MAHASISWA BERSUARA: Mencari Akar Kemacetan, Melihat Kembali Arah Pembangunan Transportasi Umum Kota Bandung
Konektivitas antarmoda akan mendorong ekosistem transportasi umum lebih terintegrasi sehingga jangkauan layanannya bisa diandalkan. Sayang, masih jauh dari realitas.
Patrick Rafael Wijaya
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
16 Juli 2024
BandungBergerak.id – Kenapa Bandung macet terus? Sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta, tidak pernah terlintas di pikiran saya bahwa tingkat kemacetan di Bandung kini dapat disetarakan dengan Jakarta. Berdasarkan pernyataan dari Khairul Rijal, KABID Lalu Lintas dan Perlengkapan Jalan Dinas Perhubungan Kota Bandung, kemacetan yang tinggi disebabkan oleh tingginya jumlah kendaraan. Dengan jumlah penduduk sekitar 2,4 juta jiwa, kota Bandung memiliki jumlah kendaraan yakni sekitar 2,2 juta (CNN, 2023).
Lantas mengapa ini bisa terjadi? Mengapa sulit bagi masyarakat Bandung untuk lepas dari kendaraan pribadi? Jawabannya terletak pada transportasi umum Kota Bandung.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Media Memancing Kepanikan Moral Masyarakat dengan Pemberitaan Transpuan?
MAHASISWA BERSUARA: Menimbang Game Theory sebagai Strategi Pemasaran di Era Digital
MAHASISWA BERSUARA: Inisiatif Pengurangan Sampah di Industri Logistik dengan Rantai Pasok Tertutup
Transportasi Umum Belum Berkembang di Kota Kembang
Menjadi sulit bagi masyarakat Bandung untuk lepas dari kendaraan pribadi karena tidak ada moda transportasi lain yang lebih mudah dan praktis. Pasalnya, transportasi umum yang ada di kota Bandung juga masih belum optimal, baik dari segi infrastruktur maupun pelayanan. Maka dari itu, masyarakat pun enggan untuk beralih dan mendukung penggunaan transportasi umum. Peningkatan kualitas transportasi umum pada akhirnya menjadi elemen yang penting untuk ditinjau ulang agar isu kemacetan dapat diselesaikan.
Pemerintah Kota Bandung sebetulnya telah mengambil berbagai tindakan untuk meningkatkan kualitas transportasi umum. Hal tersebut dapat dilihat dari hadirnya banyak moda transportasi umum seperti DAMRI, Trans Metro Bandung, dan Trans Metro Pasundan (ECOEDU, 2023). Sayangnya, seluruh upaya tersebut tidak didampingi dengan eksekusi yang efektif dan tepat.
Trans Metro Bandung (TMB) misalnya, angkutan yang merupakan Bus Raya Terpadu (BRT) ini masih beroperasi pada level yang jauh dari kata efektif dan tepat. Secara definisi, BRT sendiri merupakan sebuah sistem bus transit massal yang menggunakan jalur khusus, mempunyai pelayanan yang andal, dan biaya yang relatif rendah (Wright, 2011). TMB sayangnya hanya dapat memenuhi aspek biaya rendah karena pada praktiknya angkutan ini belum memiliki jalur khusus yang lengkap maupun layanan yang dapat diandalkan.
Dari segi jalur, TMB masih belum memiliki jalur khusus yang cukup untuk menembus kemacetan di Kota Bandung. Pada akhirnya, TMB yang awalnya diperkenalkan sebagai solusi atas isu kemacetan yang ada, justru malah ikut menyumbang macet dan terjebak di dalamnya. Di samping itu, walaupun TMB telah memiliki lima koridor dan dua feeder, masih banyak daerah yang tidak dapat diakses oleh angkutan ini sehingga daya tarik dari transportasi umum pun semakin berkurang. Layanan yang ditawarkan oleh TMB juga masih mempunyai banyak ruang untuk peningkatan kualitas, mulai dari akses layanan informasi yang kurang terbuka, waktu kedatangan bus yang tidak tepat waktu, hingga halte yang perlu banyak perbaikan.
