MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #3: Sirene, Pupujian dan Imsak
Lantunan Al-Quran, selawat, sirene, pupujian, nadoman, beduk, kohkol selama Ramadan, termasuk penentuan imsak menjadi bukti harmonisasi budaya Sunda dengan Islam.
Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
5 April 2024
BandungBergerak.id – Bila waktu sahur tiba, Aa Akil (anak kedua, kelas 3 SD) pernah bertanya, "Bu kapan waktunya imsak!" Istri menjawab, "A, nanti kalau ada suara sirene itu sudah waktunya imsak. Atau pemberitahuan imsak, imsak, imsak. Ayo teruskan makan dan minumnya. Jangan lupa baca doa puasa ya!"
Memang waktu imsak biasanya ditandai dengan suara sirene, lantunan ayat suci Al-Quran, selawat, pupujian, nadoman, bedug, dan kohkol.
Baca Juga: Ramadan Selfie
MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #1: Nyekar, Kuramas, dan Botram
MERAWAT ZIARAH INGATAN RAMADAN #2: Dogdog, Kohkol, dan Sahur
Bubuka Sahur
Untuk di kampung halamanku yang terkenal dengan batu akik pancawarna, ijo ohen dan edong. Tibanya waktu imsak selalu diberitahukan oleh marbot Masjid Darussalam dengan suara dan ucapan yang khas.
Masih segar dalam ingatan, ketika Mang Ase atau Mang Atam yang bersahaja mengumumkan "imsak" lewat toa masjid.
Trong, trong, trong…Dug, dug, dug (suara kohkol, bedug)
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah hiladi ahyana, badama amatana wailahim nusur (doa bangun tidur)
"Waktos nunjukkeun tabuh 3 atau 4, mangga kapalawargi sadayana nu hente acan gugah, gugah, gugah, sahur, sahur, sahur!"
Menjelang 5 menit lagi waktu imsak, misal 04.30 WIB, "Waktos ka imsak kantun 5 menit deui!"
Hatta 1 menit jelang imsak dibewarakan dengan tegas dan jelas. "Waktos ka imsak kantun 1 menit deui!" dilanjutkan dengan, "Imsak, imsak, imsak! Parantos lekasan tina tuang leueut sareng semoking. Hayu urang angkat ka masjid kanggo ngalaksanakeun natepan subuh berjamaah!.
Waktu imsak merupakan pengurangan 10 menit dari waktu Subuh (misal pukul 04.30 WIB). Ingat, waktu imsak lahir dari ikhtiar para ulama terdahulu atas sikap kewaspadaan, kehati-hatian dalam mengamalkan (menetapkan awal) ibadah puasa sejak sahur, masuk fajar, hingga terbenamnya matahari.
Selama 10 menit dari waktu imsak ke salat Subuh biasanya digunakan marbot untuk pupujian, nadoman sebagai ajakan untuk melaksanakan salat berjamaah, pengingat agar terus beribadah, meningkatkan kualitas iman dan takwa; ungkapan kerinduan (kecintaan) umatnya terhadap Rasulullah SAW. Semua nasihat dan pelajaran agama yang dinyanyikan itu pada umumnya dihafalkan di luar kepala.
Tentunya semua pupujian, nadoman ini dilakukan dalam rangka mensyiarkan risalah Islam selama bulan Ramadan agar semakin semarak, meriah, dan terasa nuansa Islami. Sungguh indahnya bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan.
Paling tidak ada 5 pupujian, nadoman yang sampai sekarang masih terngiang, hafal dengan nadanya.
