• Narasi
  • Merenungkan Yabe Lale

Merenungkan Yabe Lale

Sejauh manakah pembebasan itu? Sejauhnya kemenangan atas musuh, sejauhnya melepas belenggu perbudakan, atau sejauhnya berjalan bebas mencari teritorial bebas pajak?

Muhammad Lutfi

Menyelesaikan S1 Sastra Indonesia di UNS, menyelesaikan S2 Pendidikan Bahasa Indonesia di UNNES. Bergiat dalam GMDI dan Rumput Sastra.

Ilustrasi anak dan penggusuran. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

31 Mei 2024


BandungBergerak.id – Sebuah lagu Bugis dengan tajuk sebagai pengantar tidur anak, Yabe Lale seakan membawa nostalgia dengan sosok pahlawan pembebas suku Bugis-Aru Pallaka. Palaka lahir sebagai seorang kaum ningrat suku Bugis yang terjamah penjajahan imperialisme kaum Makassar. Palakka dengan rantai emas mengikat melingkar seperti selendang, ditambahi pula dengan tombak emasnya yang garang itu, menjadi ikon kebanggaan bagi kaum Bugis. Palaka menjadi ikon culture masyarakatnya pada zaman itu.

Yabe Lale seakan menyuruh anak masih kecil “tidurlah, jangan mimpi buruk!”. Cukup sekali saja mimpi buruk, jangan mau selamanya mimpi buruk menghantui hidup. Mimpi buruk adalah keburukan yang menghitami bayang-bayang kenikmatan tidur. Yabe Lale menyuruh Aru Palaka berhenti berjuang, “Berhenti, tidurlah, kamu sudah lelah!” Setelah peperangan panjang membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan-perbudakan kaum Bugis, Palaka berhasil menjadi raja pembebas kaum lemah.

Sejauh manakah pembebasan itu? Sejauh dia menghendaki kemenangan atas musuh, sejauh melepas rantai belenggu perbudakan, atau sejauh berjalan bebas mencari teritorial yang bebas pajak. Ini masih dini kita mengenal hidup tenteram, masih banyak di sana anak kecil menjadi budak preman untuk jadi pengemis dan pengamen jalanan. Banyak ibu-ibu janda jadi pelacur di rumah bordil, banyak pula bapak-bapak kehilangan istri karena kabur bersama lelaki idaman lain-atau bapak-bapak yang lari meninggalkan keluarganya.

Baca Juga: Rumah dan Kesejahteraan untuk Manusia Gerobak
Manusia Beranda dan Tragedinya
Jalan Panjang Sosialis-Humanisme

Bangsa

Ernest Ernent mengatakan, “Bangsa adalah dia yang menghendaki bersatu, bukan dia yang menghendaki dirinya sendiri.” Ucapan Ernent menegaskan pada kita semua bahwa bangsa adalah persatuan dari ragam pluralisme suatu kumpulan rakyat dari suku-suku dan anak-anak daerah yang masih berada dalam nasionalisme suatu negara. Seperti Indonesia yang terdiri dari pluralisme suku-suku tiap pulau, lalu bersatu menjadi anak-anak negara (bangsa).

Pluralisme yang membentuk kita ini menjadi suatu bangsa, tentu karena suatu persamaan nasib. Nasib bahwa kita rakyat miskin dan tertindas, lemah dan terpuruk, belum mapan sejak feodalisme sampai neoliberalisme. Indonesia terlalu banyak anak manusia yang harus ditanggung. Anak-anak berkeliaran di desa-desa, sampah berserakan dimana-mana. Padat penduduk dan sulit dikontrol sosial, inilah kita rakyat miskin Indonesia.

Bung Karno mengatakan, bahwa kemiskinan bangsa Indonesia adalah akibat kebodohan dan kepincangan kebanyakan rakyat kita sendiri akan adanya suatu pergeseran kekuasaan. Dari feodalisme-menjadi neokapitalisme-neoimperialisme. Mana suka manusia hidup dalam terjajah dan tenggelam dalam kemiskinan, tapi kita toh mayoritas legowo-nerimo apa yang kita peroleh sekarang.

