• Narasi
  • Tari Bajidor, Male Gaze, dan Dinamika Maskulin ke Feminin

Tari Bajidor, Male Gaze, dan Dinamika Maskulin ke Feminin

Male gaze merujuk pada penggambaran wanita dalam karya seni melalui sudut pandang laki-laki. Memosisikan Tari Bajidor sebagai vulgar dan erotis.

Damien Amalaika P. dan Elaine V. B. Kustedja

Mahasiswa dan dosen Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Performance lecture berjudul Pinggul: Subjek, Predikat, Objek membahas mengenai Tari Bajidor karya Ela Mutiara dengan tema Siasat Tubuh di Zaman yang Terus Bergerak di Ruang Putih Bandung pada pada 19 April 2024. (Foto: Damien Amalaika Priambodo)

13 Juli 2024


BandungBergerak.id – Tari Bajidor atau Bajidoran terutama berkembang pada daerah utara Jawa Barat. Kata bajidor sendiri menjadi kependekan dari banjet, tanji, dan bodor. Tari Bajidor muncul bersamaan dengan penontonnya, di mana para penonton ikut menari bersama penari. Dalam kegiatan diskusi Pinggul: Subjek, Predikat, Objek, yang berlangsung di Ruang Putih Bandung pada hari Jumat 19 April 2024 yang lalu, Ela Mutiara mengangkat pengalaman dua penari bajidoran, Cucu Ayu dan Idha Jipo. Kedua penari itu berasal dari ruang dan waktu yang berbeda; Cucu Ayu pada masa Orde Baru dan Idha Jipo pada masa Reformasi.

Diskusi Pinggul: Subjek, Predikat, Objek membahas mengenai karya Ela Mutiara, bernama “Siasat Tubuh di Zaman yang Terus Bergerak”. Sejak masa Orde Baru, Cucu Ayu menggunakan gerakan yang tetap maskulin, masih kental dengan sejumlah besar gerak silat dibanding goyangan; tetap saja disebut sebagai terlalu vulgar dan erotis. Antara standar vulgar dan erotisisme yang berubah atau tarikan maskulinitas dan femininitas, hal itu tidak memiliki pengaruh besar terhadapnya.

Maju ke masa Reformasi, semakin diterima estetik feminin dalam masyarakat luas, termasuk dalam Tari Bajidoran. Idha Jipo, yang juga datang dalam diskusi, melalui penampilan video, memperlihatkan gerakan Tari Bajidoran-nya yang lebih feminin; gerakan khas goyangan posisi nungging, dan dengan gerakan yang jauh lebih tenang. Penonton yang mengganggu juga mulai menurun, karena usaha penari-penari yang berusaha membentuk ruang aman, melalui komunitas antarpenari agar saling menjaga dan mengedukasi penonton untuk bersikap sopan.

Faktor eksternal dalam masyarakat, seperti perubahan penerimaan dan adaptasi terhadap hal “vulgar” juga mempengaruhi bagaimana perilaku berubah. “Budaya dapat berubah,” tegas Ela Mutiara dengan mengangkat kedua tokoh penari itu.

Penggemar sekaligus juga dapat membangun persepsi luar dan dalam terhadap sebuah karya. Persepsi-luar sebagai semua persepsi yang dipengaruhi penggemar sebuah karya seni. Persepsi-dalam sebagai semua persepsi yang terbentuk hanya dari karya itu sendiri. Pada saat apa sebuah karya terlihat lebih melalui penggemar dibanding dengan karya itu sendiri? Seperti pada saat apa Tari Bajidor lebih didefinisikan untuk kelakuan penontonnya dibanding dengan karya penarinya? Membangun persepsi pada karya, itu di luar karya sendiri. Akhirnya yang dianggap adalah respon penggemar, bukan lagi karyanya. Seberapa berpengaruh penggemar itu terhadap persepsi orang luar? Pembentukan konteks yang baru muncul jika penonton menggabungkan karya dengan penggemar, seperti bagaimana Tari Bajidor berjalin dengan para Bajidoran.

Dalam kasus Tari Bajidor, penggemar memiliki pegangan khusus dalam persepsi dan pembentukan konteks karya. Pada saat tertentu, karya dapat kurang berbicara, bergantian dengan persepsi penggemar. Persepsi umum mulai masuk dengan kata-kata tanya; Apa karya yang berbicara atau manusia? Siapa yang memiliki kendali atas persepsi sebuah karya? Karya itu sendiri sebenarnya memiliki kekuatan sendiri untuk memberi pesan kepada partisipa, tetapi tergantung konteks saat itu. Bagaimana dengan kasus pemaksaan partisipasi? Tentunya, untuk memasukkan diri dalam karya dan membentuk makna baru lagi.