I) Eling-eling Dulur Kabeh
Éling-éling dulur kabeh
ibadah ulah campoléh
beurang peuting ulah weléh
bisina kaburu paéh
Sabab urang bakal mati
nyawa dipundut ku Gusti
najan raja nyakrawati
teu bisa nyingkirkeun pati
Karasana keur sakarat
nyerina kaliwat-liwat
kana ibadah diliwat
tara ngalakukeun solat
Kaduhung liwat kalangkung
tara nyembah ka Yang Agung
sakarat nyeri kalangkung
jasadna teu beunang embung
II) Eling-eling Umat
Eling-eling umat
Muslimin muslimat
Hayu urang shalat
Berjamaah subuh
Estu kawajiban urang keur di dunya
Kanggo pibeukeuleun Urang jaga di akherat
Dua puluh tujuh ganjaran nu berjama'ah
Lamun sorangan hiji ge mun bener fatihah
III) Kakuping Suara Azan
Kakuping suara adzan
Di masjid ti kateubihan
Singhoreng teh ngawartosan
Ngajak solat babarengan
Ulah sok solat di imah
Salagi aya masjid mah
Pribumi atawa semah hayu urang berjama'ah
IV) Tobat ka Gusti
ila hilas tulil pirdaus si ahlaa
Walaa akwaa alannaril jahiimii
Fahabli taubataw wagfir dunubi
Fainnaka gofilunnaril jahiimii
Duh pangeran abdi sanes ahli surga
Lamun teu kiat ka naraka teu ka duga
Lain tobat abdi teh hampura dosa
Da gusti nu sok ngahampura dosa-dosa
V) Trong kohkol anggur morongkol
Trong kohkol anggur morongkol
Dur bedug anggur murungkut
Diadzanan beuki tibra
Pajar maneh hente ngelingan
Henteu ngelingan.....
Selesai pupujian ini, anak-anak pamit ke orang tuanya untuk pergi ke masjid guna melaksanakan salat Subuh berjamaah, diteruskan dengan ngaji bersama ajengan. Sesekali selesai ngaos dilanjutkan dengan perang sarung, ucing sumput sambil ngabeubeurang.
Meneguhkan Harmoni Islam-Budaya
Dalam buku Ramadhan di Priangan ditegaskan proses akulturasi agama Islam dengan budaya lokal Sunda (pupujian, nadoman) telah lama berlangsung di Bumi Parahyangan. Di Kabupaten Garut umpamanya, orang akan menjumpai wajah Islam yang bernuansa kultural, ramah, sejuk, harmonis penuh toleransi sebagaimana adat sifat umumnya masyarakat Sunda.
Agak berbeda dengan kawasan lainnya di Jawa Barat, di Kabupaten Garut dan Tasikmalaya, khusus di desa-desa kecil sekitar daerah Limbangan, Ciawi dan kota-kota mungil sepanjang jalur kereta api antara Cibatu ke Garut; setiap kali menjelang pagi dan petang hari, sayup-sayup orang akan mendengarkan lantunan ayat Quran, suara azan, puji-pujian dari masjid dan surau dengan warna nuansa tembang Sunda. Jadi tidaklah mengherankan, apabila kita kini masih dapat menikmati lagu bacaan Al-Quran atau puji-pujian di tajug dengan nada suara tembang rumpun Cianjuran, Cigawiran (Limbangan) Ciawian.
Akulturasi (pembaruan) secara harmonis antara agama Islam dengan budaya Sunda setempat, bukan cuma menyangkut seni budaya, khususnya tembang dan lagu keagamaan, namun juga menjangkau adat istiadat penduduk. Seperti, acara selamatan, syukuran bagi segala macam awal kerja penting, syukuran panen hasil bumi, bersih desa, juga acara yang terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa. Umpama, acara memuaskan hasrat makan minum sebelum memulai berpuasa yang sering disebut botram. Acara ngabuburit menunggu beduk buka puasa, ngabungbang, menahan kantuk dan tidur menjelang makan sahur, meningkatkan ibadah di malam likuran, marema di pasar menjelang Lebaran, serta adat istiadat penduduk ziarah ke makam para karuhun dan handai tolan yang telah berpulang ke alam barzah.
Sangat menarik sebenarnya untuk diteliti, mengapa proses akulturasi agama Islam dengan budaya lokal Sunda di Tatar Priangan ini dapat berlangsung dengan intensif dan serasi. Tentunya tidak lepas dari peran para alim ulama Priangan masa lalu, yang selain mahir menguasai ilmu agama, juga terkenal sebagai pujangga seni sastra dan budaya. Ulama paripurna semacam itu, Raden Haji Moehamad Moesa (Hoofdpanghulu Limbangan), Haji Hasan Mustapa (Hoofdpanghulu Bandung), Raden Haji Muhammad Sueb, Kalipah di Kaum Bandung.
Agaknya, sikap pendirian para ulama yang senantiasa merasa tetap sebagai manusia Sunda itulah yang mendukung program akulturasi agam Islam dengan adat budaya Sunda, dapat berjalan dengan mulus dan insentif. (Haryoto Kunto, 1996:iii-iv).
