Rumah Ibadah di Tengah Pusaran Komodifikasi Agama
Dinamika yang berlangsung dalam komodifikasi agama menunjukkan daya tarik agama sebagai obyek budaya berakar dalam imaji diri yang lazim pada masyarakat konsumen.
Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
18 April 2024
BandungBergerak.id – Bila kita membaca aksi pungutan liar parkir di Masjid Al Jabbar Gedebage sebagai ikon wisata religi Tatar Sunda, dari kacamata komodifikasi agama sungguh asyik dan menarik.
Pasalnya, ikhtiar menghadirkan Masjid Raya Provinsi Jawa Barat sebagai pusat kegiatan (dakwah, belajar) keagamaan; upaya mengomersialkan agama (simbol-simbol keagamaan) menjadi komoditas melalui wisata religi bukan datang dari umat, masyarakat, melainkan dari pemerintah, pemuka agama.
Ingat, aktor yang mendorong proses komodifikasi agama pada wisata religi bukanlah muncul dari inisiatif masyarakat secara langsung, tapi digagas dari pemerintah (provinsi Jawa Barat).
Ihwal nilai-nilai yang dikomodifikasikan bukanlah budaya lokal, tradisi leluhur, tapi agama (Islam), acap kali dipertentangkan, dibenturkan dengan kondisi yang ada.
Baca Juga: Masjid Swafoto
Ramadan dalam Pusaran Komodifikasi Agama
MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #3: Sirene, Pupujian dan Imsak
Merayakan Budaya Konsumtif
Selama ini umat Islam di Indonesia beranggapan komodifikasi agama hanya muncul dalam bentuk perayaan konsumsi massa pada hari raya keagamaan (seperti saat bulan Ramadan, Idul Fitri, Lebaran, Idul Adha) dan fenomena mereka yang menyebut diri ulama, ustaz, penceramah agama yang notabene menganjurkan umat bersikap sederhana dan menahan diri, tapi dai seleb itu malahan dengan bangga menjadi bintang iklan untuk produk konsumsi di layar televisi, spanduk, dan papan reklame.
Komodifikasi agama bisa ditelaah dalam bentuk komodifikasi zakat dan haji (umroh) yang dijadikan bisnis untuk mengeruk keuntungan dari beberapa kelompok tertentu dengan memanfaatkan kepolosan dan kebaikan hati umat Islam.
Dalam bukunya, Consuming Religion, Vincent Miller menegaskan bahaya nyata yang dilakukan oleh budaya konsumen itu sudah menjangkiti segenap kapasitas kita untuk menerima apa yang bernilai.
Menurutnya, konsumerisme tidak hanya menawarkan nilai-nilai alternatif, tapi secara halus menjerat kita dalam sebuah jaringan tafsir konsumen dan keterlibatan dengan semua sistem nilai, termasuk yang kita miliki.
Dinamika yang berlangsung dalam komodifikasi agama menunjukkan bagaimana daya tarik agama sebagai obyek budaya berakar dalam imaji diri yang lazim pada masyarakat konsumen.
Dalam budaya konsumen, diri (self) telah semakin terputus dari bentuk-bentuk tradisional yang semula menyediakan sumber identitas dan makna. (Idi Subandy Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad, 2014:23)
Tantangan Bisnis Agama
Pattana Kitiarsa menjelaskan komodifikasi agama itu memasukkan agama ke dalam pasar dan mengubah sesuatu yang suci menjadi sesuatu yang diperdagangkan. Dengan demikian, fenomena komodifikasi agama seperti ini dapat dilihat sebagai penyesuaian dan respons agama terhadap penetrasi kapitalisme global.
Memang komodifikasi agama bersekutu dengan dakwahtainment. Kitiarsa, berpendapat komodifikasi agama adalah suatu "konstruksi sejarah dan budaya yang kompleks", yang tidak mengharuskan datangnya "kelesuan" atau bahkan "menghasilkan bentuk-bentuk dan gerakan-gerakan religius baru" yang melawan kepercayaan dan praktik yang sudah terlembaga dari organisasi-organisasi religius.
