• Narasi
  • Masjid Raya Sumatera Barat, Simbol Keislaman dan Kebudayaan Minangkabau

Masjid Raya Sumatera Barat, Simbol Keislaman dan Kebudayaan Minangkabau

Masjid Raya Sumatera Barat rancangan arsitek Rizal Muslimin menjadi salah satu masjid tanpa kubah yang megah. Pernah menyulut polemik hingga pembangunannya tertunda.

Nisa Anggina

Mahasiswa Universitas Islam Riau

Masjid Raya Sumatera Barat. (Sumber: masjidraya.sumbarprov.go.id)

25 Juni 2024


BandungBergerak.id – Masyarakat Sumatera Barat kental adanya dengan hal yang berunsur dengan budaya maupun keagamaan, terutama pada agama Islam. Banyak budaya yang mencerminkan bahwa masyarakat Sumatera Barat sangat berpegang teguh dan menjunjung tinggi agama Islam tersebut, hal itu dapat dilihat pada pepatah yang sering sekali kita dengar di luar sana yang pepatah tersebut berisi: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, yang artinya adat bersendikan kepada agama, dan agama bersendikan kitabullah (Al – Qur’an).

Penduduk Sumatera Barat atau yang sering dipanggil dengan panggilan Suku Minangkabau erat hubungannya dengan budaya dan adat istiadat, mereka menjunjung tinggi nama leluhur mereka yang telah mewariskan segala bentuk budaya yang ada dan berusaha untuk terus diwariskan ke anak cucu mereka, sebagian dari adat dan budaya mereka seperti, Tarian Randai, Songket Minangkabau, Makanan Rendang, Batagak Penghulu, dan yang paling ikonik adalah Rumah Gadang.

Sekian banyak keberagaman budaya yang dapat diwariskan tersebut, tetap saja faktor pesatnya perkembangan teknologi dan arus budaya asing masih menjadi ancaman bagi Budaya Minangkabau, karena hal di luar norma-norma keislaman dan Budaya Minangkabau dapat terancam punah dan tidak dilestarikan oleh anak cucu mereka dan berdampak menjadi penurunan moral masyarakat Minangkabau itu tersendiri.

Hal itu menjadikan Kota Padang terkhusus Sumatera Barat membutuhkan solusi yang tepat untuk terus melestarikan kebudayaan Minangkabau itu tersendiri, maka dengan itu pemerintahan Kota Padang bersinergi untuk bisa membangun sarana dan wadah yang tepat untuk melestarikan budaya yang mereka punya, diharapkan dengan wadah tersebut dapat menjadikan daya tarik anak muda terhadap budaya Minangkabau terus meningkat dan bisa tersalurkan dan diwariskan dikemudian hari.

Pemerintahan Kota Padang akhirnya ikut berpartisipasi dalam penyediaan layanan dan wadah tersebut, salah satunya yang direncanakan adalah pembangunan masjid yang berstruktur dan mengambil ornamen dari budaya Minangkabau itu tersendiri, diharapkan dengan pembangunan tersebut dapat menjadikan bangunan ikonik yang didasarkan oleh budaya Minangkabau dan terletak di Kota Padang.

Baca Juga: Sulitnya Melestarikan Arsitektur Nusantara di Masa Kini
Mencegah Punahnya Arsitektur Tradisional pada Hunian di Bali
Melestarikan Budaya Rumah Tradisional dengan Arsitektur Vernakular

Masjid Raya Tanpa Kubah

Masjid merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat, di mana ada umat Islam dapat dipastikan di tempat itu ada masjid sebagai tempat ibadah kaum muslimin dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah swt dan sebagai pusat informasi bagi jamaah. Masjid juga menjadi tempat peningkatan kecerdasan umat baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat. Hal ini sesuai dengan arah dan tujuan Pembangunan Nasional yaitu adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Masjid juga merupakan pranata keagamaan yang tak terpisahkan dari kehidupan spritual, sosial, dan kultural umat Islam. Keberadaan masjid dapat dipandang sebagai salah satu perwujudan dari eksistensi dan aspirasi umat Islam, khususnya sebagai sarana peribadatan yang menduduki fungsi sentral dalam kehidupan bermasyarakat (Putra & Rumondor, 2019).

Penduduk di Kota Padang yang memeluk agama Islam berjumlah 839.200 dari total penduduk 861,723 yang menyatakan bahwa memang sebagian besar warga padang beragama Islam, dengan itu tidaklah susah bagi mereka untuk menemukan masjid. Namun untuk kali ini perlulah dibangun masjid yang memiliki arsitektur asli Minangkabau untuk dapat dijadikan daya tarik dan ikon Kota Padang itu sendiri. Pembangunan masjid raya ini juga diharapkan menjadi salah satu investasi terhadap citra positif dan juga dalam rangka mempertahankan budaya Minangkabau itu sendiri.