Untuk di Cibiru, khususnya daerah Manisi, Kebon Terong, Babakan Dangdeur suara sirene dan pengumuman langsung digunakan sebagai tanda imsak, yang dilanjutkan dengan selawat tarhim. Pasalnya, bunyi sirene dan bewara langsung itu sangat dinantikan oleh warga untuk mengetahui kapan harus berhenti makan sahur.
Meskipun di kawasan Asia Afrika Kota Bandung, suara sirene perang yang cukup keras dan menjadi perhatian masyarakat yang sedang beraktivitas tidak dilakukan pada saat sahur. Melainkan sirene yang berasal dari Hotel Savoy Homann ini sebagai penanda azan Magrib, waktu buka puasa.
Rupanya sirene antik sudah ada sejak awal hotel itu dibangun dan belum banyak orang yang mengetahuinya. Ini dibenarkan oleh Marketing Communication Hotel Savoy Homann Bandung Fanny Karmarani, bila dulu sirene (alarm) dipakai untuk mengumumkan keadaan perang, kini dimanfaatkan untuk buka puasa, azan magrib.
Untuk yang baru pertama kali mampir, pasti cukup kaget dengan suara sirene berbunyi kurang dari 30 detik dengan suara yang cukup menggema. “Sekarang juga daripada tidak berfungsi kita pergunakan sebagai pengumuman azan Magrib. Sayang aja daripada gak difungsikan, selain itu memang alarm itu sudah jadi salah satu ciri khas hotel Savoy Homann,” jelasnya. (Radar Bandung Senin, 19 April 2021).
Di masyarakat kita, setiap menjelang masuknya bulan Ramadan selalu beredar jadwal imsakiyah. Biasanya di jadwal itu tertulis jadwal, waktu salat lima waktu, jadwal imsak. Jarak waktu imsak (menahan) dan salat subuh itu berjarak hanya 10 menit. Sebagai contoh: Imsak (04.20, 04.21), Subuh (04.30, 04.31), Zuhur (11.55, 11.56), Asar (15.00, 15.03), Magrib (18.00, 18.05), Isya (19.05, 19.07).
Sesungguhnya jadwal imsakiyah yang beredar di kalangan kaum muslimin ini tidaklah jadi persoalan sekiranya hal itu diyakini sebagai peringatan saja. Katakanlah ketika seseorang mendengar beduk, sirene dibunyikan pertanda bahwa waktu imsak sudah hampir masuk. Sebaiknya bagi mereka yang sedang makan dan minum untuk bersegera menyelesaikan makan dan minumnya. Bukan sebaliknya, saat mendengar sirine langsung berhenti makan dan atau minum, padahal waktu salat subuh masih ada sepuluh menit lagi.
Menurut keterangan sunah Nabi bahwa imsak itu baru wajib bagi seseorang setelah masuk waktu subuh. Sebab bagaimanapun, waktu sepuluh menit bagi mereka yang baru bangun tidur, bukanlah waktu yang sedikit, tetapi cukup untuk mengisi perutnya dengan menyantap makanan sahur, bahkan disebutkan walaupun hanya dengan seteguk air.
Dalam hadis riwayat Abu Dawud dikisahkan, salah seorang sahabat Rasul, Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasul Saw bersabda, "Apabila salah seorang di antara kamu mendengar seruan azan, sedangkan bejana (semacam tempat makan, minum) berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkan (melepaskannya) sehingga kebutuhannya selesai darinya." (Darwis Abu Ubaidah, 2012:244)
Dengan demikian, kehadiran lantunan ayat suci Al-Quran, selawat, sirene, pupujian, nadoman, bedug, kohkol selama Ramadan, termasuk saat tiba waktunya imsak. Ini menjadi bukti nyata atas harmonisasi budaya Sunda dengan Islam sebagai petanda identitas muslim Jawa Barat yang berpijak pada khazanah kearifan lokal.
Saat asyik membaca sejarah dan ihwal sirene, tiba-tiba kawan lama berkirim pesan sambil meminta pendapat soal panduan Ramadan. "Edaran yang dikeluarkan Kemenag ini membuat gaduh. Seakan-akan syiar Islam selama bulan puasa dari toa masjid, ngaji, azan dilarang. Benarkah begitu?"
Sebelum menjawab polemik ihwal pengeras suara. Tanpa panjang lebar buka website Kementerian Agama untuk mencari Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Ya, memang Menteri Agama telah menerbitkan Surat Edaran No. 05 tahun 2022 tentang ini pada tanggal 18 Februari 2022.
