Nestapa Nelayan Akibat Kasus Korupsi PLTU 2 Cirebon

KPK telah menetapkan Hery Jung selaku GM Hyundai Indonesia sebagai tersangka kasus suap perizinan PLTU 2 Cirebon. Perkara ini jalan di tempat.

Kapal-kapal di muara Desa Citemu, Kec. Mundu, Kab. Cirebon, Jumat, 31 Mei 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul28 Juni 2024


BandungBergerak.idTamari menambatkan kapal di pelabuhan kecil Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon menjelang tengah hari. Di belakangnya, ada sekitar enam kapal yang tengah menyusuri muara di bawah terik matahari. Tamari harus ekstra hati-hati di separuh perjalanan menyusuri muara. Kanan-kiri muara itu telah dipenuhi kapal-kapal yang pulang lebih awal.

Sekitar 20 meter mencapai tempat penambatan, Tamari mengangkat kincir kemudi, melambatkan laju kapal. Sebuah kapal yang tertambat di tengah-tengah muara menghalangi jalan. Dengan cermat ia melangkah ke ujung kapal, mendorong kapal itu merapat ke pinggir muara, hingga tersisa celah untuk “Sri Mulya” tiba di penambatan.

Kapal dengan tubuh berkelir kuning dan gambar burung elang di buritan itu tiba di tempat biasa ia berlabuh. Tamari mengeluarkan tali-temali untuk diikatkan ke kapal. Setelah memastikan setiap sudut kapal tertambat sempurna, ia mengeluarkan hasil tangkapan laut yang ia peroleh selama melaut delapan jam lebih.

Dari dalam terpal hitam, Tamari meruahkan ikan-ikan kecil ke dalam sebuah ember dari galon bekas. Pergi melaut sejak pukul empat subuh, tak membuat ember galon itu penuh. Selain ikan-ikan kecil yang beragam jenis, Tamari juga membawa pulang sedikit udang dan cumi.

“Hasilnya ini (kalau diuangkan) paling 50 (ribu rupiah) atau 100 (ribu rupiah). Alat bakar aja gak cukup untuk solar, mesin,” keluh Tamari yang melaut seorang diri, Jumat, 31 Mei 2024. “Lagi susah nelayan sekarang, pas-pasan.”

Cuaca yang tidak bisa diprediksi menjadi salah satu kendala dalam melaut. Itulah yang membuatnya pernah pulang hanya membawa hasil satu sampai dua kilogram. Kadang-kadang ia pulang dengan tangan kosong. Padahal setiap kali melaut, Tamari harus mengeluarkan modal 50 ribu rupiah untuk solar sebanyak lima liter.

Tamari sebenarnya melaut khusus mencari udang. Namun belakangan udang tengah sulit. Makanya hasil laut apa saja yang ia dapatkan, ia bawa pulang. Jumat itu, sebelum bergegas pulang untuk jumatan, Tamari memisahkan sebagian udang dan cumi untuk dibawa pulang ke rumah. Ia menaruhnya ke dalam wadah yang bertutup. Adapun sisanya yang lebih banyak ditaruh di dalam ember, dijual untuk biaya pengganti modal.

Tepat saat Tamari meninggalkan kapalnya, seorang nelayan lain tiba di penambatan. Nelayan pencari kerang itu juga kurang beruntung nasibnya. Ia hanya membawa pulang separuh karung berisi kerang. Betapa sedikit hasil melaut yang ia dapat selama lebih dari delapan jam di tengah lautan.

Tak jauh dari penambatan kapal di muara Desa Citemu itu, Zainab (50 tahun) dan Sani (62 tahun) menanti hasil-hasil nelayan di bawah rindang pohon asam. Sani, yang sudah menjadi nelayan sejak umur 15 tahun mengaku penghasilan laut tidak bisa diharapkan lagi untuk kehidupan sehari-hari.

“Dulu pas jayanya sehari bisa dapat 1 juta. Bisa dipakai beli solar, beli rokok. Itu bisa ada temannya (melaut) 1-2 (orang) bisa kasih lebih 100-200 (ribu rupiah), sisanya bisa nyimpan. Sekarang dapatnya 150 (ribu rupiah),” cerita Sani. “Untuk makan aja susah.”