Saat ini, masyarakat Indonesia semakin bergerak menuju hal yang berbau modern, mengadopsi teknologi mutakhir dengan desain yang sempurna, maka dengan itu perlu diadakan perubahan khususnya di pembangunan Masjid Raya. Arkeolog sekali lagi menekankan pentingnya identitas lokal dalam hal desain. Oleh karena itu, identitas lokal Minangkabau perlu kembali dimodifikasi agar sejalan dengan prinsip-prinsip yang berlaku saat ini (neo-vernakular) menjadi desain yang unik dan khas dan tidak menghilangkan budaya dan bentuk aslinya. Karena  Masyarakat Sumatera Barat sangat dikenal dengan ketaatannya yang sederhana dan tiada henti menjunjung tinggi terhadap keyakinan agamanya. Nasihat dan hal sehari-hari yang mereka gunakan didasarkan pada pemahaman mereka tentang Islam.

Bangunan masjid berbentuk kubah telah tumbuh subur dalam dunia Islam dan menjadi sebuah simbol ekspresi struktur dan identitas Islam. Dalam kurun waktu tertentu kubah tak ubahnya seperti simbol yang merepresentasikan Islam atau rumah ibadah umat Islam. Sebagai contoh Qubbat as-Sakhrah atau Kubah batu atau disebut juga dengan “Dome of Rock” di kompleks Masjid Al-Aqsa, merupakan salah satu karya arsitektur pertama bernafaskan Islam yang menggunakan kubah dan menjadi saksi bisu peristiwa penting dan bersejarah yakni Isra Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW (Supriatna & Handayani, 2021).

Salah satu masjid tanpa kubah tersebut adalah Masjid Raya Sumatera Barat yang dirancang oleh arsitek Rizal Muslimin. Rancangannya berupa bangunan persegi yang alih-alih berkubah tapi justru membentuk gonjong. Hasil rancangan Masjid Raya Sumatera Barat pernah kritik oleh beberapa tokoh di Sumatera Barat, yang menyebut rancangan masjid tidak lazim lantaran tidak memiliki kubah. Polemik berkaitan dengan kubah mengakibatkan tertundanya rencana pembangunan. Namun pada akhirnya polemik mereda dan pembangunannya dapat dilaksanakan (Supriatna & Handayani, 2021).

Masjid ini mulai dibangun pada 21 Desember 2007 dengan uang pendanaan pembangunan dipusatkan pada APBD Sumatra Barat dengan pembangunan bertahan sampai selesai pembangunan pada tahun 4 Januari 2019. Bangunan Masjid Raya Sumatra Barat dirancang dengan 3 lantai, lantai utamanya berpusat di lantai dua. Masjid ini dirancang menampung sebanyak 20.000 jemaah sekaligus. Luas lahan masjid ini sekitar 40.000 m2 dan sedangkan luas bangunan 18.000 m2 .

Masjid Raya Sumatra Barat merupakan masjid yang unik dan indah, masjid ini menjadi pusat perhatian Kota Padang karena arsitektur Islam dan budaya akan Minangkabau masih kental adanya. Masjid ini terletak di salah satu provinsi di Indonesia yang sangat kental dengan budaya daerah yang unik dan menarik mulai dari tempat wisata alam, budaya, dan sejarahnya yaitu Provinsi Sumatra Barat.

Masjid Tahan Gempa Sekaligus Tempat Evakuasi Bencana

Masjid Raya Sumatra Barat merupakan, masjid yang dirancang oleh arsiteknya dengan konsep berbentuk kain yang dibentangkan pada sejarah Nabi besar Muhammad SAW yang mendamaikan kalifah suku Quraisy. Dan konsep Masjid Raya Sumatra Barat juga mengambil konsep dari kebudayaan tradisional Minangkabau, yaitu dari ukiran kain songket berbentuk segi tiga yang berbentuk pucuk rebung (pucuak rabuang), dan menerapkan ukiran tradisional Minang pada bagian ukiran bangunan. Masjid ini juga dijuluki dengan 1000 pintu angin dengan bukaan dan juga sisi ornamen yang berongga. Masjid ini juga mampu menahan gempa dengan kekuatan 10 skala Richter (SR). Masjid ini juga berfungsi sebagai tempat evakuasi bencana seperti ketika terjadi gempa dan tsunami. Lokasi Penulisan Masjid Raya Sumatra Barat terletak di Jalan Khatib Sulaiman, Nagari Alai Parak Kopi, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, Sumatra Barat. Masjid ini juga dekat dengan Pantai, Gedung Pemerintahan, GOR Haji Agus Salim, Kolam Renang Haji Agus Salim, dan tempat wisata lainnya (Islahuddin et al., 2022).