Namun, melihat kondisi yang dimiliki oleh Kota Bandung, perencanaan dan kebijakan seputar transportasi umum pun menjadi perihal yang begitu kompleks. Pembangunan dan perbaikan infrastruktur menjadi sebuah proses yang akan memakan banyak waktu serta biaya. Contohnya pengadaan jalur khusus yang lengkap bagi BRT, hal ini sulit untuk dilaksanakan karena tidak semua jalanan di Bandung dapat diakses oleh bus apalagi ditransformasi menjadi jalanan dengan jalur khusus bus. Pelayanan yang dimiliki oleh BRT juga masih belum dapat diandalkan karena belum ada inisiatif dan insentif yang cukup dari Pemkot Bandung untuk betul-betul membangun ekosistem BRT yang lebih efektif.
Meskipun begitu, jalur khusus dan pelayanan yang baik tetaplah sebuah keniscayaan yang penting untuk diupayakan agar dapat mendorong efektivitas BRT serta konektivitas transportasi umum. Masalahnya, pembangunan hal tersebut akan memakan waktu yang panjang, sementara kemacetan yang terus-menerus terjadi semakin mendesak kehadiran transportasi umum yang efektif. Jadi, solusi seperti apa yang sebenarnya dapat diterapkan?
Menghidupkan Konektivitas Transportasi Umum
Salah satu aspek yang paling penting dalam membangun sistem transportasi umum kota adalah konektivitas. Dengan mengorientasikan pembangunan pada konektivitas, maka transportasi umum pun bisa menjadi alternatif yang lebih unggul dibanding kendaraan pribadi. Hal dikarenakan konektivitas dapat mendorong ekosistem transportasi umum yang lebih terintegrasi sehingga jangkauan yang dimiliki pun bisa menjadi semakin diandalkan.
Misalnya saat ingin bepergian ke luar kota, masyarakat Bandung seharusnya bisa menggunakan angkutan kota (angkot) dari rumahnya untuk kemudian pergi ke halte BRT yang juga sudah mempunyai jalur khusus langsung ke stasiun kereta. Daripada harus berhenti di depan stasiun dan membuat kemacetan atau menyisihkan uang lebih untuk parkir, transportasi umum dapat menjadi alternatif yang lebih mudah dan praktis. Sayangnya, konektivitas ini masih jauh dari realita.
Maka dari itu, alih-alih hanya berfokus pada pembangunan jalur khusus atau penambahan koridor baru, Pemkot Bandung juga perlu untuk mulai mengembangkan moda transportasi umum lain seperti angkot dan kereta. Arah pengembangan ini sebetulnya telah dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung tahun 2018-2038, di mana kereta api bandara (Airport Railink) dan TMB telah menjadi salah dua hasil dari upaya penerapan rencana tersebut. Sayangnya, kedua hasil tersebut masih belum cukup untuk menciptakan konektivitas.
Berangkat dari hal tersebut, Pemkot Bandung seharusnya dapat lebih memberdayakan angkot sebagai angkutan umum yang memiliki kuantitas lebih banyak dan jangkauan yang lebih luas. Pemberdayaan ini dapat dimulai dari peningkatan kualitas armada angkot itu sendiri. Perlu ada standarisasi yang lebih jelas terhadap angkot dan penentuan jalur yang lebih tersosialisasi. Di samping itu, para sopir angkot juga perlu untuk lebih banyak diberi insentif dan pelatihan agar pelayanan lebih maksimal. Penerapan sistem tap out yang terintegrasi dengan angkutan umum lainnya juga dapat secara bertahap diimplementasi untuk mendorong konektivitas. Namun, yang juga tidak kalah penting dalam seluruh upaya ini adalah hadirnya kebijakan yang memang pro kepentingan umum dan jelas tolok ukur keberhasilannya agar eksekusi dari upayanya lebih efektif dan tepat.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara