• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Gerakan All Eyes on Papua untuk Keadilan di Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi

MAHASISWA BERSUARA: Gerakan All Eyes on Papua untuk Keadilan di Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi

All Eyes on Papua merupakan gerakan di dunia maya menolak perluasan kebun sawit dengan membabat habis hutan adat dan tanah ulayat suku Awyu dan Suku Moi di Papua.

Rizky Prihandoko

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Hendrikus Franky Woro (Kiri) dan Rikarda Wome Maa (kanan), asal suku Awyu, meninggalkan PTUN Jayapura usai sidang di Jayapura, Papua, 2023. (Foto: Gusti Tanati/Greenpeace)

18 Juni 2024


BandungBergerak.id – Ideologi merupakan ide, gagasan, atau konsep yang menjadi dasar dari sebuah negara. Pancasila merupakan ideologi yang menjadi falsafah dan dasar Negara Republik Indonesia. Setiap tindakan harus berdasarkan dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila merupakan hal yang penting untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila juga merupakan norma dasar yang menjadi dasar bagi pembentukan hukum di Indonesia. Semua peraturan perundang-undangan yang dibuat harus bersumber dari Pancasila, mulai dari konstitusi, undang-undang, hingga peraturan pelaksananya. Oleh karena itu, Indonesia merupakan negara hukum, di mana setiap tindakan yang dibuat harus berdasarkan hukum. 

Pancasila memiliki beberapa keunikan, di mana hal ini menjadikannya berbeda dengan ideologi lain yang ada di dunia. Pertama, Pancasila mengedepankan nilai Ketuhanan. Berbeda dengan komunisme yang mengedepankan kepentingan bersama dan liberalisme beserta kapitalismenya yang mengedepankan kebebasan dan kepentingan pasar. Pancasila mengedepankan nilai Ketuhanan yang berarti nilai-nilai keagamaan diakui dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila mengakui hak masyarakat untuk bebas memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing (Subagyo, 2020: 18). Kedua, Pancasila memiliki hubungan antara Tuhan, manusia, dengan alam (Rianto, 2006: 1). Tuhan menciptakan manusia untuk saling bersosialisasi dan memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing. Tuhan juga menciptakan alam agar manusia bisa memenuhi kebutuhannya. Manusia mengambil dari alam untuk agar kebutuhan sehari-harinya dapat tercukupi. Mengingat alam merupakan ciptaan Tuhan, maka manusia harus menjaga kelestariannya dengan cara tidak melakukan eksploitasi dan perusakan terhadap alam. Namun, sepertinya manusia seakan merasa tidak cukup sehingga berlomba-lomba melakukan eksploitasi terhadap alam yang mengakibatkan kerusakan yang cukup parah terhadap alam.

Dewasa ini, banyak sekali kasus kerusakan alam yang utamanya disebabkan oleh manusia. Mulai dari penebangan pohon tanpa diikuti reboisasi, penambangan secara ilegal, pembakaran hutan dan lahan, eksploitasi terhadap sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, dan lain sebagainya.  Hal ini menimbulkan kerusakan terhadap alam yang cukup parah. Adapun kerusakan yang dimaksud meliputi hutan yang semakin gundul, flora dan fauna yang menjadi terancam punah akibat kehilangan tempat tinggal mereka, meningkatnya suhu bumi, longsor dan erosi, bencana asap, dan lain sebagainya. Manusia seakan lupa bahwa merupakan kewajibannya untuk menjaga dan merawat kelestarian alam mengingat alam merupakan ciptaan Tuhan. Kewajiban manusia untuk menjaga dan merawat kelestarian alam tersebut merupakan salah bentuk pertanggungjawaban kepada Tuhan.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mempermudah Pengaduan Masyarakat akan Meningkatkan Kualitas Layanan Publik
MAHASISWA BERSUARA: Belajar dari Ternak Uang ala Timothy Ronald
MAHSISWA BERSUARA: Belajar Metode Infrastruktur Hijau dari Swedia

All Eyes on Papua

Salah satu perusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah rencana pembabatan hutan sebanyak 36.000 Hektar yang akan diubah menjadi perkebunan sawit oleh PT. Indo Asiana Lestari. Rencana pembabatan hutan tersebut akan dilakukan di Boven Digoel, Papua. Perlu diketahui bahwa hutan yang akan dibabat habis tersebut merupakan hutan adat yang tumbuh di atas tanah ulayat milik Suku Awyu dan Suku Moi di Papua.

