Lemahnya Pemahaman Moderasi Beragama di Indonesia, Bercermin dari Kasus Persekusi di Tangsel dan Gresik
Kesalahpahaman tentang moderasi beragama sering kali terjadi karena sering diartikan sebagai suatu sikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar dalam agama.
Oscar Yasunari S.S., M.M.
Dosen Koordinator Pendidikan Agama Katolik dan Dosen Pengampu Mata Kuliah Etika Dasar Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
4 Juni 2024
BandungBergerak.id – Pada 5 Mei 2024, pukul 19.30 WIB, sejumlah mahasiswa Universitas Pamulang tengah menggelar Doa Rosario di dalam kontrakan, di Jl. Ampera Poncol, RT/RW 07/02, Cisauk, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Setelah beberapa menit kegiatan Doa Rosario berlangsung, terjadi tindakan persekusi yang dilakukan oleh segelintir masyarakat. Tindakan persekusi ini diawali dari adanya tindakan provokasi yang diinisiasi oleh RT setempat untuk membubarkan aktivitas Doa Rosario tersebut. Pada saat itu juga, selain tindakan persekusi, terjadi tindakan kekerasan berupa pemukulan hingga penusukan yang menyebabkan dua orang korban luka. Korban luka tersebut adalah seorang mahasiswi dan seorang laki-laki beragama Islam, anak seorang anggota TNI, yang mencoba melindungi dan membela sesama rekan mahasiswa yang beragama Katolik.
Tak lama berselang beberapa hari setelah kejadian tersebut, terjadi lagi peristiwa persekusi pada Senin, 8 Mei 2024, pukul 19.00, di mana seorang ASN, yang berinisial YS membubarkan ibadah malam Kenaikan Yesus Kristus di GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) Benowo, Gresik. Tindakan intoleransi dilakukan oleh sepasang suami-istri dan seorang pemuda terhadap jemaat GPIB Benowo yang sedang melakukan ibadah di salah satu kediaman jemaat di Perumahan Cereme indah. Menurut Kapolsek Cereme, Iptu Andik Asworo, persoalan tersebut sudah diselesaikan secara damai, saling memaafkan dan menghargai dalam suatu pertemuaan yang dihadiri oleh perwakilan jemaat dan warga yang memprotes kegiatan ibadah tersebut.
Menanggapi kasus tersebut, beberapa tokoh masyarakat pun angkat bicara. Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan menganggap kasus tersebut sangat serius. Dewi Kanti menyampaikan rasa empati kepada para mahasiswa dan mahasiswi yang mengalami tindakan persekusi tersebut sehingga mengalami ketakutan dan trauma pasca-persekusi. Beliau menegaskan bahwa Tindakan tersebut harus ditangani secara tepat dan cepat dengan mendasarkan pada hak-hak asasi manusia dan konstitusi. Jika masalah tersebut tidak ditangani dengan baik, maka akan merusak nilai-nilai kebhinekaan dan keberagaman. Kesadaran hidup masyarakat dalam perbedaan di wilayah akar rumput masih sangat memprihatinkan. Hal ini terlihat sangat jelas dalam peristiwa pembubaran Doa Rosario di wilayah Tangerang Selatan oleh Ketua RT terhadap mereka yang berbeda agama. Untuk itu, konstitusi harus ditegakkan dan cara-cara menyelesaikan masalah dengan jalan damai tidak boleh terjadi karena dapat dijadikan preseden bagi pihak lain dalam melakukan kejahatan yang sama serta tentunya akan menyisakan luka yang tidak akan pernah terobati.
Sementara itu, Aan Anshori, Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan dan Koordinator Jaringan Islam Anti Radikalisme, menyesalkan peristiwa pembubaran ibadah GPIB yang terjadi di Gresik dan menilai penyelesaian yang dilakukan dengan cara mediasi tidaklah cukup untuk mencegah peristiwa intoleransi tidak akan terjadi lagi pada masa mendatang. Aan Anshori juga menyatkan bahwa penyelesaian dengan cara mediasi diibaratkan tidak lebih seperti pemadam kebakaran karena tidak sampai pada taraf pencegahan. Lebih jauh Aan Anshori mengatakan bahwa perlunya suatu aksi yang lebih mendasar untuk mengupayakan sikap-sikap yang menumbuhkan toleransi. Upaya yang bisa dilakukan seperti: instilling value (upaya penanaman nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman kepada umat beragama), transferring knowledge (upaya berbagi pengetahuan agar umat beragama lain memiliki pengetahuan terkait pemeluk agama lain), dan encountering others (pembauran antarberbagai umat beragama atau beragam keyakinan yang berbeda dalam berbagai kegiatan). Upaya-upaya tersebut dirasa penting untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antarumat beragama, dan kegiatan-kegiatan lintas agama yang dihadiri oleh umat lintas agama, dapat meningkatkan penghormatan dan pemahaman antarumat beragama.
Baca Juga: Pengalaman Pahit Mendapat Diskriminasi Nilai Pelajaran Agama di Sekolah
Media Massa Diingatkan agar Menghindari Politisasi Agama dengan Menerapkan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman
Rumah Ibadah di Tengah Pusaran Komodifikasi Agama
Moderasi Beragama
Peristiwa-peristiwa intoleransi yang terjadi, seperti kedua kasus di atas, tentunya menjadi catatan bagi masyarakat Indonesia dan juga pemerintah dari tingkat bawah sampai tingkat pusat. Pemerintah pusat, melalui Kementerian Agama Republik Indonesia, sudah mengupayakan berbagai hal untuk mencegah terjadinya sikap-sikap yang intoleran. Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama periode 2014-2019, menetapkan tahun 2019 sebagai “Tahun Moderasi Beragama Kementerian Agama”. Pada tahun yang sama pun Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan tahun 2019 sebagai “Tahun Moderasi Internasional” (“The International Year of Moderation”). Lukman Hakim Sifuddin menyerukan bahwa moderasi beragama menjadi arus utama dalam corak keberagaman masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama dan keyakinan yang sudah menjadi karakter masyarakat Indonesia yang majemuk. Pada kenyataannya, secara tidak disadari beragama secara moderat sudah dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu kala dan tetap dapat diandalkan untuk dipraktikkan pada masa sekarang ini. Indonesia, yang memiliki beragam suku, budaya dan agama merupakan suatu bangsa yang bersifat sangat distictive (istimewa dalam berbagai perbedaannya) dibanding negara-negara lain. Selain enam agama yang diyakini, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, masih banyak Penghayat Kepercayaan yang menganut keyakinan dan kepercayaan dari agama leluhur atau agama-agama lokal yang ada di Indonesia sehingga realitas tersebut tidak bisa dinafikan.
Kesalahpahaman tentang moderasi beragama di masyarakat sering kali terjadi karena moderasi beragama sering diartikan sebagai suatu sikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar dalam agamanya sehingga orang yang beragama secara moderat sering dianggap mempunyai iman yang lemah atau tidak berpegang teguh pada agama yang dianutnya. Bersikap moderat juga sering disalahartikan sebagai suatu tindakan kompromi keyakinan teologis beragama pemeluk agama yang satu kepada yang lain. Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama (Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2019: 14).
Orang yang memahami moderasi beragama pada prinsipnya adalah orang yang sudah selesai dalam kematangan imannya dan memiliki sikap yang inklusif sehingga tidak paranoid terhadap pemahaman akan keyakinan yang berbeda. Moderasi beragama juga dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku yang selalu mengambil posisi di tengah, selalu bersikap adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Sikap hormat pada praktik kehidupan beragama pemeluk lain yang memiliki keyakinan berbeda (inklusif) dan pengalaman pribadi akan agama yang diyakini (eksklusif), harus dilakukan secara seimbang. Orang yang mau membuka diri dan mau menghormati praktik kehidupan beragama pemeluk lain (inklusif), mengandaikan adanya pengetahuan yang komprehensif terkait ritual ibadah umat beragama lain selain agamanya sendiri. Tentu dalam konteks pemahaman yang komprehensif ini dibutuhkan peran tokoh-tokoh agamawan pada agamanya masing-masing untuk memberikan internalisasi nilai-nilai yang universal terhadap jemaatnya melalui dialog-dialog lintas-iman atau melalui forum-forum antarumat beriman yang dibentuk untuk membangun persaudaraan atau menciptakan kerukunan antarumat beriman, seperti Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), atau Forum Lintas Iman (FLI).
Peran Tokoh-tokoh Agama
Peran tokoh-tokoh agamawan yang memberikan pemahaman tentang moderasi beragama dan internalisasi nilai kepada jemaatnya tentukan memberikan kedamaian dalam kehidupan jemaatnya. Para jemaat tentunya menjadi lebih paham bahwa sikap eksklusif dan ekstrem bukanlah suatu hal yang pas untuk diterapkan dalam kehidupan di Indonesia yang beragam dan keragaman suku, ras, golongan, dan agama—suatu keniscayaan sebagai anugerah yang terberi dari Sang Pencipta. Karena keberagaman merupakan suatu yang terberi maka semua manusia yang ada di Indonesia tentunya mau hidup bersama-sama dalam perbedaan agar semua bisa saling mendukung dan melengkapi dengan bersikap toleran dan tercipta suatu harmoni yang didambakan.
Tahun 1982, Paul McCartney, bersama Stevie Wonder, merilis lagu “Ebony and Ivory”, lagu yang menyiratkan makna yang sangat mendalam tentang perbedaaan antar umat manusia yang seharusnya hidup bersama sehingga menciptakan keharmonisan yang begitu indah. Berikut kutipan lagunya (serta terjemahannya):
Ebony and ivory
(Kayu Hitam Dan Gading)
Live together in perfect harmony
(Hidup bersama dalam harmoni sempurna)
Side by side on my piano keyboard
(berdampingan di piano kibor saya)
Oh Lord, why don't we?
(Ya Tuhan, mengapa kami tidak?)
We all know
(Kita semua tahu)
That people are the same wherever you go
(Bahwa orang-orang itu sama ke mana pun anda pergi)
There is good and bad In ev'ryone
(Ada baik dan buruk dalam setiap orang)
We learn to live
(Kami belajar hidup)
We learn to give each other
(Kami belajar saling memberi)
What we need to Survive together alive
(Yang lita butuhkan untuk bertahan hidup bersama)
Lagu “Ebony and Ivory” diciptakan oleh Paul McCartney karena keprihatinannya saat orang sudah tidak lagi menghargai perbedaan atau keragaman, khususnya saat itu mengenai perbedaan warna kulit di mana seharusnya manusia dalam kondisi dan dalam perbedaan apa pun dapat hidup bersama-sama dalam keharmonisan. Laiknya sebuah tut-tut piano (ebony) yang bewarna hitam dan (evory) yang bewarna putih hidup berdampingan bersama sehingga mampu menghasilkan harmonisasi nada indah.
Perbedaan yang menjadi dasar keberagaman bagi umat manusia terjadi karena saat manusia lahir melekat suatu keniscayaan bahwa dirinya different (from others) di mana tidak seorang pun diciptakan sama dengan yang lainnya dan distinctive di mana setiap orang istimewa dalam berbagai perbedaan karena sudah ditentukan oleh Sang Pencipta. Perbedaaan yang ada antarumat manusia haruslah hidup berdampingan untuk menciptakan suatu harmonisasi, laiknya tut-tut hitam dan putih dalam suatu piano yang saling melengkapi untuk menciptakan suatu lagu yang indah dengan harmoni nada yang saling melengkapi. Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya majemuk, terdiri dari beragam suku, agama, dan budaya, merupakan wadah dari keberagaman tersebut. Masyarakat Indonesia tentunya sadar dan menyadari bahwa perbedaan yang ada di Indonesia merupakan keindahan yang harus dikelola dengan sikap toleransi dan pemahaman yang mendalam tentang moderasi beragama.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain mengenai agama