Juru bicara Kementerian Agama Anna Hasbie menegaskan tidak ada satu poin pun dalam edaran itu melarang penggunaan pengeras suara dalam beragam aktivitas keagamaan, baik di masjid dan musala. Justru kehadiran edaran ini mengatur penggunaan pengeras suara dalam dan pengeras suara luar. Bukan untuk melarang azan dengan pengeras suara. Syiar Islam harus didukung secara bersama-sama demi tegaknya khazanah keislaman.
“Masih ada yang gagal paham terhadap edaran SE 05 tahun 2022, lalu menyebut ada larangan penggunaan pengeras suara. Kami harap agar edaran itu dibaca dengan seksama. Jelas tidak ada larangan, yang ada hanya pengaturan pengeras suara, bahkan, edaran ini secara tegas menyebutkan bahwa pembacaan Al-Quran sebelum azan dan saat azan, dapat menggunakan pengeras suara luar,” tulisnya.
Saatnya masyarakat untuk membaca dengan teliti dan memahami edaran pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Edaran ini disusun semata untuk mewujudkan ketenteraman, ketertiban, dan kenyamanan bersama dalam syiar di tengah masyarakat yang beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, suku, ras, golongan dan lainnya.
Walhasil, diaturnya suara yang dipancarkan melalui pengeras suara perlu memperhatikan kualitas dan kelayakannya, suara bagus (tidak sumbang), pelafalannya yang baik dan benar.
Ingat, ini bukan edaran baru, sudah ada sejak 1978 dalam bentuk Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978. Saat Ramadan, siang dan malam hari, bacaan Al-Quran menggunakan pengeras suara ke dalam.
Nyatanya, pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid, musala, tidak hanya ada di Indonesia, juga Arab Saudi, Mesir, Bahrain, Malaysia, Uni Emirat Arab, Turki, dan Suriah sudah melakukan hal yang sama.
Arab Saudi, misalnya, menerbitkan edaran agar volume azan dan iqamah tidak melebihi sepertiga dari volume penuh pengeras suara. Mesir sejak 2018 memberlakukan pengaturan pengeras suara di masjid karena dinilai terlalu kencang.
Inilah tata cara penggunaan pengeras suara sesuai edaran No. SE 05 tahun 2022.
a. Waktu Salat:
1) Subuh:
a) sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Quran atau sholawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit; dan
b) pelaksanaan Salat Subuh, zikir, doa, dan Kuliah Subuh menggunakan Pengeras Suara Dalam.
2) Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya:
a) sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Quran atau sholawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) menit; dan
b) sesudah azan dikumandangkan, yang digunakan Pengeras Suara Dalam.
3) Jumat:
a) sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Quran atau sholawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit; dan
b) penyampaian pengumuman mengenai petugas Jumat, hasil infak, sedekah, pelaksanaan Khutbah Jumat, salat, zikir, dan doa, menggunakan Pengeras Suara Dalam.
b. Pengumandangan azan menggunakan Pengeras Suara Luar
c. Kegiatan Syiar Ramadan, gema takbir Idul Fitri, Idul Adha, dan Upacara Hari Besar Islam:
1) penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Quran menggunakan Pengeras Suara Dalam;
2) takbir pada tanggal 1 Syawal/10 Zulhijjah di masjid/musala dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan Pengeras Suara Dalam.
3) pelaksanaan Salat Idul Fitri dan Idul Adha dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar;
4) takbir Idul Adha di hari Tasyrik pada tanggal 11 sampai dengan 13 Zulhijjah dapat dikumandangkan setelah pelaksanaan Salat Rawatib secara berturut-turut dengan menggunakan Pengeras Suara Dalam; dan
5) Upacara Peringatan Hari Besar Islam atau pengajian menggunakan Pengeras Suara Dalam, kecuali apabila pengunjung tablig melimpah ke luar arena masjid/musala dapat menggunakan Pengeras Suara Luar. (www.kemenag.go.id).
Selesai membaca tata cara penggunaan pengeras suara yang tidak ada larangan. Tiba-tiba anak ketiga, Kakang Faqih, umur 3 tahun, memanggil, “Babah baca Nabi Ibrahim ya!”
Cah ah.
* Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang Ramadan.