Bentuk Gonjong pada atap masjid diartikan sebagai air zamzam yang tersebar ke seluruh penjuru dunia, khususnya pada musim haji, menunjukkan bahwa konsep spring water, atau  mata air pada masjid Raya Sumatera Barat yang dimaksud adalah sebagai tempat berkumpul, sumber ilmu dan syiar Islam. Masjid ini berfungsi selain tempat melaksanakan ibadah salat, juga dimanfaatkan untuk proses belajar mengajar ilmu agama Islam dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. Kemudian adanya Bentuk atap bagonjong yang mengarah ke empat mata arah angin yang lancip di semua ujungnya mempunyai makna bahwa masjid raya Sumatera Barat selain syiar, juga menerima siapa saja yang ingin menggunakan masjid tersebut dari berbagai daerah dan berbagai aliran keislaman di Sumatera Barat. Bentuk ini juga mengandung simbol budaya Minangkabau sebagai tau di nan ampek, yakni Al-Quran, Injil, Taurat dan Zabur. Tersirat juga makna adat nan ampek, yaitu adat nan subana adat, adat nan diadatkan, adat nan taradat dan adat istiadat (Supriatna & Handayani, 2021).

Fasad atau facade merupakan penjabaran yang pajang dalam bidang arsitektur, mulai dari fasad secara etimologis kata fasad merupakan facade (Inggris). Facade merupakan asal kata dari face yang artinya dalam bahasa Inggris adalah wajah atau muka (tampak). Maka dalam bidang arsitektur fasad merupakan tampak bangunan dari berbagai sisi, mulai dari tampak depan, samping kiri dan kanan, dan yang terakhir di sisi belakang, dimana bangunan Mesjid Raya berbentuk seperti Rumah Gadang, di mana memiliki fasad menggunakan hubungan yang sempurna antara pola bunga dan kaligrafi. Bagian ini menjelaskan persamaan filosofis antara kepercayaan Minangkabau dan Agama. Hasilnya, sirkularitas udara yang masih tetap masuk ke ruangan dapat dibikin pada dasarnya dalam sistem pola ritme (pengulangan) ditambah dengan pola corak dengan rongga. menyampaikan pesan yang kuat tentang Minangkabau yang erat hubungannya dengan Islam.

Secondary skin bangunan adalah lapisan kedua pada fasad bangunan. Pada penerapan skin bangunan, bentukannya diambil dari konsep yang berbeda mulai dari ornamen adat, ornamen religius, ornamen abstrak dan bentukan-bentukan yang didesain arsitek itu sendiri. Bentukan secondary skin sangat berpengaruh pada sirkulasi dan keindahan ke dalam maupun ke luar bangunan, hal ini akan berpengaruh pada cahaya dan udara yang masuk ke dalam bangunan. Maka dengan itu kebanyakan pola secondary skin memiliki pola yang berulang pada setiap bagian motifnya, dengan cara demikian sikulasi yang masuk akan merata ke dalam bangunan, baik cahaya yang masuk dan udara yang masuk. 

Arsitektur Islam itu pada bangunan ini pun didasarkan pada penafsiran teks-teks keagamaan yang didukung oleh Al-Qur'an dan Hadits. Unsur arsitektur Islam yang paling berpengaruh pada masjid adalah bermotif religi Islam dan tulisan Kaligrafi. Masjid Raya Sumatra Barat merupakan masjid yang menjadi tandingan berbagai gerakan sosial, politik, dan keagamaan. Dari prinsip desain atau bentuk konstruksi yang berbentuk rumah Adat, juga diperlukan konstruksi struktur kain yang berfungsi sebagai alat untuk memindahkan Hajar batu ke lokasi Ka'bah. Motif lipatan kain yang juga sering diambil dari rumah Adat di Minangkabau mengenai bentuk dan ukurannya.

Komponen ornamen skin atau ukiran fasad Masjid Raya Sumatra Barat terbagi menjadi dua, komponen skin utama masjid dan komponen skin pendukung. Ornamen atau ukiran utama tersebut dimaknakan dengan 13 rukun rakaat salat yang sesuai diajarkan Nabi Muhammad SAW. Bentuk ornamen Masjid Raya Sumatra barat disusun atas 13 ornamen suku Minangkabau yang dikombinasikan dengan 13 rukun sholat, termasuk kesesuaian makna yang terkandung di dalam 13 ornamen untuk bangunan ibadah Masjid Raya Sumatra Barat (Islahuddin et al., 2022).

Semua bentuk ornamen, asal-usul, makna, letak ornamennya bentuk penyusunya tersirat dalam pantun petatah petitih ukiran tersebut. Namun setiap ukiran di Minangkabau terkadang tidak serupa atau tidak sama, yaitu dikarenakan ukiran Minangkabau diukir langsung dengan tangan, gerakan pisau ukir, variasi ukiran (tambahan ukiran), tetapi motif dasar tetap sama. Luas permukaan ornamen secondary skin bangunan Masjid Raya Sumatra Barat keseluruhan 5.750 m2, dengan salah satu bidang sebelah kanan dengan luas 1.568,96 m2. Sedangkan sisi depan dengan luas 1.306 m2. Manfaat ukiran atau ornamen suku Minangkabau pada Masjid Raya Sumatra Barat dengan konsep terbarukan yang disebut new-vernacular memberikan bentuk yang unik dan indak dengan kesan mewah dan elegan. Secodary Skin utama Masjid Raya Sumatra Barat dibuat berlubang sesuai dengan bentuk ukirannya, karena fungsinya untuk memberikan sirkulasi udara pada masjid sekeliling bangunan. Masjid Raya Sumatra Barat ini memberi kesan unik dan indah, semua terlihat pada pola susunan ornamen Masjid Raya Sumatra Barat dan makna dari ornamen tersebut (Islahuddin et al., 2022).

Material yang digunakan untuk Masjid Raya Sumatera Barat adalah material komposit fiberglass yang mudah dibongkar, ringan, kuat, dan tahan cuaca. Bahan ini dapat mempermudah perawatan karena tidak memerlukan perawatan tambahan atau rumit pada lumut. Tekstur bahan hias tersusun dari bahan hias yang bergerigi dan rumit. Bahan getas menawarkan beragam bentuk hias alami, seperti daun sirih, pucuk rebung, dan lain-lain, hal ini juga dirancang untuk bisa menjadi material yang tahan terhadap guncangan akan gempa bumi dan tidak berisiko tinggi terhadap guncangan dari gempa bumi yang akan timbul di suatu saat nanti.

Dengan itu dapat dinyatakan bahwa Masjid Raya Sumatra Barat merupakan masjid yang modern. Ornamen skin Masjid Raya Sumatra Barat ini menjadi point of interest. Pertama Desain dan bentuk atap bangunan pada Masjid Raya Sumatera Barat menjadi identitas yang menunjukkan bahwa arsitektur menghadirkan bentuk-bentuk tradisional rumah gadang yang sudah mengalami bentuk perpaduan gaya modern sehingga tidak menghasilkan bentuk murni tradisional. Bangunan masjid ini berusaha menunjukkan sebuah kekuasaan dari unsur kedaerahan yang kuat, tetapi tetap dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Jadi, bangunan ini merupakan penggabungan dari dua buah gaya dan ternyata bisa dipertemukan dan menghasilkan sebuah bentuk baru. Hal ini menunjukkan bahwa masjid ini menggunakan prinsip penataan dua konsep yaitu tradisional dan modern atau dikenal dengan tipe Neo- Vernakular. Konsep tersebut sangat tampak jelas terlihat sehingga orang awam pun sangat mudah untuk memahami karakter bangunan masjid tersebut. Wujud pada bangunan masjid konsepsinya kembali pada pemurnian arti masjid yang merupakan tempat bersujud, tanpa aturan keseragaman bentuk yang menjadi tonggak perkembangan intelektual Islam dari segi pemurnian bentuk arsitektur rumah ibadah Islam (Supriatna & Handayani, 2021).

Selanjutnya ornamen Masjid Raya Sumatra Barat dibagi menjadi dua bagian yaitu ornamen secondary skin bangunan utama dan ornamen pendukung. Ukiran penyusun secondary skin Masjid Raya Sumatra Barat merupakan 13 ukiran suku Minangkabau, 13 rukun salat, dan termasuk kesesuaian makna yang terkandung di dalam 13 ornamen untuk bangunan ibadah Masjid Raya Sumatra Barat. Kombinasi ornamen suku Minangkabau dengan konsep desain secondary skin, jadi gaya desain yang terbarukan atau neo-vernacular. Ukuran yang besar dan jarak secondary skin dengan dinding masjid membuat Masjid Raya Sumatra Barat menjadi sejuk, dan sistem sirkulasi udara dan pencahayaan yang lancar. Material ornamen Secondary skin pada Masjid Raya terbuat dari fiberglass composit yang kuat ringan dan kokoh. Material ini juga membuat tekstur ornamen menjadi halus dan bervolume. Sedangkan teknologi yang digunakan pada Masjid Raya Sumatra Barat hanya teknologi sederhana yaitu ornamen berongga dan permainan warna pencahayaan buatan (lampu) (Islahuddin et al., 2022).

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan lain mengenai arsitektur

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//