• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Media Memancing Kepanikan Moral Masyarakat dengan Pemberitaan Transpuan?

MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Media Memancing Kepanikan Moral Masyarakat dengan Pemberitaan Transpuan?

Media memanfaatkan stigma kuat dalam upaya penguatan isu untuk menciptakan kepanikan moral dengan pemilihan kata dan kalimat untuk mengomunikasikan makna.

Winda Fadillah

Mahasiswa Ilmu Komunikasi. Suka membaca dan berdiskusi. Mendambakan hidup seimbang serta damai.

Ilustrasi dunia digital dan pengaruh media sosial. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

6 Juli 2024


BandungBergerak.id – Transpuan merupakan kelompok minoritas rentan diskriminasi yang tak jarang menjadi samsak kemarahan serta olok-olokan publik, berasal dari kelompok superior yang tumbuh dari budaya patriarki di tengah masyarakat yang lantas bergaya seolah layak menindas keberadaan kelompok minoritas. Hal tersebut tidak terlepas dari bagaimana media melakukan framing terhadap transpuan, sehingga para superior merasa benar atas tindakan yang dilayangkan kepada mereka kemudian berhasil melanggengkan kelompoknya. Sementara kaum marginal seperti transpuan akan selamanya menjadi musuh publik.

Media menggambarkan transpuan sebagai objek yang aneh, lalu dianggap wajar jika diperlakukan semena-mena, dijadikan bahan lelucon, dilecehkan bahkan tak jarang digambarkan sebagai kriminal. Bahkan bukan hanya untuk tokoh utama, kehadiran transpuan dalam film kerap dipertontonkan sebagai sesuatu yang sifatnya lekat dengan sisi negatif dan sering dilecehkan secara verbal dengan panggilan “banci”, “bencong”, “wandu”, hingga menerima pelecehan non verbal seperti sentuhan di area sensitif sebagai bahan olok-olokan.

Dalam beberapa kesempatan, kasus pelecehan seksual yang biasanya menjadi perbincangan serius dan digaungkan permasalahannya oleh media dan menjadi sorotan publik agaknya tidak berlaku jika hal tersebut menimpa kelompok transpuan. Pelecehan seksual yang menimpa transpuan kerap dianggap wajar karena dirasa menyimpang, dipandang sebelah mata sebagai hal sepele, membungkam mulut untuk menyuarakan kebenaran namun begitu tajam menghakimi mereka. Baiklah, dalam kesempatan ini, para superior telah bertransformasi menjadi hakim yang andal dalam menentukan perkara siapa yang salah.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mencermati Generasi Z sebagai Pendorong Kesetaraan Gender dalam Dunia Bisnis
MAHASISWA BERSUARA: Membangun Peluang Bisnis Produk Lokal yang Menarik Generasi Z
MAHASISWA BERSUARA: Ironi Film Vina Sebelum 7 Hari

Transpuan dalam Kacamata Sebagian Media

Tahun 2021 kala pandemi merebak, masyarakat dihimbau untuk menggunakan masker sebagai langkah awal mencegah penyebaran virus covid. Cara inovatif dilakukan oleh berbagai pihak, salah satunya dengan melibatkan transpuan. Anehnya, keterlibatan transpuan dalam hal ini memicu stigma buruk di mata publik. Dari mulai berita Waria Ikut Razia, Cium Warga Yang Tak Gunakan Masker, sampai dengan Waria Berhelm Covid-19 Adang Pengendara Tak Bermasker di Jalur Wisata Pacet, tidak ada satu pun media yang menuliskan keterlibatan transpuan dengan layak sehingga kesan yang didapat tentang transpuan dibingkai sebagai kelompok menyeramkan yang berhasil menakut-nakuti masyarakat.

Belakangan, media sosial gaduh dengan berita yang lagi-lagi menyudutkan keberadaan kaum transpuan. Topik yang dibahas memang tidak menyebutkan kata transpuan, namun dengan munculnya berita tersebut, stigma publik kian terbentuk secara mengerikan sehingga menyudutkan keberadaan transpuan. Kemunculan berita mengenai pria yang melaporkan kasusnya kepada polisi karena merasa tertipu akibat menikah dengan sesama jenis, memunculkan pemikiran liar yang merugikan pihak transpuan hingga dilecehkan secara terang-terangan seolah hal tersebut memang sebuah gurauan yang layak untuk diutarakan.

Lantas, siapa yang bertanggung jawab dalam hal ini? Media melihat fenomena di atas sebagai suatu hal yang kontroversial, mampu menjadi perbincangan publik, mendatangkan engagement, kemudian berakhir meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan dampak diskriminasi yang tak berkesudahan. Dengan demikian, media memiliki agenda sendiri yang tersirat melalui liputan beritanya, posisi media semestinya tidak hanya memberi tahu apa yang harus dipikirkan melainkan memberi tahu bagaimana cara untuk berpikir.

Sementara jauh dari lanskap media yang lebih banyak dikenali saat ini, transpuan bukanlah hal baru atau sesuatu yang datangnya karena dipengaruhi budaya barat. Zaman dahulu, transpuan ada sebagai penjaga peradaban zaman. Masyarakat Bugis dan Jawa Kuno memandang transpuan sebagai penghubung dunia magis antara alam dewa dan alam manusia, transpuan terlibat secara aktif dalam kepentingan budaya serta tradisi yang ada di Indonesia. Bahkan dalam lingkup masyarakat kerajaan masa Jawa Kuno, memungkinkan bagi transpuan mendapatkan hak istimewa, terutama keuntungan ekonomi dari pihak kerajaan. Selain itu, di Ternate, transpuan memegang posisi tertinggi sebagai pemuka agama sekaligus pemimpin pa’bisuan yang merupakan upacara dalam praktik aluk.

Kepanikan Moral Berada di Tengah Masyarakat

Stanley Cohen (2011) menyatakan bahwa kepanikan moral adalah suatu keadaan di mana seseorang atau kelompok muncul sebagai ancaman terhadap nilai-nilai dan kepentingan masyarakat. Bagi Cohen, ketika kekacauan terjadi maka yang merasa terancam akan menghasilkan reaksi balik, reaksi ini diterjemahkan oleh media lewat tulisan dan pemberitaan yang dilakukan.

Senada dengan Cohen, Monod (2017) dalam penelitiannya menyatakan peran media dalam konstruksi kepanikan moral dilakukan melalui tiga cara: penguatan isu, penciptaan folk devil, dan pengaturan agenda.

Dalam upaya penguatan isu, media memanfaatkan stigma kuat untuk menciptakan kepanikan moral, pemilihan kata dan kalimat menjadi langkah awal media memulainya, hal ini bertujuan untuk mengkomunikasikan makna kepada audiens kemudian dilakukannya penghubungan isu yang serupa. Selanjutnya adalah penciptaan folk devil dengan menampilkan satu figur yang digambarkan media sedemikian rupa agar menjadi ancaman terhadap situasi yang ada. Cara ketiga yang dimaksudkan oleh Monod ialah pengaturan agenda media yang didefinisikan sebagai sikap terhadap situasi yang sedang dibicarakan. Dalam hal ini, media membentuk pandangan publik terhadap transpuan sebagai aib yang mengidap penyakit menular, aneh dan jahat.

Media bermain dengan emosi pembaca, menarik publik terlibat ke dalamnya sehingga secara tidak langsung, agenda media akan menentukan agenda publik. Nyaris tidak ada media yang menyuarakan keresahan yang dialami oleh transpuan, bahkan berita tentang transpuan yang dibakar hidup-hidup karena dituduh mencuri pun perlu disuarakan terlebih dahulu di media sosial agar mencuat di muka publik. Bukan hanya dalam bentuk kekerasan, pelecehan kerap dialami juga oleh yang lain. Jangan hanya karena seorang transpuan, lantas boleh diperlakukan secara semena-mena, berhak diadili dan direnggut nyawanya.

Transpuan juga Manusia dan Warga Negara

Transpuan di Indonesia mudah dikenali berdasarkan penampilan fisiknya berdasarkan kategori yang biner, sehingga transpuan menjadi asing di masyarakat dan sering kali menjadi penyebab terjadinya diskriminasi terhadap mereka.

Menurut Castillo-Mayen dan Monter-Bergen (2014) penghadiran diri oleh individu menciptakan stereotip di masyarakat mengenai bagaimana seseorang diklasifikasikan feminin atau maskulin. Stereotip tersebut kemudian menjadi samar ketika ada individu yang tidak berada di antara dua stereotip di atas, atau bahkan memiliki keduanya. Fenomena tersebut memunculkan golongan individu yang disebut sebagai transgender.

Keberadaan transpuan yang ada di tengah masyarakat kerap dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya dapat menular, cacat, abnormal, bahkan inferior. Keadaan masyarakat yang demikian membuat transpuan tersisihkan, mereka tidak bisa mendapat kesempatan yang sama seperti kebanyakan orang. Keterbatasan tersebut merenggut hak-hak dasar transpuan sebagai warga negara, hak yang sama untuk mendapat akses layanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan hingga layanan kependudukan.

Pikiran konservatif dan kemarahan yang tak bersumber membuat masyarakat luput akan potensi dan posisi transpuan sebagai manusia juga warga negara biasa yang hak dan kewajibannya harus dipenuhi, semestinya negara menjadi ruang aman bagi transpuan untuk melanjutkan hidupnya, tempat di mana mereka bisa bebas berekspresi secara kreatif, diterima keberadaannya oleh masyarakat dan tidak dianggap sebagai aib oleh keluarga yang tak jarang melakukan pengusiran terhadap mereka.

Di balik pemberitaan yang begitu tajam mengambil sudut transpuan sebagai sesuatu yang cacat moral, media luput akan keberadaan transpuan yang mengabdikan hidupnya menjadi dokter untuk menyelamatkan nyawa banyak orang, atau Uik yang menjadi paralegal agar dapat memberikan bantuan hukum. Atau sekedar menyadari kehadiran kelompok transpuan yang berjuang memberdayakan sejawatnya untuk bisa menghapus diskriminasi.

Jangan karena gender, penghakiman secara mudah diluncurkan dan ujaran kebencian dinormalisasikan. Media boleh jadi menjadi sumber yang menggiring opini publik sehingga menjadi abai akan keberadaan mereka yang pergerakannya amat terbatas di negaranya sendiri, namun sebagai sesama manusia dan warga negara, jangan memilih buta terhadap persoalan ini.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//