• Cerita
  • NGADU BUKU BANDUNG #2: Jejak Konferensi Asia Afrika di Lima Buku Bandung

NGADU BUKU BANDUNG #2: Jejak Konferensi Asia Afrika di Lima Buku Bandung

Para penulis telah memberikan perspektif yang kaya dari peristiwa KAA. Konferensi Asia Afrika mendorong masyarakat untuk bergerak dan berdampak.

Para narasumber Diskusi Ngadu Buku Bandung bertajuk Anak Muda Menulis Konferensi Asia-Afrika di Museum Konperensi Asia Afrika, Bandung, Sabtu (8/4/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman11 April 2023


BandungBergerak.id - Setiap tahunnya, pelbagai lapisan masyarakat maupun komunitas menyambut hangat peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Kota Bandung. Pergelaran Ngadu Buku Bandung #2 yang digelar BandungBergerak.id, Toko Buku Bandung, dan Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika menjadi salah satu acara yang menyambut momen bersejarah itu.

Diskusi Ngadu Buku Bandung #2 yang bertajuk “Anak Muda Menulis Konferensi Asia Afrika” mempertemukan lima penulis yang pernah menerbitkan buku tentang peristiwa KAA. Acara yang berkaitan dengan peringatan KAA yang ke-68 tahun ini digelar di Museum Konferensi Asia Afrika, Sabtu (8/4/2023).

Kelima penulis itu di antaranya: Firas Fauziyyah (The Bandung Connection), Adew Habsta (Bandung Ibu Kota Asia Afrika), Sulhan Syafii (Di Balik Layar: Warna-warni Konferensi Asia Afrika 1955 di Mata Pelakunya), Alex Ari (Pernik KAA 2015: Serba-serbi Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika), dan Pramukti Adhi Bhakti (Tadarus The Bandung Connection).

Peran mereka telah memberikan perspektif yang kaya dari peristiwa KAA. Melalui cerita-cerita yang tertulis di dalam buku-buku yang mereka terbitkan, teranglah bahwa KAA ini bukan hanya soal konferensi antarbenua yang melibatkan 29 negara pada tahun 1955 lalu. Konferensi ini memberi harapan dan meneguhkan nilai-nilai yang menjadi pegangan masyarakat untuk bergerak menjadi lebih baik. Lebih berdampak.

Dahlia Kusuma Dewi selaku Kepala Museum KAA mengatakan, konferensi KAA merupakan tonggak sejarah Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia. Ia menegaskan bahwa peristiwa konferensi tersebut juga jadi cerminan bagi bangsa Indonesia dalam menciptakan politik yang bebas aktif dan cinta damai.

“KAA itu sangat penting karena menjadi tonggak sejarah Indonesia dan Bandung. Ini (Konferensi Asia Afrika) jadi barang bukti bagi politik Indonesia yang bebas dan aktif,” kata Dahlia Kusuma Dewi, di sela-sela acara Diskusi Ngadu Buku Bandung #2.

Dari Buku Babon hingga Melahirkan Buku Lainnya

Buku The Bandung Connection yang ditulis oleh Roeslan Abdulgani, mantan Sekjen Kementerian Luar Negeri Indonesia, merupakan buku wajib dibaca apabila ingin mengetahui seputar perhelatan besar Konferensi Asia Afrika pada April 1955. Bahkan buku ini menjadi semacam buku babonnya Sahabat Museum KAA. Tidak sedikit pegiat museum yang hafal dengan detail buku The Bandung Connection hingga memegang teguh nilai-nilai yang termuat di dalamnya.

Firas Fauziyyah, sahabat museum, menilai buku tersebut penting karena bukan hanya memuat seputar peristiwa KAA pada 1955, melainkan menyampaikan kepada setiap generasi mendatang untuk meneruskan semangat Konferensi Asia Afrika agar tidak pernah padam.

“Pak Roeslan menegaskan bahwa anak muda itu harus memiliki sikap dan identitas. Nilai-nilai yang termuat dalam Dasasila Bandung itu bukan satu nilai yang punya jangka waktu tertentu. Tidak. Nilai itu bermakna dan relevan untuk sepanjang zaman,” ucap Firas Fauziyyah, saat diskusi.

Sisi unik lainnya dari buku The Bandung Connection adalah terdapat detail-detail cerita yang tidak disebut dalam buku pelajaran mana pun. Gedung Merdeka bocor, misalnya, atau kisah Roeslan Abdulgani yang berseteru dengan Soekarno saat membahas makanan apa saja yang cocok untuk dihidangkan kepada para tamu negara.

