Pengalaman Putu Tiwi Melawan Patriarki
Diskusi buku Melawan Patriarki karya Putu Tiwi membedah pandang perempuan yang terepresi oleh budaya bahasa yang dibentuk oleh budaya patriarkal yang maskulin.
Penulis Fryan Septiansyah11 April 2023
BandungBergerak.id – Buku Melawan Bahas Patriarki awalnya berawal dari tugas skripsi yang dikerjakan Putu Tiwi, penulisnya. Di dalam buku tersebut, ia mengolaborasikan teori-teori feminisme dengan pengalamannya menerima pelecehan seksual secara verbal. Ia berpijak pada teori perbedaan sosial dan feminis postmodern yang masih berada dalam satu kerangka pemikiran.
Putu memilih pemikiran Luce Irigaray, pemikir Prancis beraliran Post Strukturalis yang berangkat dari keberadaan bahasa dan budaya dalam lingkungan dunia subjek. Luce Irigay banyak mengambil peran dalam perkembangan feminisme postmodern pada ranah bahasa dan budaya. Ia membedah pandang perempuan yang terepresi oleh budaya bahasa yang dibentuk oleh budaya patriarkal yang maskulin.
Buku tersebut dibedah dalam diskusi santai di Kedai Jante, pada Selasa (4/4/2023) lalu dengan menghadirkan Putu. Ia ditemani Mahasiswa Sastra Indonesia dari UKSK, Adinda Chaniavatov serta Revi Nurmala, seorang aktivis perempuan yang kali ini berperan sebagai moderator. Diskusi dimulai pukul 4 sore sambil mengisi waktu ngabuburit menunggu berbuka puasa.
Putu bercerita dalam buku yang dikerjakan sejak tahun 2019 tersebut banyak dibantu oleh dosennya dalam pembuatan konsep buku tersebut. Buku tersebut diterbitkan pada 2023 lalu oleh penerbit Semut Api. Ia mengaku banyak sekali menumpahkan emosinya dalam buku tersebut.
"Rasa kecewa, marah, dan kesulitan untuk mengekspresikan rasa marah aku akan pengalaman pelecehan seksual secara verbal, yang juga pernah menimpa aku," ujar Putu.
Putu bercerita tentang pengalaman sendiri saat mengalami seksual harassment, cat calling, serta kata-kata bertendensi seksual yang berusaha merendahkannya di ruang publik. Hal-hal semacam itu kerap diterima oleh Putu ketika ia bersosialisasi di lingkungan masyarakat.
"Dulu sempat kerja d ibagian HRD, dan ternyata posisi HRD belum cukup buat aku punya kekuatan buat berbicara, karena masih banyak yang beranggapan bahwa seorang perempuan terlalu ramah,” ujar Putu.
Selanjutnya, Adinda berbicara mengenai kaidah bahasa serta hal-hal yang terkandung di dalamnya. Ahli bahasa telah jauh-jauh hari mengungkap ketidakadilan dalam bahasa, tepatnya bias gender di dalamnya. Salah satu contoh kasusnya ialah ketidakadilan gender, laki-laki sering kali jadi subjek yang aktif dalam suatu contoh kebahasaan.
"Contoh bentuknya ialah ‘Budi adalah pilot’, sering kali contoh-contoh seperti itu kita jumpai dalam buku-buku pelajaran, padahal pilot itu profesi universal gitu,” ujar Adinda.
Sebuah bahasa juga menangkap fakta-fakta sosial yang kerap terjadi di ruang lingkup masyarakat. Adinda berpesan bahwasanya perempuan juga bisa menjadi subjek yang aktif dan tidak tersub-koordinasi.
"Mungkin contohnya dalam karya sastra, alih-alih membuat tokoh perempuan yang tengah menanti kepada calon jodohnya, atau penantian lainnya, mengapa tidak dibuat perempuan itu 'berusaha' juga dalam karya sastra?" ujar Adinda.
"Perempuan perlu lebih bisa mengekspresikan apa yang ia pikiran. Bukan berarti melawan pemikiran laki-laki, tapi pada dasarnya perempuan perlu untuk lebih proaktif dalam berpendapat,” tambahnya.
Baca Juga: Larangan Impor Pakaian Bekas, Pedagang Barang Thrifting Tergencet
RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #5: Suci dan Takjil Ramadan
Menggugat Makna dalam Diam, Cara Pantomim Mengekspresikan Trauma
Berbagi Pengalaman
Revi yang memandu diskusi kemudian membuka sesi diskusi serta bincang pengalaman. Beberapa peserta diskusi di Kedai Jante yang sedari awal begitu khusyuk mendengarkan pembicaraan yang ada turut membagikan kisah mereka masing-masing mengenai ketidakadilan yang pernah mereka alami. Salah satunya ialah Syifa, mahasiswi seni tari yang membagikan pengalamannya.
Syifa bercerita mengenai jurusannya yang mayoritas diisi oleh perempuan, namun hal tersebut malah memunculkan sebuah aturan yang terkesan absurd, yaitu mengenai ketua himpunan hanya boleh dijabat oleh laki-laki saja. Otoritas yang membuat keputusan tersebut berdalih bahwasanya laki-laki yang terhitung sedikit di jurusan tari tetap bisa memimpin sebuah organisasi.
Kisah tersebut mendapat tanggapan dari Adinda, ia berpesan kepada Syifa untuk membahasakan apa yang diri kita inginkan. Penting bagi kita untuk mengekspresikan apa yang ada dalam benak kita, selain itu ia berpesan untuk melakukan musyawarah dengan menyiapkan alasan yang logis serta rasional.
"Suarakan apa yang kita inginkan, dengan alasan yang serasional mungkin. Karena bagiku kalau ruang akademis semestinya harus objektif. Jadi harus mengandalkan argumen yang ilmiah. Jadi perihal latar belakang gender, ekonomi, dan lainnya itu tidak harus jadi penting", Adinda menanggapi.
Di akhir acara, bagi mereka yang sudah menyampaikan kisahnya masing-masing serta ikut berdiskusi mendapat buku Melawan Patriarki. Bagi yang tertarik membeli buku Melawan Patriarki ini bisa dipesan langsung ke penulis buku bersangkutan, Putu Tiwi.