Papua merupakan salah satu pulau yang dimiliki Indonesia dan letaknya berada paling timur. Dengan wilayah seluas 785.753 kilometer persegi menjadikannya sebagai pulau terluas dan terbesar yang dimiliki Indonesia. Papua memiliki keberagaman suku,  yaitu berjumlah 255 suku sehingga terdapat berbagai macam bahasa dan budaya. Papua juga memiliki berbagai macam keanekaragaman hayati yang terdiri dari flora dan fauna yang sangat beragam.

Keanekaragaman flora pulau Papua berjumlah 13.634 spesies flora (Cámara-Leret, et al: 2020). Sedangkan, keanekaragaman faunanya terdiri dari banyak hewan yang merupakan persebaran fauna wilayah Australian, seperti   Burung Cenderawasih, Kakatua Raja, Burung Kasuari, Burung Nuri Kabare, dan Kangguru Papua (Handoyo, 2021: 83). Tak hanya itu, Papua juga memiliki keindahan alam yang sangat banyak, seperti Lembah Baliem, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Danau Paniai, Pantai Bosnik, Gunung Carstenz, hingga Raja Ampat. Keberagaman tersebut-lah yang menjadikan Papua mendapat julukan “Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi”.  

All Eyes on Papua merupakan suatu gerakan di internet, khususnya pada platform Instagram, yang diinisiasi sebagai bentuk kepedulian terhadap perlindungan hutan adat di Papua (Ilmu Komunikasi UII, 2024). Pada 27 Mei 2024 perwakilan dari suku Awyu dan Suku Moi melakukan aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung. Mereka melakukan protes terhadap rencana perluasan kebun sawit milik PT. Indo Asiana Lestari yang rencananya akan dilakukan dengan cara membabat habis hutan adat dan tanah ulayat milik mereka seluas 36.094 Hektare (Kompas, 2024). Hal ini dikarenakan hutan adat dan tanah ulayat tersebut merupakan sumber mata pencaharian mereka satu-satunya sehingga apabila dibabat habis akan membuat mata pencaharian mereka hilang.

Perluasan kebun sawit tersebut merupakan suatu hal ironis yang terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam konstitusi Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar 1945, terdapat pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat, di mana hal ini termasuk mengenai hutan adat dan tanah ulayat. Pengakuan dan penghormatan tersebut diatur di dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Pasal tersebut merupakan suatu jaminan bahwa hak-hak masyarakat adat akan diakui dan dihormati oleh Negara sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

Perluasan kebun sawit tersebut juga tidak sesuai dengan Sila Kedua dan Kelima Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perusahaan sawit tersebut hanya memikirkan keuntungan yang sangat besar saja tanpa memedulikan masyarakat adat yang terdampak apabila hutan adat mereka dibabat habis. Rasa kemanusiaan dikesampingkan demi memenuhi nafsu keuntungan semata sehingga menyebabkan ketidakadilan bagi masyarakat adat.

Papua memiliki wilayah hutan seluas 33,12 Juta Hektar (Badan Informasi Geospasial, 2022) dengan total hutan adat yang diakui oleh Pemerintah seluas 39.506 Hektar (KLHK, 2024). Mengingat hutan tersebut menjadi tempat dari keanekaragaman flora dan fauna yang terdiri dari berbagai macam spesies yang sangat banyak, maka Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Provinsi Papua harus mencabut izin PT. Indo Asiana Lestari untuk melakukan perluasan wilayah kebun sawit.

Pemerintah Provinsi Papua seharusnya tidak hanya memikirkan keuntungan dirinya sendiri saja sehingga mengesampingkan rasa kemanusiaan dan keadilan. Seharusnya, Pemerintah Provinsi Papua memperhatikan kemanusiaan dan keadilan bagi masyarakat Papua dengan melarang melakukan adanya perusakan hutan adat. Tidak hanya sebatas  mengamalkan sila kedua dan kelima Pancasila, juga untuk menjalankan perintah dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, di mana jaminan bahwa negara, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Papua, harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat.

Masyarakat adat tersebut sangat menggantungkan hidupnya terhadap keberadaan hutan adat tersebut. Berbeda dengan para pejabat dalam Pemerintah Provinsi Papua yang memiliki banyak sumber penghasilan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Selain memperhatikan kemanusiaan dan keadilan bagi masyarakat adat, dengan menjaga kelestarian hutan adat, maka hal tersebut menjadi bentuk pertanggungjawaban terhadap Tuhan karena telah menjaga kelestarian ciptaannya. Pemimpin yang dicintai rakyatnya adalah pemimpin yang memiliki rasa kemanusiaan dan memperhatikan keadilan bagi rakyatnya, bukan pemimpin yang memperhatikan isi kantongnya.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//