Buku The Bandung Connection cukup sering dibahas oleh sejumlah komunitas literasi di Bandung, di antaranya Asian Africa Reading Club (AARC) yang beberapa kali melakukan tadarusan buku The Bandung Connection sampai tamat. Kegiatan tadarusan buku kemudian mengilhami Pramukti Adhi Bhakti, pegiat AARC, untuk membundel catatan-catatan selama tadarusan menjadi sebuah buku Tadarusan The Bandung Connection.

“Awalnya catatan-catatan tadarusan ini saya tayangkan di blog pribadi. Lalu kepikiran untuk menerbitkannya jadi buku. Tapi karena masih sedikit, saya kemudian menambahkannya dengan tulisan-tulisan saya yang lain seperti ziarah ingatan dan ziarah lapangan,” tutur lelaki yang akrab dipanggil Pram.

Selain Pram, ada satu buku lagi yang memberikan perspektif yang cukup berbeda dan kaya mengenai KAA karena isinya menghimpun esai, cerpen, puisi, karikatur hingga ilustrasi, yaitu buku Bandung Ibu Kota Asia-Afrika. Salah satu penulisnya, Adew Habsta, menyebut meski buku ini beragam isinya tapi tetap ditulis dengan fokus pada nilai-nilai KAA.

Baca Juga: Ngadu Buku Bandung, Ruang Temu Pegiat Literasi di Bandung
RESENSI BUKU: Love is The Answer (2022), Masih Adakah Cinta dalam Berpikir Menang-menang?
BUKU BANDUNG #64: Cinta Anak Muda dalam Kehidupan Masyarakat Sunda melalui Cerita Detektif Ahmad Bakri

Peserta Diskusi Ngadu Buku Bandung bertajuk Anak Muda Menulis Konferensi Asia-Afrika di Museum Konperensi Asia Afrika, Bandung, Sabtu (8/4/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Peserta Diskusi Ngadu Buku Bandung bertajuk Anak Muda Menulis Konferensi Asia-Afrika di Museum Konperensi Asia Afrika, Bandung, Sabtu (8/4/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Konferensi Asia Afrika dari Sudut Para Pelakunya

Sekurangnya ada dua buku tentang Konferensi Asia Afrika yang memberikan sudut pandang lain dari para pelaku atau panitia penyelenggaranya, yaitu buku Di Balik Layar: Warna-warni Konferensi Asia Afrika 1955 di Mata Pelakunya yang ditulis oleh Sulhan Syafii, mantan wartawan Gatra, dan buku Pernak-pernik KAA 2015: Serba-serbi Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika yang ditulis oleh Komunitas Aleut!.

Sulhan Syafii mengungkapkan latar belakang di balik penerbitan buku tersebut adalah hasil dari pemikirannya yang penasaran tentang siapa orang-orang yang terlibat di balik terselenggaranya hajat besar KAA pada tahun 1955. Ia meyakini ada warga kota yang kisah-kisahnya patut untuk ditulisankan.

“Saya ingin mengambil pernak-pernik yang selama ini terabaikan, yaitu kisah orang-orang di balik suksesnya Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955,” ucap Sulhan dalam pemaparannya.

Berbeda dengan Sulhan, kawan-kawan di Komunitas Aleut! pada peringatan ke-60 KAA di tahun 2015 melakukan reportase rutin setiap harinya dengan cakupan waktu mulai dari persiapan acara, puncak peringatan, hingga pasca kegiatan. Artinya kegiatan yang dilakukan oleh Komunitas Aleut! semacam reportase yang dilakukan oleh warga atau disebut jurnalisme warga.

Salah satu penulisnya, Alex Ari menuturkan kegiatan tersebut merupakan inisiatif Aleut untuk merespons peristiwa Konferensi Asia Afrika sekaligus jadi wadah belajar untuk para pegiatnya belajar membuat berita, memvalidasi data, mendokumentasikan, hingga mempublikasikan.

“Buku ini juga mencatat bagaimana kisah orang-orang di balik layar yang juga terlibat menyukseskan KAA. Aleut memposisikan sebagai warga kota yang meliput acara itu. Jadi mereka menghasilkan karya jurnalisme warga,” tutur Alex.

Baik Sulhan maupun Komunitas Aleut! telah merekam jejak pernak-pernik lain di balik terselenggaranya KAA. Bukan melulu menyoal sejarah, tapi lebih dari itu mereka telah menunjukkan keterlibatan aktif warga kota untuk memenuhi harapan-harapan baik bagi semua orang.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//