Penurun hasil laut dialami para nelayan akibat aktivitas PLTU. Hal yang sama juga dikeluhkan Zainab, nelayan yang memiliki 14 orang cucu. “Bawa limbah banyak. Iku pada ngomong ikan-ikan mati semua, ngambang semua kena limbah PLTU. Nelayan bakal ini mati semua ikannya,” ungkap Zainab dengan aksen khas Cirebon.

Dua nelayan yang baru pulang melaut tadi, membawa hasil melautnya ke Zainab dan Sani. Lalu menggunakan sepeda dan menenteng ember-ember berisi hasil laut, mereka pulang. Bergegas ke masjid untuk mendirikan salat Jumat.

Tamari (50 tahunan), menunjukkan hasil tangkapan melautnya selama delapan jam lebih, Desa Citemu, Kab. Cirebon, Jumat, 31 Mei 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
Tamari (50 tahunan), menunjukkan hasil tangkapan melautnya selama delapan jam lebih, Desa Citemu, Kab. Cirebon, Jumat, 31 Mei 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Dampak Mulai Terasa Sejak 2008

Awal 2007 lalu, gonjang-ganjing rencana pembangunan PLTU di Cirebon mencuat di kalangan masyarakat, khususnya yang akan merasakan dampak paling cepat aktivitas pembangkitan listrik, yaitu masyarakat Kanci Kulon. Sekitar Februari 2007, dilakukan pertemuan antara pemerintah daerah, pemerintah desa, para pemilik tanah, dan perwakilan masyarakat. Kabar pertemuan itu didapati oleh Ketua Rakyat Penyelamat Lingkungan (Rapel), Aan Anwarudin dari koleganya yang wartawan.

Tak hanya itu, para calo tanah pun ikut hadir pada pertemuan yang diniatkan sebagai sosialisasi pembangunan PLTU kepada warga. Pemerintah daerah, dalam pertemuan itu, menanyakan kepada warga, apakah mereka setuju jika lahannya dibebaskan untuk pembangunan PLTU. Lahan-lahan yang dimiliki oleh masyarakat mayoritas dimanfaatkan untuk tambak garam, tambak ikan/udang, pembuatan terasi, hingga lahan pertanian.

“Yang bilang setuju pada saat itu adalah para calo. Sedangkan warga pada saat itu kebingungan PLTU itu apa, nanti seperti apa,” cerita Aan saat dihubungi BandungBergerak dari Bandung, Jumat, 21 Juni 2024.

Setelah pertemuan itu, kata Aan, masyarakat mulai merasakan intimidasi agar melepaskan tanah-tanah mereka untuk pembangunan PLTU Cirebon 1. Masyarakat disebut ditakut-takuti, harus menaati imbauan untuk menjual tanah, sebab ini merupakan program pemerintah. Aan merupakan salah seorang yang vokal menolak PLTU, hingga hari ini.

Sekitar bulan Juli, proses pembangunan PLTU Cirebon 1 telah dimulai. Beberapa lahan warga yang telah dibebaskan dibeli seharga 14.000 rupiah per meter. Aan dan kawan-kawan nelayan lainnya di bawah naungan Rapel mempertanyakan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan sosialisasi yang bermakna kepada masyarakat.

“Ketika ada kumpulan, selalu ada bahasa dari oknum aparat bahwa nanti 'Aan saya tangkap', 'Aan nanti saya penjarakan'. Jadi warga ini ketakutan. Aan yang berani saja akan ditangkap, apalagi mereka. Dan kita tidak berhenti, terus melakukan demo-demo,” ungkapnya penuh semangat.

Penolakan PLTU, bukan tanpa alasan. Proses pembangunannya dipenuhi intimidasi kepada masyarakat untuk melepaskan tanah, banyak manipulasi, serta proses pembangunan yang dilakukan lebih dulu tanpa adanya AMDAL. Aan menyebut, dampak dari PLTU mulai dirasakan masyarakat pada 2008, ketika proses pengurugan lahan dimulai.

PLTU Cirebon 1 berada di Kanci Kulon. Namun, dampaknya dirasakan oleh kebanyakan wilayah pesisir Cirebon yang memanfaatkan hasil tangkapan laut, seperti Waruduwur, Citemu, maupun Mundu. Kata Aan, perubahan sangat signifikan terjadi di Kanci Kulon, yang dulunya, tanpa perlu kapal besar, masyarakat bisa mendapatkan hasil tangkapan laut sebesar 00 ribu rupiah hingga 1 juta rupiah per hari. Hasil itu didapatkan dengan mencari ikan hanya menggunakan ban di pesisir-pesisir.

