• Opini
  • Mengurai Problem Pendidikan Luar Sekolah

Mengurai Problem Pendidikan Luar Sekolah

Pendidikan luar sekolah dipahami sekolah sebagai ruang untuk melepas penat dan beban kerja guru dan murid. Inilah kesalahan fatal memaknai pendidikan luar sekolah.

Arif Yudistira

Peminat dunia pendidikan dan anak. Bergiat di Pondok Filsafat Solo

Sejumlah pelajar mencari ruang masuk musium Monju di acara Museum Monpera Expo di sekitar Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, 1 Oktober 2023. (Foto : Prima Mulia/BandungBergerak.id)

7 Juni 2024


BandungBergerak.id – Tugas sains kata Einstein, antara lain untuk menemukan keindahan alam.  Tidak banyak penelitian, penugasan, bahkan pembelajaran di luar kelas yang dilakukan sekolah-sekolah tingkat atas hingga tingkat menengah yang mampu mencapai apa yang dikatakan Einstein.

Berapa banyak pendidikan sekolah kita yang mampu memadukan betapa pentingnya literasi, membaca buku dengan memahami, membuktikan, menguji dan mengkorelasikan dengan pengalaman saintifik di alam bebas. Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa banyaknya, tetapi gagal dalam mendokumentasikan, mengategorisasikan, merawat, bahkan sampai melestarikan keanekaragaman hayati maupun non hayati.

Kita membutuhkan kegigihan Alfred Russel Wallace seorang geolog, biolog, antropolog, dan naturalis yang berjasa besar dalam mendokumentasikan, merawat dan mendata satu persatu flora dan fauna yang ia temukan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dari perjalanannya di Asia Tenggara ini, Wallace mengumpulkan lebih dari 100 ribu spesimen hewan dan sekitar 80 ribu di antaranya berupa aneka kumbang (Dewi Safitri, 2017).

Saya membayangkan jika temuan Wallace tidak ada, maka Darwin tidak menulis teori seleksi alam yang amat terkenal itu. Teori Darwin itu, terinspirasi dari temuan dan penelitian Wallace kala itu. Alam selalu memberi kita kejutan dan keajaiban. Kemauan kita membuka mata terhadap alam dan belajar sains tentu akan membawa kita menjadi lebih bijak dan berhati-hati dalam hidup.

Baca Juga: Hari Antikorupsi Momen Membersihkan Pungli di Lingkungan Sekolah
Darurat Sampah, Sekolah, dan Kampanye Pengelolaan Sampah
Tertib Administrasi Aset Sekolah

Malas

Einstein mengingatkan pada orang yang banyak membaca, tetapi malas berpikir dengan mengatakan, “Orang yang terlalu banyak membaca dan terlalu sedikit memakai otak akan jatuh kepada kebiasaan malas berpikir.”  Kebanyakan guru-guru kita mengidap dua penyakit akut yakni malas membaca, malas berpikir. Guru-guru sains kita enggan mendata, meneliti, mengajak murid untuk memahami, mengerti nama-nama pohon di sekitar sekolah mereka, di depan rumah mereka bahkan mengajak mencatat dan mengingat pun tidak.

Mereka hanya berpedoman memakai buku paket semata dan tidak meneliti lebih jauh, mengamati perkembangan pohon itu, bagaimana pohon itu bisa berkembang biak, dan bagaimana pohon ini tumbuh dan subur di pekarangan rumah kita.

Kemalasan ini membawa pelajaran sains kita tidak bergerak ke mana-mana selain mempraktikkan ilmu usang mengapa telur bisa mengambang. Sesuatu yang menakjubkan memang, tapi tidak ada pengetahuan setelah itu, tidak ada yang bisa digali setelah itu. Dampak buruknya adalah malas meneliti, malas belajar, dan gagalnya pendidikan sains kita.

Pendidikan Luar Sekolah

Kegagalan institusi pendidikan, guru dan juga pemangku kepentingan di sekolah mengelola, mengemas dan menggairahkan pendidikan sains ini turut merembes kepada pendidikan luar sekolah.

