• Cerita
  • Larangan Impor Pakaian Bekas, Pedagang Barang Thrifting Tergencet

Larangan Impor Pakaian Bekas, Pedagang Barang Thrifting Tergencet

Larangan impor pakaian bekas berimbas pada aktivitas pedagang di surga thrifting Bandung, Pasar Cimol Gedebage. Merembet ke penjual pakaian bekas via toko online.

Pasar Cimol Gedebage telah memperpanjang umur pakaian. Pakaian-pakaian bekas bertemu dengan pemilik barunya di pasar ini.

Penulis Tim Redaksi6 April 2023


BandungBergerak.id – Dua hari sebelum Ramadan yang jatuh tanggal 23 Maret 2023, pedagang pakaian bekas ramai-ramai menutup kiosnya di Cimol Gedebage. Bukan karena larangan impor pakaian bekas yang belum lama di umumkan pemerintah, tapi sengaja untuk munggahan menyambut Ramadan. Hari pertama Ramadan, pedagang sudah membuka kiosnya seperti biasa. Namun, pedagang pakaian bekas di sana ketar-ketir.

Pantauan BandungBergerak.id pada Kamis, (29/3/2023), seluruh kios-kios di pasar ini sudah efektif berjualan. Terpantau pula pengunjung-pengunjung yang berkeliling melihat-lihat pakaian bekas, ada yang sudah menenteng plastik kresek berisi pakaian yang sudah dibeli.

Rizky (22 tahun), pedagang jaket dan sweater di Cimol Gedegabe mengaku, pengunjung yang datang pada Ramadan ini relatif sepi. Biasnya sudah banyak yang datang berburu pakaian bekas untuk Lebaran. Ia menduga kebijakan pemerintah yang melarang impor pakaian bekas musababnya.

“Sebagai pedagang cuma cari buat kehidupan sehari-hari, apalagi untuk menghadapi bulan Ramadan kan. Apalagi dapat berita begini ya sekaranglah kena imbasnya, makin sepi ke sini-sininya,” ujar Rizky pada BandungBergerak.id ketika ditemui di kiosnya menjelang sore.

Ia mengaku dari pagi sampai menjelang sore, baru sekitar 10 potong jaket atau sweater yang laku terjual. Seluruh stok jualannya adalah barang impor. Hingga kini, di kiosnya belum masuk stok baru karena larangan impor pakaian bekas yang mencuat.

Rizky berpendapat anggapan thrifting mematikan UMKM tidaklah benar. Thrifting lebih diminati sebab harganya yang lebih murah, beda dengan barang yang baru. Namun dengan thrifting pembeli bisa mendapatkan pakaian ori. Selain itu ia juga menegaskan bahwa thrifting menjual barang bekas yang laik jual. Sehingga menurutnya thrifting tidak berpengaruh banyak terhadap penurunan daya beli produk UMKM.

“Harapannya di Ramadan ini bisa lebih lancar lagi kayak sebelumnya,” harapnya.

Baca Juga: RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #5: Suci dan Takjil Ramadan
Menggugat Makna dalam Diam, Cara Pantomim Mengekspresikan Trauma
Ramadan Pertama Mahasiswa Perantau di Bandung
Jangan-jangan di Bandung Banyak Reklame tak Berizin, Mudah Roboh, dan tidak Membayar Pajak?

Stok Pakaian Bekas Impor Berkurang, Pengunjung Menurun

Pedagang-pedagang di Cimol Gedebage memanglah mendapatkan pakaian bekas impor tersebut bentuk bal. Namun, pedagang tidak mengetahui dengan pasti siapa importirnya.

“Jadi kita belanja ini ada yang nawarin barang, gak tau apa itu importir apakah itu agen apakah calo. yang penting mereka menawarkan barang dan lokasi kalau cocok barang kita beli,” beber Ketua pedagang Cimol Gedebage, Rusdianto (54) kepada BandungBergerak.id ketika ditemui di lapak dagangannya.

Terkait larangan impor pakaian bekas sudah menjadi kebijakan pemerintah dan pedagang harus patuh dengan itu. Namun ia menilai bahwa pemerintah tidak melarang pedagang untuk menjual barang bekas. Apalagi gedung yang ditempati di Gedebage merupakan relokasi pemerintah yang dikhususkan untuk menjual pakaian bekas.

Namun Rusdianto mengakui, kebijakan larangan impor pakaian bekas berpengaruh pada berkurangnya stok barang pedagang. Ia juga menilai secara tidak langsung pemerintah akan menutup usaha ini. Meski begitu, menurutnya pemerintah harus mencarikan solusi bagi pedagang agar tidak menganggur.

“Karena kami di sini juga akan mengurangi pengangguran khususnya di Kota Bandung. Dan kami mempekerjakan orang mulai dari yang berpendidikan sampai yang tidak berpendidikan,” lanjutnya yang dikelilingi pajangan jaket-jaket baru dagangannya.

Selain itu, kebijakan ini juga mengakibatkan penurunan jumlah pengunjung. Beberapa pengunjung, lanjut Rusdianto, khawatir ketika sedang berbelanja di pasar Cimol Gedebage kemudian dilakukan sidak. Pernyataan Presiden dan Menteri Perdagangan, serta kabar penyitaan 200 bal dari Pasar Gedebage juga secara tidak langsung mempengaruhi penurunan jumlah pengunjung.

Liburnya pedagang sebelum Ramadan menguatkan dugaan itu. Ia meyakinkan aktivitas thrifting di Cimol Gedebage sudah berjalan seperti biasa.

“Kami himbau kepada seluruh penggemar-penggemar thrifting atau konsumen-konsumen yang ada di luar kota Bandung untuk datang ke pasar Cimol Gedebage karena sudah asik seperti semula lagi,” ujarnya.