“Makanya pada saat PLTU belum berdiri, para sarjana lahir dari para nelayan, bisa berangkat haji, bisa bangun rumah, bisa beli kerbau. Dampak dirasakan warga sekitar tahun 2008an, saat pengurugan di laut bagian pinggir. Dari situ saja, secara otomatis, warga yang memiliki tanah sudah kehilangan mata pencahariannya. Ditambah lagi buruh garam, buruh tani, buruh tambak ikan maupun udang. Sudah hampir ribuan (korban yang terdampak),” ungkap Aan.

Aan juga menyebutkan perihal Kanci Kulon yang memiliki kekayaan hasil laut melimpah. Dulunya ada rebon, bahan utama membuat terasi, beragam jenis ikan, udang, kepiting, rajungan, mimi (belangkas), serta jenis-jenis kerang lainnya.

“Saat laut ditutup, habitatnya kan pergi,” ungkap Aan. “Kita gak pernah kekurangan makanlah sebelum PLTU berdiri. Asal modal tenaga, semangat, Insya Allah, balik-balik itu ya dapat aja. Ya sekarang sih udah gak ada sama sekali.”

Maka demikianlah, sejak proses pembangunan PLTU Cirebon unit 1 yang berkapasitas 1 x 660 MW, dampak negatif bagi masyarakat yang menggantungkan penghidupan dari laut mulai terasa. Sayangnya, kondisi ini semakin diperparah saat hadirnya PLTU Cirebon Unit 2. Kedua pembangkit energi fosil ini terletak bersebelahan, di Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon.

Uang Panas Proyek Pembangunan PLTU Cirebon 2

PLTU Cirebon 1 resmi beroperasi pada tahun 2012. Lima tahun setelahnya, dimulailah pembangunan PLTU Cirebon 2 berkapasitas 1.000 MW yang merupakan ekspansi dari PLTU 1. Pembangunan PLTU dengan kapasitas yang lebih besar ini berlangsung selama enam tahun, sejak 2017 hingga 2023.

Mei 2023, PLTU yang diklaim lebih ramah lingkungan dari pendahulunya karena menggunakan teknologi ultra super critical ini mulai beroperasi. Pembangunan pembangkit listri menggunakan energi kotor batu bara ini pun dinilai lebih aman karena berlangsung cepat, tanpa kecelakaan kerja, dan sesuai anggaran, tepat waktu, dan kualitasnya.

“Banyaknya pekerja yang mencapai 1.590 orang ini memberikan peluang rejeki bagi masyarakat di sekitar proyek, ada yang membuka jasa pijit, kemudian warung kelontong berbagai kebutuhan makan dan minum, rumah kontrakan atau kosan dan juga jasa penitipan sepeda motor,” demikian ucap Teguh Haryono, Direktur Corporate Affairs Cirebon Power, Jumat, 22 Februari 2019, dikutip dari laman cirebonpower.co.id.

PLTU Cirebin Unit 2 diklaim mampu mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) per megawatt hour mencapai 70 persen lebih rendah dibandingkan dengan pembangkit konvensional. Di samping itu, PLTU Cirebon 1 pernah meraih penghargaan The Green Era Sustainibility Award 2019, ISO 9001, 14001, 45000, IBEA 2018 The Most Environmetnal Conserned Company, dan lainnya.

Sayangnya, pembangkit listrik ini terasa kian kotor menyusul kasus korupsi yang terjadi di dalamnya. Bupati Cirebon periode 2014-2018, Sunjaya Purwadisastra ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT), Rabu, 24 Oktober 2018.

Sunjaya Purwadisastra diadili, salah satunya karena menerima suap sebesar 11 miliar rupiah terkait perizinan PLTU 2 Cirebon dan pengembangan kawasan industri Kings Property. Selain itu, ia juga dituduh menerima uang sebesar 55 miliar rupiah dari SKPD atas rotasi, mutasi, rekrutmen honorer, serta fee sejumlah proyek.

Pada 2019, KPK menetapkan Sunjaya sebagai tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ia divonis lima tahun penjara serta denda 200 rupiah subdibser lima bulan kurungan. Pada 2023, Pengadilan Tinggi Pidana Korupsi Bandung, menetapkan kembai Sunjaya sebagai tersangka korupsi, suap, dan TPPU, berdasarkan putusan nomor 49/Pid.Sus-TPK/2023/PN Bdg.