Semenjak Bung Karno mengeluarkan Manifesto Marhaenisme, ajaran dari NASAKOM itu sudah diterima sebagai pintu masuk pembebasan yang berujung pada revolusi refresif dan ideologi politik praksis-masuknya paham komunisme di Indonesia. Marxisme adalah jalan gerbang masuk Marhaenisme dan Komunisme ke Indonesia. Dengan dukungan dari kaum buruh dan petani miskin, kaum miskin kota. Ternyata sebanyak itu kaum buruh dan rakyat miskin mau melakukan revolusi di Indonesia.

Tetapi Marhaenisme telah gagal dilanjutkan, revolusi mandek pasca kekalahan PKI. Pembebasan jadi omong kosong. Ratu adil menjadi mitos dongeng anak sebelum tidur. Dengan adanya anak-anak miskin kota yang dimobilisasi preman untuk jadi anarkis dan liberal sepenuhnya. Menjadi manusia eksistensialis yang melakukan kerusuhan, konfrontasi sosial, kaum marjinal yang berani nantang dan mbalelo.

Pembebasan Manusia?

Yabe Lale meredam pembebasan kembali. Setelah ditidurkannya Aru Palaka dalam bumi pertiwi, ditidurkannya pula Marhaen dan Komunisme dalam jantung bumi pertiwi dalam-dalam. Aru Palaka memang pemberontak bagi pemerintah, tapi dia pahlawan bagi kaum Bugis-Bone. Pemersatu Sulawesi yang gagah dan diingat keberaniannya karena memimpin revolusi praksis pembebasan manusia dari perbudakan feodalisme. Pelaku politik praksis-sekutu kaum kolonial.

Aru Palaka sama harunya seperti Untung Surapati-Pasuruan. Seorang pembebas rakyat miskin dari belenggu imperialisme kolonial menjadi Jawa yang merdeka. Dia entah di mana kini, yang jelas kepada bumi pertiwi mereka kembali. Mandat melawan kolonialisme, neokapitalisme memang sungguh berat. Sulit membedakan perjuangan bangsa-perjuangan rakyat. Kadang yang berjuang tentang kebangsaan-lupa akan perjuangan kerakyatan.

Bahwa rakyat masih miskin-miskin, sedang harga sembako kian naik. Kalau kita hidup di Eropa, harga sembako mahal itu hal wajar. Tapi rakyat miskin kita belum siap, sembako naik-perang demonstrasi. Rakyat banyak yang plonga-plongo belum paham keganasan wajah industrialisasi yang sudah menguasai sektor ekonomi secara keseluruhan. Adanya pembebasan oleh Palaka dan Surapati-oleh Bung Karno-oleh Marx dan Engels, tentu untuk pencapaian kemakmuran ekonomi rakyat. Supaya rakyat jadi orang yang berhasil mengatur ekonominya sendiri. Mengalahkan imperialisme orang-orang Eropa supaya tidak mengeruk habis sumber daya alam dan tenaga kerja di sini.

Bung Karno mengatakan, “Kita memang demokrasi, tapi demokrasi kita bukan demokrasi barat. Demokrasi kita adalah (demokrasi ekonomi politik).” Aru Palaka telah lelah, berjuang untuk mencapai keadilan sosial. Surapati telah mati, terkubur, berjuang untuk kemakmuran sosial bagi rakyat miskin perkotaan-rakyat miskin desa.

Yabe Lale menidurkan mereka yang memimpin kebebasan agar berhenti berjuang. Mereka telah lelah, tulisan hanya jadi iklan. Rokok hanya jadi model hidup (bukan pemantik pikiran). Kaum penerusnya berabad-abad hanya jadi kaum globalisasi. Sehingga ekonomi, politik, budaya kita sudah kalah maksimal-kalah total. Kita hanya bisa meniru apa yang industrialisasi imperialisme sudah ciptakan. Tidur saja setelah lelah bekerja, semoga mimpi buruk tidak menghantuimu.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//