• Opini
  • Sulitnya Melestarikan Arsitektur Nusantara di Masa Kini

Sulitnya Melestarikan Arsitektur Nusantara di Masa Kini

Melestarikan arsitektur nusantara ke dalam bangunan modern sudah diupayakan sejak masa Presiden Sukarno. Namun hingga kini, masih sulit terealisasi.

Dany Fadhilah

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Gedung heritage jadi salah satu penanda kota di Jalan Asia Afrika, Bandung, Jumat (3/12/2021). Jalan Asia Afrika merupakan bagian dari De Grote Post Weg atau Jalan Deandels. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

8 Januari 2022


BandungBergerak.idSeni arsitektur di Indonesia mengalami perubahan dari tahun ke tahun, dari zaman ke zaman. Bergantinya zaman membuat arsitektur memiliki bentuk dan filosofi yang berbeda. Begitupun ada perbedaan nilai antara seni arsitektur asli nusantara dan arsitektur yang datang belakangan ke nusantara.

Pada tahun 10.000 Sebelum Masehi, nusantara memiliki berbagai macam suku-suku kecil tersebar luas di Indonesia yang membentuk tradisi arsitektural tradisional bernama vernacular. Arsitektur vernacular mempunyai bentuk bangunan unik yang mememiliki arti tersendiri dalam desainnya. Pada zaman ini bangunan-bangunan dikaitkan dengan tubuh manusia yang dibagi menjadi kepala, badan, dan kaki karena kebudayaannya yang padat. Contoh bangunan arsitektur vernacular terlihat pada rumah-rumah adat.

Loncat ke tahun 200 Masehi, agama Hindu dan Budha masuk ke nusantara berkat pedagang-pedagang dari India. Pada zaman ini, batu dan bata mulai diterapkan di berbagai arsitektur, hal ini dapat dilihat dari candi-candi yang dibangun pada zaman klasik pertengahan.

Berikutnya, migrasinya pedagang-pedagang Islam dari Cina dan negara timur tengah ke nusantara terjadi pada tahun 1500 Masehi. Pengaruh budaya Islam dan Cina membuat kota-kota pelabuhan di nusantara menjadi lebih modern. Pengaruh arsitektur Cina bukan hanya terjadi pada teknik konstruksi saja, melainkan juga memperkenalkan macam-macam tipologi elemen rumah.

Sedangkan tipologi masjid mulai terbentuk pada abad ke-14 dan abad ke-15. Tradisi arsitektur Islam tidak melakukan banyak perubahan, tetapi lebih mengandung adaptasi dari tradisi arsitektur yang telah ada di Indonesia, yakni arsitektur pada masa vernacular dan Hindu dan Budha.

Pada tahun 1600 Masehi, Indonesia kedatangan pedagang dari Eropa. Perbedaan budaya ini membuat nilai-nilai pada masa sebelumnya menghilang. Pada abad ke-19 setelah penggabungan teritori, lahirlah arsitektur kolonial. Arsitektur kolonial digunakan untuk mempertahankan kekuasaan Belanda. Arsitektur ini dapat dilihat dengan pilar-pilar yang bergaya Romawi. Pada waktu ini juga, teknik arsitektur berevolusi menggunakan material batu, besi, dan genting.

Tahun 1920 di Indonesia muncul arsitektur art deco, seni bangunan yang awalnya berkembang di Prancis. Meskipun bergaya kebaratan, gaya tersebut mudah diterima di Indonesia karena memiliki ciri yang sama dengan arsitektur pada zaman protomodern. Gaya bangunan ini masih diadopsi hingga kini.

Baca Juga: BUKU BANDUNG (13): C. P. Wolff Schoemaker sebagai Arsitek dan Seniman, serta Keterlibatannya dalam Partai Sempalan
BUKU BANDUNG (17): Perusakan Bangunan Cagar Budaya dalam Catatan Haryoto Kunto
Gedung Jiwasraya Bandung Dilelang, Pelestarian Cagar Budaya Jangan Hilang

Kendala Memodernisasi Arsitektur Nusantara

Setelah merdeka, Sukarno membuat konsep arsitektur berjati diri Indonesia. Sukarno ingin negaranya sejajar dengan negara barat yang maju dengan cara memodernisasikan beberapa aspek kehidupan. Tetapi, kenyataanya arsitektur nusantara sulit berkembang. Ini disayangkan karena sejarah dan kekayaan budaya leluhur di Indonesia dilupakan.

Maka dari itu, akan sangat penting jika arsitektur nusantara dilestarikan, tetapi banyak sekali penyebab mengapa arsitekur nusantara sulit untuk dilestarikan pada masa kini. Salah satu penyebab mengapa arsitektur nusantara menghilang yaitu adanya globalisasi yang membuat masyarakat lebih memilih bergaya kebarat-baratan.

Globalisasi mengakibatkan cenderung meminggirkan masyarakat yang kental dengan budaya lokalnya. Masyarakat yang masih menerapkan budaya nusantara sering dikatakan terbelakang. Untuk itu, pola pikir masyarakat perlu diubah, bahwa tradisi budaya nusantara bukanlah budaya yang harus ditinggalkan, melainkan budaya yang harus dipertahankan dan diambil filosofi peradabannya.

Dalam arsitektur Indonesia, bentuk dan filosofi bangunan pada masa kini hanya mengikuti tren yang bergaya kebarat-baratan. Mangunwijaya berpandangan bahwa arsitektur barat bukan satu-satunya kebenaran arsitektur. Ia menegaskan bahwa arsitektur barat berbeda dengan arsitektur nusantara (Prijotomo, 2007).

Berarsitektur artinya berbahasa dengan ruang dan gatra, dengan material dan suasana tempat, sudah sewajarnyalah kita berarsitektur dengan nurani dan tanggung jawab (Mangunwijaya,2009). Mangunwijaya sangat menekankan arsitek sebagai pelaku yang bertanggung jawab dalam mewujudkan karyanya, arsitek harus memikirkan kondisi dan situasi lingkungan sosial, arsitek juga harus menyikapi globalisasi agar arsitektur di Indonesia tidak kehilangan jati diri.

Di sisi lain, perkembangan arsitektur tidak dipengaruhi oleh arsitek saja melainkan masyarakatnya. Menurut William Wayne Caudill (Architecture by Team, Van Nostrad Reihold 1971) bukan bentuk dan ruang yang dinamai arsitektur, arsitektur terjadi saat seseorang mengapresiasi bentuk dan ruang tersebut. Pernyataan ini memiliki arti bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam arsitektur. Masyarakat di sini sangat dituntut untuk ikut berperan dalam perkembangan arsitektur, maka diperlukan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya peran arsitek dalam pembangunan bangsa.

Terakhir, ada kesalahan arsitek sendiri dalam mengaplikasikan arsitektur nusantara ke masa modern dewasa ini. Tidak sedikit arsitek yang mencoba menghidupkan kembali arsitektur nusantara pada masa kini, tetapi mereka gagal dalam proses pembuatannya.

Sebagai contoh, pada 1 September 1984, Gubernur Jawa Tengah Muhamad Ismail memerintahkan agar atap Rumah Sakit Prof. Margono Sukardjo di Purwokerto diubah menjadi atap bergaya joglo, tetapi yang membuat hal ini terkesan aneh adalah bangunan tersebut justru mempunyai gaya arsitektur Yunani.

“Sangat disayangkan bahwa arsiterktur bagi kebanyakan orang di Indonesia hanya mengenal luarnya saja, mereka tidak peduli dengan isi (arsitektur) tersebut, padahal isi tersebut memiliki pikiran dan arti yang memberi arsitekturnya,” kata Menurut Prof. VR. Van Romondt.

Nampaknya arsitektur pada masa kini hanya mementingkan tampak luarnya saja tanpa mengerti isi dari bangunan tersebut. Seharusnya, isi dan tampak harus memiliki makna yang sama dalam arsitektur untuk mempunyai karakter ruang yang baik. Menurut Andra Matin, arsitektur Indonesia terus berkembang dan bergerak maju, tetapi dengan banyaknya pengaruh dari luar membuat tugas untuk melestarikan arsitektur nusantara menjadi lebih sulit, dalam hal ini kita sebagai masyarakat dan arsitek Indonesia harus berupaya dan berpartisipasi untuk melestarikan filosofi dan budaya-budaya nusantara supaya budaya ini terus berkembang sampai masa yang akan mendatang.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//