• Opini
  • Darurat Sampah, Sekolah, dan Kampanye Pengelolaan Sampah

Darurat Sampah, Sekolah, dan Kampanye Pengelolaan Sampah

Saatnya beragam metode pengelolaan sampah yang dipelajari dalam Pendidikan Lingkungan Hidup dipraktikkan bersama-sama di sekolah. Jangan tunggu sampah menggunung.

Fauzan

Pegiat Pendidikan dan Literasi

Petugas kebersihan memuat sampah ke kontainer secara manual di TPS Kelurahan Merdeka, Kota Bandung, yang menumpuk, Selasa (16/5/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

30 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Bandung sedang tidak baik-baik saja. Darurat sampah sedang terjadi di ibu kota Jawa Barat ini. Kebakaran yang melanda TPA Sarimukti belum kunjung tertangani seutuhnya.

Gas metan yang terdapat dalam gunungan sampah di tempat pembuangan yang berlokasi di Kabupaten Bandung Barat itu disinyalir membuat kobaran api enggan pergi. Tempat pembuangan sementara juga mulai mencapai batasnya. Akhirnya tumpukan sampah mulai terlihat menggunung di sejumlah lokasi.

Bandung Lautan Sampah jilid 2 bukan lagi mimpi. Situasi seperti dampak kejadian longsor di TPA Leuwigajah 18 tahun silam tampak nyata di depan mata.

Sampah yang rutin diproduksi oleh setiap manusia menanti untuk ditangani. Betapa tidak, dari Kota Bandung saja, tidak kurang dari 1.200 ton dihasilkan setiap hari.

TPA Sarimukti telah ditutup per Selasa (22/8/2023). Artinya sudah semingguan ini ada 8.000an ton sampah tidak terangkut dari kota kembang saja. Maka tidak heran kalau sekarang sudah mulai menunjukkan akibatnya.

Ini tanggung jawab kita semua. Bukan hanya Dinas Lingkungan Hidup atau pemerintah semata.

Setiap manusia menghasilkan sampah, setiap jiwa juga bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya. Tidak ada yang bisa menghindar dari kewajiban ini.

Setiap diri kita harus lebih sadar bahwa ada situasi darurat yang benar-benar darurat yang sedang dihadapi. Bukan saatnya saling menuding menyalahkan. Saatnya bergerak mengatasi masalah ini bersama.

Baca Juga: Bandung (Lagi-lagi) Darurat Sampah
Pemkot Bandung masih Mencari Solusi Penanganan Sampah, Apa Kabar dengan Kang Pisman?
Polusi Kabut Asap dari Kebakaran Sampah TPA Sarimukti Menyerang Kampung dan Sekolah

Sampah dan Pendidikan Lingkungan Hidup

Penulis ingin menyoroti bagaimana sebaiknya sekolah menyikapi permasalahan sampah ini.

Berdasarkan data BPS, terdapat 1.817 sekolah semua jenjang yang ada berlokasi di Kota Bandung. Dari jumlah tersebut, 298.690 orang tercatat sebagai siswa dengan 28.235 orang guru yang mengajar dari mulai TK hingga SMA/SMK. Artinya ada lebih dari 300 ribu orang yang setiap hari beraktivitas di sekolah. Dan hampir dipastikan selalu berkontribusi terhadap produksi sampah setiap harinya.

Dalam proses menyusun tulisan ini, penulis melakukan survei sederhana kepada sejumlah sekolah di Kota Bandung maupun Kota Cimahi. Umumnya responden menjawab, sampah yang dihasilkan setiap hari dikumpulkan lalu dititip ke mamang sampah untuk kemudian dibuang ke TPS/TPA. Sebagian responden ada yang menjawab memilahnya terlebih dahulu antara sampah organik dan anorganik baru dititip ke mamang sampah. Tidak ada responden yang menjawab semua sampah dikelola secara mandiri di sekolah.

Survei singkat itu menggambarkan betapa metode kumpul, angkut, buang masih merupakan tumpuan utama dalam pengelolaan sampah, sekalipun di lembaga pendidikan. Sudah saatnya beragam metode pengelolaan sampah yang dipelajari dalam Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) diimplementasikan, dipraktikkan di sekolah bersama-sama tidak hanya guru atau tenaga layanan khusus sekolah.

Lebih dari itu libatkan para siswa agar mereka pun turut memeroleh pengalaman berharga dalam mengelola sampah. Sampahmu tanggung jawabmu. Jangan menunggu situasi darurat malah semakin darurat.

Aksi Nyata Bisa Dimulai dari Sekolah

Jika teori dalam pelajaran PLH terlalu melangit sehingga terlampau sulit untuk mengimplementasikannya, cara ATM (amati, tiru, modifikasi) layak untuk dicoba. Di Kota Bandung sudah sangat banyak sekolah berlabel sekolah adiwiyata tingkat nasional, tingkat provinsi, maupun tingkat kota. Tidak ada salahnya belajar bagaimana mengelola sampah dengan bijak ke sekolah yang telah menerapkannya. Jangan sampai adiwiyata cuma jadi ajang adu gengsi. Justru jadikan untuk saling berbagi praktik baik menjaga lingkungan dengan baik.

Gerakan-gerakan sesederhana diet kantung plastik, bawa tumbler dan bekal dari rumah, jajan menggunakan wadah sendiri, rasa-rasanya bukan hal yang asing di sekolah. Hanya tinggal bagaimana caranya itu terbiasa dilakukan warga sekolah sehingga membudaya. Tidak hanya slogan atau seremoni semata melainkan menjelma perilaku yang tanpa disuruh pun sudah secara otomatis dilakukan setiap guru atau siswa. Jika ada yang tidak melakukan diingatkan, ditegur, dan diajak untuk melakukan hal yang sama.

Lebih dari itu, kampanye program Kang Pisman tampaknya mesti kembali digalakkan di Kota Bandung termasuk ke sekolah-sekolah. Ajak lebih banyak orang untuk terlibat dalam gerakan mengurangi, memisahkan, dan memanfaatkan sampah. Kejadian darurat sampah harus jadi momentum perbaikan bagi setiap orang tidak terkecuali insan pendidikan.

Sudah saatnya ilmu pengetahuan yang diajarkan di kelas-kelas terwujud dalam aksi nyata yang bisa sangat beragam bentuknya. Bukankah ilmu yang bermanfaat termasuk amal jariah yang tidak putus kendati orangnya sudah meninggal dunia?

Sembari menunggu solusi terbaik dari pemerintah, mari setiap kita untuk lebih sadar terhadap situasi darurat sampah ini. Mari mulai dari rumah, dari sekolah, dari diri kita sendiri untuk melakukan pengurangan potensi sampah, memilahnya sebelum diserahkan ke mamang sampah, dan memanfaatkan sampah yang bisa dimanfaatkan. Jika berkemampuan, jalan untuk mengelola sampah sendiri itu jauh lebih baik untuk dipilih.

Sudah sangat banyak contoh yang bisa ditiru. Ini kembali ke niat dan komitmen masing-masing. Tentu kita tidak mau sampah terus menggunung di jalan-jalan yang kita lewati setiap hari. Itu sampah kita. Maka kita pun punya kewajiban agar hal itu tidak terjadi berlarut-larut.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//