Ada 10 Pemilik Bangunan Heritage di Bandung Meraih Anugerah Cagar Budaya 2021, Bagaimana dengan Pemilik Heritage Lainnya?
Tidak sedikit heritage di Bandung yang pemiliknya sudah tua dan kebingungan membiayai dan merawat bangunan kunonya.
Penulis Sarah Ashilah18 Desember 2021
BandungBergerak.id - Pemerintah Kota Bandung mengumumkan 10 pemilik atau pengelola cagar budaya dalam acara Anugerah Cagar Budaya 2021 yang digelar di Hotel el-Royale, Bandung, Jumat (17/12/21) malam. Penghargaan ini diberikan dalam rangka mengapresiasi para pemilik bangunan kuno (heritage) yang selama ini telah merawat bangunan cagar budaya.
Acara pemberian anugerah tahunan sejak 2016 dibuka oleh Kenny Dewi Kaniasari, selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung. Dalam waktu lima tahun, Kota Bandung telah memberikan penghargaan pada 30 orang pemilik atau pengelola bangunan cagar budaya di Kota Bandung.
Kenny memaparkan, diadakannya Anugerah Cagar Budaya demi membangun semangat dari para pelestari bangunan cagar budaya, agar mereka terus melakukan konservasi sesuai kaidah yang benar, baik secara interior maupun eksterior. Diharapkan acara ini akan mendorong pemilik bangunan cagar budaya untuk terus melakukan inovasi, serta memanfaatkan bangunan cagar budaya sesuai dengan fungsinya.
“Penyeleksian dilakukan pada 20 bangunan. Ada tiga tahap sebelum menentukkan penerima penghargaan, yakni pengumpulan nominator, lalu pelaksanaan survey lapangan, dan terakhir adalah penetapan penerima anugerah,” tutur Kenny.
Ketua Bandung Heritage, Aji Bimarsono, lalu mengumumkan penerima penghargaan berdasarkan 5 kategori, sebagai berikut:
1. Kategori Perlindungan I (Kawasan Kota Taman), yang dimenangkan oleh rumah tinggal di Jl. Cisangkuy No. 50, Jl. Aria Jipang No. 7, dan Jl. Kencana No. 3.
2. Kategori Perlindungan II (Aset yang Langka dan Terancam Punah), dimenangkan oleh rumah tinggal di Jl. Kebonjati No. 125/8, rumah ini masih merupakan peninggalan Babah Kuya. Lalu ada juga rumah tinggal di Jl. Gempol No. 8.
3. Kategori Pemanfaatan 1 (Bangunan Umum yang Harus Terus Beradaptasi), dimenangkan oleh gedung Balai Pertemuan Ilmiah Institut Teknologi Bandung (BPI ITB), dan Gereja Bethel.
4. Kategori Pemanfaatan 2 (Alihfungsi Rumah Tinggal menjadi Non-Hunian), penghargaan didapatkan oleh rumah tinggal di Jl. Brantas No. 23 yang kini menjadi sekretariat Ikatan Arsitek Indonesia, Jawa Barat. Lalu, rumah tinggal di Jl. Cipaganti No. 146, kini menjadi rumah makan Dahapati.
5. Kategori Pengembangan (Revitalisasi yang Baik) dimenangkan Antico Caffe di Jl. Cilaki No. 9.
Yana Mulyana, Plt. Wali Kota Bandung, menyampaikan rasa terima kasihnya pada pemilik atau pengelola bangunan cagar budaya yang sudah melakukan pelestarian terhadap objek budaya.
“Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, karena menjaga bangunan cagar budaya bukanlah hanya tanggung jawab pemerintah semata, namun memerlukan partisipasi masyarakat yang di antaranya, menguasai secara hukum atas objek cagar budaya yang ada di Kota Bandung,” terang Yana Mulyana.
Peraturan Daerah Kota Bandung No. 7 Tahun 2018 telah menetapkan bahwa sebanyak 1.770 bangunan di Kota Bandung, ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Untuk itu jugalah di malam Anugerah Cagar Budaya 2021 ini, Pemerintah Kota Bandung juga meluncurkan Sistem Informasi Cagar Budaya Prestisius Terintegrasi (Sigayapinter), yang bertujuan dalam memudahkan akses tentang keberadaan bangunan cagar budaya di Kota Bandung.
Selain itu, Sigayapinter juga memuat berbagai informasi dan data di balik berdirinya bangunan-bangunan cagar budaya yang ada. Untuk sementara, program ini hanya bisa diakses melalui website. Sigayapinter dalam bentuk aplikasi smartphone sendiri, saat ini masih dalam tahap pengembangan.
Sebagai bentuk inovasi, di setiap tembok bangunan cagar budaya Kota Bandung akan tersedia barcode yang memuat informasi sejarah bangunan itu. Barcode ini akan terintegrasi dengan Sigayapinter yang menyajikan data terkait bangunan tersebut.
Dilema Pemilik Heritage
Bangunan Cagar Budaya di Kota Bandung selalu memiliki daya tariknya tersendiri, baik bagi wisatawan maupun warga Kota Bandung. Arsitekturnya yang antik dan sejarah yang pernah terjadi di dalamnya menjadi nilai berharga untuk dilestarikan keberadaanya.
Seperti telah disinggung, jumlah bangunan heritage yang terdata di Kota Bandung sebanyak memiliki 1.770 unit. Namun di luar angka tersebut, disinyalir masih ada bangunan-bangunan yang memiliki nilai cagar budaya. Sebagian besar bangunan cagar budaya ini dikuasai oleh masyarakat atau swasta.
Di balik penguasaan heritage tersebut terdapat masalah yang dihadapi para pemilik, mulai dari biaya perawatan yang bersinggungan pula dengan biaya hidup sang pemilik. Masalah ini pernah disinggung Sudarsono Katam saat berbincang dengan BandungBergerak.id, beberapa waktu lalu.
Sudarsono Katam yang banyak menulis buku-buku tentang sejarah Bandung, termasuk soal heritage, mengatakan bahwa ada dilema di balik penggalakan cagar budaya. Selama ini, isu cagar budaya lebih banyak terfokus pada pelestarian benda cagar budayanya. Sedangkan pelestarian benda cagar budaya tidak lepas dari kondisi pemiliknya. Tidak sedikit heritage yang dimiliki oleh individu atau masyarakat.
“Cagar budaya digalakkan bagus, tapi banyak dilemanya. Misalnya ada heritage kelas A yang tidak boleh diubah dan sebagainya. Sedangkan yang punya rumah sudah tua, tidak punya biaya, dia perlu dana buat hidup, hartanya cuma itu-itunya. Itu dilemma, dia mau hidup dari mana?” kata Sudarsono Katam.
Menurutnya, masalah tersebut yang harus dicari solusinya oleh Pemkot Bandung. Pelestarian heritage perlu sejalan dengan dampaknya terhadap pemilik heritage itu sendiri.
Baca Juga: Sahabat Heritage Indonesia: Mencintai Cagar Budaya dengan Berkomunitas
Komunitas Aleut Susuri Rantai Sejarah Bandung sampai Gunung
Konflik Pemanfaatan Kawasan Cagar Budaya
Pengelolaan heritage bahkan bisa memicu konflik jika tidak didukung kebijakan yang lengkap dan bijak. Supratikno Rahardjo dari Departemen Arkeologi Universitas Indonesia dalam dalam makalah ilmiah “Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya”, mengurai dua sumber konflik utama yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan cagar budaya, yaitu masalah lahan dan masalah cagar budayanya sendiri.
“Terdapat korelasi antara tingkat konflik dengan kondisi kepemilikan lahan. Di kawasan-kawasan cagar budaya yang status kepemilikan tanahnya lebih banyak dikuasasi oleh masyarakat, maka tingkat potensi konfliknya relatif tinggi,” ungkap Supratikno Rahardjo.
Konflik tersebut berkaitan dengan lemahnya dukungan hukum bagi pengelola untuk melindungi temuan-temuan arkeologi yang ada di atas dan di dalam tanah milik masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah sulitnya mengendalikan pemanfaatan lahan untuk keperluan pertanian, perumahan dan pembangunan sarana publik, baik yang dilakukan atas dasar hak kepemilikan pribadi, penyewaan lahan maupun penjualan lahan.
Ia menyebut potensi konflik tersebut terjadi di semua heritage di Indonesia. Potensi konflik semakin tinggi jika kawasan heritage tersebut berada di permukiman padat penduduk.
Sumber konflik lainnya adalah status kepemilikan atau penguasaan cagar budayanya sendiri. Sebab tidak semua cagar budaya dimiliki oleh pemerintah. Bahkan sebagian besar cagar budaya berada di bawah pengelolaan masyarakat, terutama cagar budaya yang masuk kategori living monument.