, PWI, ITJI, PRSSNI, AMSI, Serikat Media Siber Indonesia, serta ATVLI kompak menyatakan penolakan terhadap RUU Penyiaran ini. Alasan masing-masing konstituen yang hadir kurang lebih sama dengan apa yang telah disampaikan oleh Dewan Pers. Mereka menolak dan menganggap RUU Penyiaran ini sangat merugikan bagi kebebasan pers ke depannya. Mereka mendesak DPR untuk menangguhkan dan mengkaji ulang draft RUU Penyiaran ini.

“Tolong ditunda sampai masa kepengurusan DPR yang baru. Kemudian melibatkan semua orang, sehingga ini bisa tetap mempertahankan kebebasan pers kita,” ujar Nani Afrida, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).

Nani juga menggarisbawahi pasal mengenai larangan jurnalisme investigasi di dalam RUU Penyiaran sebagai aturan di luar nalar. Ia menegaskan jurnalisme investigatif merupakan strata tertinggi dari karya jurnalistik sehingga jika dilarang, maka akan menghilangkan kualitas jurnalistik.

Untuk itu Nani mendesak DPR dalam penyusunan RUU ini untuk melibatkan partisipasi masyarakat, terutama warga yang berhubungan dengan penyiaran.

Mengapa Mengancam Kebebasan Pers?

Pada awal Mei lalu, organisasi pusat kajian media dan komunikasi Remotivi, menayangkan sebuah video di kanal YouTube resmi mereka berjudul KPI dan Konten Digital: Rahasia di Balik RUU Penyiaran. Dalam video berdurasi sekitar 12 menit, Remotivi memaparkan hal yang menjadi permasalahan di dalam RUU Penyiaran yang mengacu pada draft yang dikeluarkan bulan Oktober 2023 lalu.

Remotivi juga turut menyediakan menyediakan folder drive yang juga menyediakan draft RUU Penyiaran beserta naskah akademik dan PTT terkait RUU Penyiaran. Terdapat tiga poin mengapa RUU Penyiaran ini dianggap bermasalah, yaitu (1) perluasan wewenang KPI ke ranah digital, (2) larangan yang berlebihan atas konten digital, dan (3) mengancam kebebasan pers.

Dalam naskah atau draft terbaru, pasal-pasal tersebut tidak banyak yang berubah secara substantif. Pasal-pasal yang bermasalah dan mengancam kebebasan pers masih tetap ada. Seperti pasal 50B ayat (2) huruf c yang susbtansinya tetap sama dengan pasal 56 ayat (2) huruf c, mengenai larangan penayangan ekslusif jurnalistik investigasi.

Selain itu, dalam RUU Penyiaran ini konten bermuatan jurnalistik mau tidak mau harus tunduk dibawah P3 dan SIS yang mana merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh KPI. Bahkan jika ada kasus sengketa pers, KPI pun berhak untuk turun tangan untuk menangani kasus tersebut. Kedua hal ini termuat dalam pasal 42 ayat (1) dan (2).

Seperti yang sudah diatur dalam UU no. 40 Tahun 1999, lembaga yang berwenang dalam mengawasi ranah jurnalistik adalah Dewan Pers. Jika aturan ini disahkan, berarti akan ada dua lembaga yang saling tumpang tindih mengawasi dan mengatur kerja-kerja pers.

Baca Juga: Komite Keselamatan Jurnalis: RKUHP Mengancam Kebebasan Berekspresi Warga dan Kebebasan Pers
Realitas Kebebasan Pers di Jawa Barat tak Sebebas Hasil Survei Dewan Pers
Hari Kebebasan Pers Sedunia 2022, Lemahnya Komitmen Negara dalam Melindungi Pers

Upaya Membungkam Pers 

Anggota Dewan Pers Yadi Hendriana mengutarakan upaya menggembosi  kemerdekaan pers sudah lima kali dilakukan oleh pemerintah maupun legislatif. Hal itu antara lain tecermin melalui isi UU Pemilu, peraturan Komisi Pemilihan Umum, pasal dalam UU Cipta Kerja, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan terakhir RUU Penyiaran. Yadi menilai, RUU Penyiaran ini jelas-jelas secara frontal mengekang kemerdekaan pers. 

Suara penolakan juga datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang disampaikan oleh Kamsul Hasan. Menurut dia, RUU Penyiaran itu jelas-jelas bertentangan dengan UU Pers. PWI minta agar draf RUU Penyiaran yang bertolak belakang dengan UU Pers.

Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan meminta agar draf RUU itu dicabut karena akan merugikan publik secara luas dan kembali disusun sejak awal dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.

Penolakan juga disampaikan oleh Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan semua konstituen Dewan Pers.

*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel lain tentang Kebebasan Pers

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//