Pemerintah telah mengatur pendidikan luar sekolah melalui Peraturan Pemerintah nomor 73 tahun 1991, “Pendidikan luar sekolah bertujuan untuk membina pelajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, atau melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.”

Pendidikan kita yang dikritik Paulo Freire sebagai pendidikan yang hanya berfokus menumpuk dan mengisi otak murid-murid kita layaknya bejana memang benar adanya. Pendidikan kita selain banyak beban mata pelajarannya, ia dianggap sebagai pendidikan yang hanya menjejalkan pengetahuan di murid-murid kita.

Dampak dari beratnya beban mata pelajaran ini adalah banyak anak-anak kita merasa terbebani pikiran, psikis dan otaknya. Tak heran, guru dan juga murid kita dianggap sebagai manusia kurang piknik. Piknik dianggap sebagai ruang melepaskan beban, melepas penat.

Pendidikan luar sekolah dipahami sekolah sebagai ruang untuk melepas penat dan beban kerja guru dan murid. Inilah kesalahan fatal memaknai pendidikan luar sekolah.

Pendidikan luar sekolah pun menjadi kedok pendidikan luar sekolah padahal hanya sekadar wisata. Gairah guru dan murid akan pendidikan sains di pendidikan luar sekolah seolah akhirnya dimatikan. Pendidikan sains pada pendidikan luar sekolah berubah menjadi sekadar wisata dan menghilangkan penat.

Lemahnya Manajemen dan Pengawasan

Guru-guru yang biasa mengajar siswa di kelas pun dituntut untuk belajar tentang manajemen pengelolaan pariwisata dadakan. Banyak akhirnya agen perjalanan wisata menawarkan kerja sama untuk memuluskan perencanaan hingga memutuskan biaya yang dikenakan pada murid-murid.

Sekolah pun selain menyerahkan sepenuhnya pada agen perjalanan wisata, cenderung tidak melakukan survei lebih jauh mengenai objek wisata, kondisi jalan hingga cuaca. Mereka tidak melakukan itu karena akan terkendala biaya operasional yang membengkak. Kelayakan bus, kualitas katering makanan, hingga di objek wisata mereka hendak melakukan apa jarang terpikirkan. Akhirnya pengelolaan atau manajemen pendidikan luar sekolah pun menjadi ambyar.

Tujuan pendidikan luar sekolah pun akhirnya harus terbengkalai dan melupakan tujuan awal. Parahnya, ketika terjadi kecelakaan di jalan, semua pihak menjadi gagap dan saling tuding.

Kecelakaan bus pariwisata Trans Putera Fajar yang membawa rombongan acara perpisahan SMK Lingga Kencana, Depok, Jawa Barat di Subang pada Sabtu (11/5/2024) memberi kita pelajaran berharga tentang pentingnya mengelola dan merencanakan secara matang pendidikan di luar sekolah (Kompas, 14/5/2024).

Kegagalan sekolah menggarap pendidikan luar sekolah menjadi catatan penting tentang ketidakseriusan kita menggarap sains dan juga pendidikan alam di sekitar kita. Padahal bila dioptimalkan secara sungguh-sungguh, pendidikan luar sekolah akan membuka mata kita tentang betapa berharganya mendekatkan diri dengan alam, mempelajari alam dan lebih menghargai dan merawatnya.

Aspek lain yang tidak digarap adalah literasi. Anak-anak tidak diajak serius untuk diajak berlatih mengungkapkan gagasan, pemahaman, refleksi mereka terhadap kunjungan mereka ke setiap wilayah Indonesia yang memiliki kekhasan alam dari sisi kebudayaan dan cara mereka mengelola kekayaan daerahnya. Akhirnya kebijakan pelarangan “studi tour” tidak menjadi kebijakan solutif melainkan reaktif semata. Sepertinya inilah cara khas manusia birokrat di Indonesia cuci tangan dari masalah pendidikan luar sekolah. Menyedihkan!

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pendidikan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//