Pada putusan ini, ia divonis tujuh tahun penjara dan denda 1 milliar rupiah subsider tiga bulan penjara. Sunjaya, lantas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Sayangnya, majelis hakim menolak banding dan hukumannya diperberat menjadi sembilan tahun penjara dengan 1 miliar rupiah subsider tiga tahun.

Sunjaya didakwa atas kasus suap, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar 66 miliar rupiah yang ditaruh di berbagai rekening atas namanya sendiri maupun identitas orang lain, maupun ditaruh dalam bentuk berbagai aset.

PT Hyundai selaku kontraktor pembangunan pun ikut terlibat pada kasus korupsi ini sebagai pemberi suap. General Manager (GM) Hyundai Herry Jung sepakat memberikan 10 miliar rupiah kepada Sunjaya agar proyek pembangunan PLTU Cirebon 2 berjalan lancar tanpa penolakan masyarakat. Angka 10 miliar rupiah terbit setelah negosiasi yang awalnya diminta oleh Sunjaya untuk mengamankan demo sebanyak 20 miliar rupiah.

Kasus korupsi ini juga terkait suap pembuatan proses izin PLTU Cirebon 2 dan perubahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon. Pascakeluar Fatwa Rencana Pengarahan Lokasi Nomor: 503/0129.02/BPPT tanggal 01 Maret 2017 dan bukti Perpanjangan Izin Lokasi Nomor: 503/0133.03/ DPMPTSP tanggal 13 Maret 2017, Herry Jung memberikan uang terima kasih sejumlah 50 juta rupiah kepada saksi Dede Sudiono dan Muhadi di Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).

Kasus korupsi di PLTU Cirebon 2 ini melibatkan banyak pihak, mulai dari bupati, jajaran pemerintah, pihak kecamatan, dan pihak swasta. Akibat kasus ini, Sunjaya yang menang sebagai bupati periode kedua di tahun 2019, hanya sempat menjabat selama 15 menit setelah pelantikan, sebelum akhirnya dipanggil KPK dan menghadap ke pengadilan.

Tamari (50 tahunan), menunjukkan hasil tangkapan melautnya selama delapan jam lebih, Desa Citemu, Kab. Cirebon, Jumat, 31 Mei 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
Tamari (50 tahunan), menunjukkan hasil tangkapan melautnya selama delapan jam lebih, Desa Citemu, Kab. Cirebon, Jumat, 31 Mei 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Menangkap Seluruh yang Terlibat

Ketua Rapel Aan Anwarudin menyayangkan atas kasus korupsi di PLTU Cirebon 2 yang hanya menjerat mantan Bupati Cirebon Sunjaya saja. Sedangkan, banyak pihak-pihak lain yang terlibat, seperti pemberi maupun penerima suap, tidak ikut ditangkap.

“Saya berharap kepada pimpinan KPK yang baru ini segera kembali menginvestigasi praktik-praktik kotor yang ada di PLTU Cirebon. Karena saya melihat, tidak hanya Sunjaya yang menerima dan tidak hanya Herry Jung yang memberi, tetapi ada perintah, ada banyak yang terlibat,” ungkap Aan di ujung telepon, mendesak lembaga antirasuah.

Berkaitan dengan izin lingkungan pendirian PLTU Cirebon 2 kapasitas 1.000 MW, masyarakat terdampak yang terdiri dari enam orang (penggugat) dan diwakili Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim telah menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung pada tahun 2016 dengan nomor: 124/G/LH/2016/PTUN-BDG. Adapun yang menjadi tergugat dari perkara kasus ini merupakan Kepala Badan Penanaman Modal dan Prizinan Terpadu Provinsi Jabar yang didampingi Tim Bantuan Hukum Pemerintahan Propinsi Jabar.

Objek perkata gugatan ini berupa Surat Keputusan Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Provinsi Jawa Barat Nomor: 660/10/19.1.02.0/BPMPT/2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Pembangunan dan Operasional PLTU Kapasitas 1x1000 MW Cirebon Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu Daerah Kabupaten Cirebon oleh PT Cirebon Energi Prasarana tertanggal 11 Mei 2016, yang ditandatangai oleh Kepala BPMPT Provinsi Jawa Barat.

Salah satu alasan yang mendasari gugatan tersebut adalah lokasi pembangunan PLTU Cirebon 2 itu bukanlah tempat yang diperuntukkan untuk PLTU. Selain itu, dengan dibangunnya PLTU akan berpotensi menghilangkan mata pencaharian masyarakat sekitar.

Putusan tersebut menyatakan mengabulkan gugatan para pengugat untuk seluruhnya. Dengan putusan ini, SK Kepala BPMPT Provinsi Jabar tentang Izin Lingkungan Kegiatan Pembangunan dan Operasional PLTU Kapasitas 1x1000 MW Cirebon Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu Daera Kabupaten Cirebon oleh PT CEP dinyatakan batal dan mewajibkan para tergugat untuk mencabut SK tersebut.

Direktur Eksekutif LBH Bandung, Heri Pramono menyebutkan, gugatan tersebut membawa kabar baik, awalnya. Tetapi, untuk memperlancar pembangunan PLTU, akhirnya, dibuatlah RTRW Nasional di pusat, setingkat di atas RTRW daerah yang menjadi stimulus pembangunan PLTU Cirebon 2. RTRWN itu menjadi karpet merah untuk melancarkan pembangunan PLTU Cirebon 2.

Berkaitan dengan kasus korupsi yang terjadi di PLTU Cirebon 2, Heri menyebut energi kotor memang kerap tidak lepas dari kerja-kerja politik yang kotor pula. Ia menilai, korupsi berpotensi besar terjadi di PLTU disebabkan adanya campur tangan pendanaan luar negeri, serta projek ambisius negara yang diberi nama Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tidak mempertimbangkan kondisi tata ruang, ekologi, dan kondisi masyarakat sekitar.

“Sehingga praktik-praktik korup itu ya rentan terjadi. Negara selalu dalihnya adalah meninggalkan energi kotor. Tapi tetap saja membangun PLTU. Ya dengan cara-cara yang berkaitan dengan hak atas lingkungannya dilabrak, tidak mempertimbangkan masyarakat sekitar, tidak mempertimbangkan dampaknya, yang satu lagi ya itu tidak mempertimbangkan, ya mereka mengelola dana yang sangat besar. Ya pasti potensi korupsinya ya terjadi,” jelas Heri saat dihubungi Jumat, 21 Juni 2024. 

Heri berpendapat, korupsi merupakan tindak pidana yang tidak dilakukan seorang diri, melainkan tindak pidana yang melibatkan banyak pihak. Maka dari itu, pengembangan kasus ini perlu dilakukan untuk menjerat terduga tersangka lainnya yang terlibat dalam kasus ini. Di samping itu, Heri juga berendapat pengembangan kasus bisa dilakukan bukan hanya pada kasus korupsi saja, tetapi juga pengembangan kasus terhadap dampak-dampak yang ditimbulkan akibat kasus korupsi.

“Tentunya itu bisa merembet ke mana-mana untuk si pelaku tindak pidananya. Korupsi ini pun bukan cuma penindakan terhadap tindakan korupsinya, tapi apa yang telah dia lakukan gitu. Dampak-dampaknya yang Sunjaya ini kan banyak spektrumnya. Gak cuma pemberian uang, terus pemberian lahan konsesi, tapi juga dampak untuk menstimulus si PLTU ini bisa hadir, itu juga kan ada dampak secara langsung dirasakan masyarakat. Nah ini harusnya menjadi tindakan juga, ketika perluasan (kasus) bukan hanya tindakan korupsinya saja,” tegas Heri. 

Baca Juga: Sidang Gugatan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A, Lingkungan Tercemar dan Mata Pencaharian Petambak Garam Hilang
Walhi Jabar Menyerukan Pensiunkan PLTU Cirebon 1 Sekarang Juga
PTUN Bandung Membatalkan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A Cirebon, Walhi Jabar: Aktivitas Konstruksi Harus Dihentikan

Desakan untuk KPK

Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat Rian Irawan menilai, memang banyak pihak yang terlibat dalam pusaran kasus korupsi di PLTU 2 Cirebon. Satu hal yang ia cermati dari kasus ini, korupsi dilakukan secara sistematis, sebab melibatkan pejabat teras hingga pejabat tinggi untuk merasakan bagaimana nikmatnya “uang panas” dari PLTU.