Performance lecture tentang Tari Bajidor berjudul Pinggul: Subjek, Predikat, Objek yang berlangsung di Ruang Putih Bandung pada pada 19 April 2024. (Foto: Damien Amalaika Priambodo)
Performance lecture tentang Tari Bajidor berjudul Pinggul: Subjek, Predikat, Objek yang berlangsung di Ruang Putih Bandung pada pada 19 April 2024. (Foto: Damien Amalaika Priambodo)

Baca Juga: Seni Karawitan Sunda, dari Zaman Belanda ke Kampus ISBI Bandung
Seni Gerak dan Strategi Perang dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian
Pergolakan Seni dan Perubahan Sosial: Seni Rakyat dan Identitas Melawan Dominasi

Male Gaze dan ‘Kevulgaran’

Male gaze merujuk kepada penggambaran wanita dalam karya seni melalui sudut pandang laki-laki.  Penilaian baik atau buruk muncul setelahnya, tetapi yang pasti adalah penonton yang memaksakan diri dalam karya (terutama menari bersama penari Bajidor) dapat termasuk sebagai bagian dari karya. Male gaze ini merugikan sekaligus menambah. Pada satu sisi, membahayakan keamanan penari. Sisi lainnya, memberi makna tambahan bagi Tari Bajidor. Apa yang diberi oleh male gaze? Dalam kasus ini, sebagai bentuk perlawanan terhadap male gaze dan karena itu aksi ekstrem oleh penonton sudah berkurang sejak masa reformasi. Sepertinya, terdapat perubahan pemahaman dan ketenangan di atas panggung Bajidor seiring perubahan zaman, layaknya ketenangan penari Bajidor dari tarian para penonton di masa Idha Jipo.

Pandangan Male gaze sangat kentara dalam memosisikan Tari Bajidor yang disebut sebagai vulgar dan erotis, bahkan menjadi perbincangan yang cukup serius, sampai mendapat himbauan dari Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan di tanggal 5 Februari 2009 untuk menghaluskan tarian, menutup ketiak, dan mengurangi 3G (goyang, gitek, geol). Lalu, apakah vulgar karena karya secara mendasar sudah vulgar atau karena respons penggemar?

Pada saat presentasi, Ela Mutiara memutarkan video Tari Bajidoran Cucu Ayu dan Idha Jipo. Melalui pengalaman penulis melihat, kevulgaran itu tidak benar-benar terasa. Bagi penulis yang tidak banyak mengenal tarian ini, lalu saat menonton, tarian ini terlihat seperti gabungan gerakan silat dengan suatu gerakan modern. Tingkat penerimaan ‘kevulgaran’ terasa lebih tinggi sat menonton langsung, dibanding dengan tampilan tarian pada video. Tidak ada pengalaman dua arah, yang ada hanya satu arah dengan layar dalam video itu; interaksi penari dan penonton, rasa multisensoris itu kurang terasa di sana.  

Apakah dengan perubahan waktu dan ruang, hal vulgar itu dapat berkurang? Tentu kemungkinan itu dapat terjadi. Penerimaan penggemar naik dan turun, menyesuaikan dengan reaksi masyarakat. Kevulgaran termasuk sebagai hal yang subjektif, responsnya akan tergantung pada setiap orang. Pengalaman membangun persepsi yang baru. Tentunya, penulis mengalami rasa vulgar dan male gaze yang berbeda dengan pada penggemar berat Tari Bajidoran, terutama dalam beresonansi dengan karyanya.

Karya Ela Mutiara menggambarkan keadaan zaman sekarang dan memberi keleluasaan untuk membayangkan pada masa depan, sekaligus seakan tetap berada pada tahap proses yang tidak pernah selesai. Kita menyadari adanya ujung peradaban, walaupun memahami bahwa kita selalu di tengah. Persoalan gender menjadi hal yang fleksibel dan mulai memisahkan diri dari yang biologis dengan yang sosial. Modernitas berusaha membuat keseragaman pemahaman kita, salah satunya adalah bahwa maskulinitas menjadi bawaan, di mana sebenarnya sama saja seperti femininitas. Maskulinitas mulai pudar, tetapi tidak berarti akan hilang begitu saja. Di mana satu menghilang, satu lagi akan naik, bisa saja Tari Bajidoran menjadi contoh yang tepat untuk memperlihatkan persoalan gender di setiap masanya.

*Artikel ini merupakan bagian dari program Pengabdian Bandung Dance Meeting (Badami)

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Seni

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//