• Cerita
  • Pengalaman Pahit Mendapat Diskriminasi Nilai Pelajaran Agama di Sekolah

Pengalaman Pahit Mendapat Diskriminasi Nilai Pelajaran Agama di Sekolah

Siswa yang bukan beragama mayoritas ada yang mengalami pengurangan nilai mata pelajaran agama karena mendapat nilai tinggi.

Para siswa sedang mendengarkan pengajaran agama Hindu di pasraman, pada Desember 2022. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Yeni Ernita Kusuma Wardani13 April 2023


BandungBergerak.id – Sebut saja K, siswa sekolah negeri di Bandung yang mengaku nilainya mendapat pengurangan nilai saat duduk di kelas XI.  Siswa K beragama Hindu. Saat tiba waktu ujian sekolah, Guru Agama Hindu mengirimkan soal untuk dikerjakan di sekolah.

“Ketika saya melihat nilai agama Hindu sebesar 89 yang diberikan oleh guru Agama Hindu Pasraman saya, tapi saat di  rapor sekolah yang telah digabungkan oleh mata pelajaran lainnya saya hanya mendapatkan 87,” ujar K.

K kemudian memprotes pengurangan nilai yang diterimanya pada wali kelasnya. Wali kelasnya sempat menjanjikan akan mengubah nilai agama K sesuai dengan nilai pemberian guru Agama Hindu. 

“Jawaban beliau  hanya berkata iya dan akan segera di ubah kala nanti pengumuman Eligible (siswa yang memenuhi kriteria untuk mengikuti Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi/SNBP untuk masuk ke Perguruan Tinggi),” ujar K. 

Namun hingga pengumuman SNBP, nilai K tetap tidak berubah.

“Nilai Agama Hindu saya masih tetap 87 dan tidak dapat diubah,” pungkas K.

Baca Juga: NGADU BUKU BANDUNG #2: Jejak Konferensi Asia Afrika di Lima Buku Bandung
Pengalaman Putu Tiwi Melawan Patriarki
Larangan Impor Pakaian Bekas, Pedagang Barang Thrifting Tergencet

Kisah yang hampir sama dialami G, siswa kelas XII salah satu sekolah kejuruan di Kota Bandung. Ia mengaku sering meraih juara, hingga nilai pelajaran Agama Hindu yang diberikan gurunya mendapat nilai hampir sempurna.

“Saya sering mendapatkan juara dalam berbagai bidang. Kala itu, nilai Agama Hindu saya mendapatkan nilai  99 yang nyaris sempurna,” kata  G.

Namun nilai yang dicantumkan dalam rapor berbeda. G bersama orang tuanya ditemani guru Agama Hindu memprotes pengurangan nilai tersebut.

“Orang tua saya protes bersama Guru Agama Hindu saya di Sekolah untuk mempertanyakan nilai agama saya  dari 99 menjadi 95 di rapor,” kata G.

“Lalu jawaban dari pihak sekolah nilai agama di sekolah formal itu paling tinggi sekian, jadi jika nilai siswa yang bukan Islam lebih tinggi harus menyamakan dengan siswa nilai yang beragama Islam.”

Bu W, Guru Agama Hindu siswa G tersebut mengaku kejadian pengurangan nilai untuk siswa beragama Hindu sudah sering terjadi.

“Bahwa kejadian dalam pengurangan nilai untuk siswa agama Hindu sudah sering terjadi dari tahun ke tahun dengan banyak jawaban dari pihak sekolah,” ujar W.

Namun tidak semua mengalaminya. Sebut saja N, seorang Guru Agama Hindu mengaku tidak pernah mengalami siswa didiknya mendapat pengurangan nilai.

“Saya belum pernah mengalami jika siswa Hindu yang saya ajarkan mendapatkan diskriminasi nilai,” ujar N.

Namun ia menyayangkan jika terjadi demikian. Ia menduga ada persepsi yang berbeda dalam indikator penilaian antara guru tersebut dan sekolah. Jika memang demikian, sebaiknya pihak sekolah mengomunikasikan mengenai indikator nilai tersebut agar nilai bisa setara, dan tidak terjebak menjadi tindakan yang diskriminatif.

“Nilai agama itu pemberian dari guru Agama masing-masing, tapi mengapa orang lain harus mengurangi apalagi atas dasar tidak sesuai. Kalau memang siswa-siswa di sekolah tersebut nilai agamanya tidak bagus apakah harus anak-anak lain juga harus disamaratakan seperti itu tidak boleh, apalagi nilai agama itu bersifat sensitif,” ujar N.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//