“Kenapa tadi saya bilang menarik, sistematis nah ini diatur skema gitu kan. Bagaimana kemudian bahwa ketika Hyundai mengeluarkan uang tidak menjadi temuan di perusahaan internalnya. Maka dibuat skema gitu kan bahwa ada salah satu kerabat atau saudara dari salah satu camat, itu dia meminta adiknya (atau) keponakannya atau siapa untuk kemudian dipinjam perusahaannya untuk menitipkan uang,” terang Rian, dalam siniar Suara Pinggiran bersama BandungBergerak.

Dalam lembar fakta yang ditulisnya, Rian mendesak KPK untuk segera menangkap dan mengadili Hery Jung selaku GM Hyundai Indonesia. KPK juga perlu mengusut tuntas pelaku suap perubahan Perda RTRW kabupaten Cirebon dalam rangka memuluskan rencana Pembangunan PLTU Cirebon hingga ke akarnya. 

Rian tegas mendesak agar Hery Jung ditangkap dan diadili sebab ia merupakan intellectual dader dan pemberi dana suap kepada eks Bupati Cirebon beserta Oknum jajaran Pejabat di Pemerintah Kabupaten Cirebon. Berkaitan dengan kasus ini, KPK pun perlu menangkap dan mengadili pejabat korup di wilayah Pemerintah Kabupaten Cirebon. KPK didesak untuk membuka kasus ini secara terang benderang.

Direktur Eksekutif Jawa Barat, Wahyudin sependapat, KPK perlu memberikan informasi seterang-terangnya terkait status pemberi suap, yaitu Hery Jung. Sebab, menurut Iwang, demikian ia kerap disapa, kasus korupsi tidak akan terjadi jika tidak ada pihak yang memberi suap.

“Bukan hanya menjerat Bupati saja, malah yang paling penting kalau dia si pelaku yang pemberi ini tidak diusut, maka dia akan berlenggang sampai kapan pun. Artinya negara melalui KPK semestinya itu harus betul-betul menyasar terhadap pemberi suapnya,” kata Iwang. “Kami masih menunggu hingga saat ini, sikap keberanian KPK itu harus diletakkan terhadap sejauh mana KPK dapat mengusut sampai ke akar-akarnya, salah satunya GM Hyundai.”

KPK sebenarnya telah menetapkan dua orang tersangka dalam pengembangan perkara ini, yakni HEJ (Hery Jung), GM Hyundai Enginering Construction dan STN,  Direktur PT King Properti, 15 November 2019. Keduanya diduga memberi hadiah atau janji kepada SUN (Sunjaya) selaku Bupati Cirebon Periode 2014-2019 terkait dengan perizinan.

“Tersangka HEJ diduga memberi suap sebesar 6,04 miliar rupah kepada SUN sebagai Bupati Cirebon 2014-2019 terkait dengan perizinan PT. Cirebon Energi Prasarana PLTU 2 di Kabupaten Cirebon dari janji awal 10 miliar (rupiah). Pemberian dilakukan dengan cara membuat Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif dengan PT. MIM (Milades Indah Mandiri), sehingga seolah-lah ada pekerjaan jasa konsultasi pekerjaan PLTU 2 dengan kontrak sebesar 10 miliar rupiah,” kata keterangan resmi KPK

Namun, sejak penetapan tersangka sampai hari ini perkara tersebut tidak banyak kemajuan. BandungBergerak telah mencoba menghubungi KPK terkait kemungkinan pengembangan kasus korupsi yang terjadi di PLTU Cirebon 2. BandungBergerak telah mengirimkan pesan permohonan kepada Juru Bicara KPK, Tessa Mahardihka Sugiarto, Jumat, 21 Juni 2024. Tessa lantas mengarahkan untuk menghubungi tim Jubir Bagian Pemberitaan.

Di hari yang sama, BandungBergerak menghubungi Budi Prasetyo, tim Jubir Bagian Pemberitaan KPK. “Mohon maaf, masih kami koordinasikan mengenai substansinya apakah bisa atau tidak untuk memenuhi wawancara,” demikian Budi merespons pesan permohonan wawancara terkait kemungkinan pengembangan kasus korupsi PLTU Cirebon 2 yang masih menyisakan terduga pelaku.

BandungBergerak lantas menanyakan kembali jadwal wawancara kepada Budi Prasetyo pada Senin, 24 Juni 2024 dan Kamis, 27 Juni 2024. BandungBergerak pun mencoba menelponnya. Sayangnya, seluruh upaya tidak kunjung mendapatkan jawaban.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Proyek Strategis Nasional

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//