Komodifikasi ini dinilai mengubah agama menjadi barang yang dapat dipasarkan, membawanya ke dalam berbagai skala dan mode transaksi pasar. Sofian mencatat, dalam kasus dakwahtainment Indonesia, sangat jelas bahwa komoditas di sini adalah Islam, dan konsumen yang menjadi sasaran adalah kelas menengah Muslim Indonesia yang sedang berkembang.
Bagi Greag Fealy, proses komodifikasi agama, dalam Islam, bukan hanya fenomena meluasnya "konsumsi Islami", tetapi juga mencerminkan meningkatnya religiusitas di Indonesia dan konsumsi yang meningkat itu dengan segala keunggulan produk-produk Islami mendorong proses Islamisasi lebih jauh.
Dakwahtainment dianggap tidak sekadar hiburan, tetapi ada nilai ibadah, yakni mendakwahkan Islam. Berkat "persekutuan erat" antara beribadah dan bisnis, dakwahtainment sejak awal mendapat penerimaan yang sangat besar dari komunitas Muslim. (Media Zainul Bahri, 2022:356)
Menguatnya komodifikasi agama sebagai bagian dari ekspresi keberagamaan di mata Greag Fealy, setidaknya ada dua hal yang paling menonjol, yaitu munculnya perilaku pietistik dan berkembangnya bisnis berbasis agama. Keduanya merupakan fenomena baru yang paling menonjol dan mampu menciptakan pasar tersendiri. Ternyata berkembangnya teknologi informasi internet telah memunculkan kemandirian dalam memahami paham keagamaan.
Dalam pandangan Nadirsyah Hosen, www.google.com telah menjadi "kiai baru" yang menyediakan fatwa keagamaan, sehingga pola relasi keberagamaan semakin terbuka. Di satu sisi situs ini dapat memfasilitasi publik untuk memahami agama secara lebih mendalam, tetapi di sisi lain juga menjadi tantangan tersendiri.
Pasalnya, fatwa tidak hanya lahir dari proses pengkajian kolektif (al-jama'i), tetapi juga bisa lahir dari dunia antah berantah, yang keabsahannya dan korelasi kontekstualnya sangat berbeda dari paham keagamaan dan keragaman budaya di Tanah Air.
Walhasil, ekspresi keagamaan akan memberikan corak baru, yang secara nyata makin menantang semua pihak untuk melakukan upaya-upaya strategis dan kreatif, terutama dalam rangka mensinergikan antara konteks historis dan realitas kekinian. Jika pada masa lalu ekspresi keagamaan sangat ditentukan oleh latar historis dan kultural, yang menyebabkan keragaman selalu hadir dan direkonsiliasi melalui semangat kebangsaan. (Zuhairi Misrawi, 2010:17).
Dalam konteks wisata religi, maraknya aktivitas kunjungan ke rumah ibadah, Masjid merupakan proses kontruksi budaya menjadi bagian (tahapan, proses) komodifikasi agama (budaya) yang bertujuan untuk kepentingan ekonomi, meningkatkan taraf hidup masyarakat sejahtera, adil dan bahagia.
Dengan demikian, rumah ibadah, masjid beserta wisata religi pada akhirnya tidak bisa dipisahkan dari ruang publik. Sejatinya, tumbuh suburnya pembangun rumah ibadah, Masjid menjadi ruang perjumpaan autentik yang mempererat persaudaraan, meneguhkan toleransi, dan mengokohkan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Sudah saatnya umat beragama terhindar dari perilaku komodifikasi agama yang terkesan formalitas simbolis dengan hanya mengedepankan kamuflase dan pencitraan semata. Semoga.
* Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang agama dan keberagaman.