Rusdianto sudah berjualan pakaian bekas sejak 26 tahun yang lalu, sejak zaman pemerintahan Soeharto. Ia memiliki beberapa lapak kios di pasar Cimol Gedebage yang menjual berbagai pakaian bekas, mulai celana, kemeja, hingga kios yang khusus menjual pakaian baru.

Ia mengungkapkan sejak beberapa tahun ke belakang memang sempat ramai pula soal pakaian bekas yang disebut-sebut membawa virus flu burung, virus SAR, hingga mengandung bakteri dan jamur. Isu tersebut ramai ramai dibicarakan sebelum ramai diberitakan soal larangan impor pakaian bekas.

Namun Rusdianto menampik. Ia berkilah, jika pakaian bekas impor tersebut berbahaya bagi kesehatan maka para pedagang yang akan pertama kali terdampak. “Alhamdulillah (tidak berdampak), sampai anak-anak kecil kami juga yang berada di pasar tidak pernah terjangkit penyakit yang diisukan,” bebernya.

Ia mengaku bahwa pedagang-pedagang tidak egois dengan menyatakan bahwa pakaian bekas sepenuhnya tidak mengandung bakteri atau virus. Pedagang di Cimol Gedebage menurutnya selama ini melakukan proses sterilisasi sebelum menjual pakaian bekas. Dengan proses ini diharapkan dapat menghindari resiko penyakit yang dapat menjangkit pembeli.

Berimbas pada Penjualan Pakaian Bekas Impor via Daring

Anita Novianti (25 tahun), harap-harap cemas dengan mulai dilarangnya peredaran baju bekas impor oleh pemerintah. Ia sudah mulai mendapat peringatan di toko daringnya di salah satu e-commerce untuk menghapus barang-barang yang ada di etalase toko. Alasannya karena pemerintah melarang penjualan baju bekas.

“Sudah ada peringatan di Shopee kayak ‘peringatan dilarang pemerintah untuk menjual barang-barang impor gitu’,” ungkapnya ketika berbincang dengan Bandungbergerak.id, Selasa (21/3/2023).

Anita sudah lama menggantungkan pendapatan dan penghasilan sehari-harinya dari penjualan pakaian bekas yang ia ambil dari kawasan Pasar Cimol, Gedebage. Berjualan baju bekas sudah ia lakoni sejak masih duduk di semester 5 ketika kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung sekitar tahun 2019 akhir. Berawal dari iseng, setelah ditekuni akhirnya lapaknya bertumbuh dan berkembang pesat yang hingga kini sudah mendapat 90 ribu lebih pengikut di Instagram.

Tak hanya peringatan di akun toko online, beberapa akun pedagang yang memasarkan pakaian thrifting di Instagram juga telah banyak yang banned. Ia mengaku kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Semestinya pemerintah tak langsung melakukan penutupan akun, karena akun Instagram masih dapat digunakan untuk penjualan barang lainnya jika memang penjualan baju bekas telah dilarang. Ia dan beberapa pelaku usaha yang sama akhirnya menyiasati dengan mengganti nama akun Instagram agar tidak terlacak dan tidak terkena banned.

“Terus nge-private akun juga, karena emang soalnya pemerintah rada gila juga gitu ya tiba-tiba nge-banned akun-akun yang udah berpuluh puluh ribu  followers,” ungkapnya.

“Karena mau gak mau kita juga ngak mau akun thrif-nya tiba-tiba hilangkan itu bisa diganti jadi apa kalau emang thrif kalau udah gak ada. jadi kita antisipasi para seller di Instagram tuh ganti nama semuanya.”

Anita sendiri mengaku keberatan dengan sikap pemerintah yang melarang peredaran dan penjualan baju bekas. Karena baginya membuat brand baru dan produksi baju sendiri itu tak mudah, butuh modal yang cukup besar. Sementara jika menjual pakaian trifthing butuh modal yang tak begitu besar.

Ia mengaku dari hasil penjualan baju bekasnya ia bisa membayar biaya kuliah, biaya kosan dan mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Sehingga ia berharap agar penjualan baju bekas tetap ada.

“Aku harapnya harusnya masih ada, karena emang thrifting-kan dari dulu, sebenarnya udah ada,” ungkapnya.

Pakar Menilai Aksi Pemerintah Berlebihan

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi menilai aksi pemerintah terlalu berlebihan bereaksi dengan membakar atau menyita barang-barang pakaian impor bekas. Menurutnya hal itu terlalu kekanak-kanakan.

Seharusnya barang yang sudah masuk bisa segera dipasarkan, karena hal itu menyangkut pedagang kecil yang sudah mengeluarkan modal. Menurutnya tak bisa serta-merta ditutup, apalagi di razia.

“Saya kira mereka pedagang dan mereka juga sudah mengeluarkan biaya kan gitu ya itu satu yang kedua tidak ada sosialisasi juga dari pemerintah yang memulai tiba-tiba aja kan begitu,” ungkapnya.

Langkah pemerintah dinilai terlalu reaktif dan emosional tanpa ada solusi yang seharusnya bisa dilakukan. Barang yang sudah masuk diberikan jangka waktu untuk diedarkan atau dijual. Dan jika merasa mengganggu industri teksil dalam negeri seharusnya ada solusi lain seperti memberikan insentif kepada pelaku UMKM agar mampu bersaing.

“Ini kan narasi pemerintah itu menurut saya kekanak-kanakan ya seperti dapat menyebarkan penyakit gitu ya. Saya kira banyak solusi sebenarnya tapi yang paling penting adalah bagaimana mereka bisa membangun industri UMKM kita yang bisa berdaya saing.”

*Reportase ini ditulis oleh Awla Rajul dan Emi La Palau

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//