Gelaran Tanggap Warsa, Perayaan untuk Mengingatkan agar Mawas Diri
Organisasi Budi Daya di Kampung Cibedug, di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, menggelar Tanggap Warsa bagi Penghayat Kepercayaan memperingati Tahun Baru Saka.
Penulis Nabila Eva Hilfani 19 Juli 2024
BandungBergerak.id – Penghayat Kepercayaan Budi Daya Kampung Cibedug menggelar kegiatan Tanggap Warsa pada Senin, 15 Juli 2024 lalu, di Pasewakan Saka Binangun, KampungCIbedug, Kabupaten Bandung.
“Tanggap Warsa itu sebetulnya, peringatan tahun baru Sunda atau tahun baru Saka,” kata Aep Supriatna, ketua organisasi Budi Daya, Desa Cikole, Kecamatan Lembang.
Tanggap Warsa memiliki tujuan tersendiri bagi umat Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti yang dijelaskan oleh Fajar Edin Mulyadi, ketua pelaksana kegiatan Tanggap Warsa tahun 2024 ini, Tanggap Warsa bagi umat Penghayat Kepercayaan adalah bentuk perhatian atau mawas diri untuk menjalankan kehidupan tahun yang baru.
“Ini salah satu bentuk perhatian atau mawas diri kita, karena biasanya di tahun baru Saka itu ada Candrasengkala yang erat kaitannya dengan kehidupan kita sebagai makhluk Tuhan. Setiap 1 Sura itu ada perhitungannya dan itu menjadi bahan kita ke depan harus seperti apa,” kata Fajar.
Tanggap Warsa juga memiliki keterkaitan dengan ibadah umat Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Fajar menuturkan bahwa ibadah Penghayat Kepercayaan, khususnya Penghayat Kepercayaan Budi Daya, adalah eling lan waspada atau diartikan sebagai mawas diri.
Perayaan Tanggap Warsa tahun 2024 ini mengambil tema sabilulungan yang diambil berdasarkan perhitungan Candrasengkala dan diskusi para sepuh.
“Tema yang sekarang itu kan kebetulan sabilulungan yang memiliki tujuan kita harus bergotong royong, rukun, toleransi terhadap sesama kita di lingkungan,” kata Fajar.
Kegiatan Tanggap Warsa yang diselenggarakan oleh organisasi Budi Daya Kabupaten Bandung ini memiliki rangkaian acara yang dimulai dari pembukaan, prosesi tutunggulan.

Baca Juga: Kolom Agama dan Jalan Panjang Penghayat
Laga Para Penghayat Muda
Terjal Jalan Murid-murid Penghayat Kepercayaan Menghadapi Perundungan
Rangkaian Prosesi Tanggap Warsa
Kegiatan Tanggap Warsa merupakan peringatan yang diselenggarakan setiap tahunnya sebagai peringatan tahun baru Saka tanggal 1 Sura.
Sebelum rangkaian pangeling eling dilaksanakan atau kegiatan resepsi peringatan tahun baru saka, pagi sebelumnya, di hari yang sama, umat Penghayat Kepercayaan melaksanakan ritual numbal atau mepet dan pembagian beras hasil pengumpulan dari setiap keluarga umat Penghayat Kepercayaan untuk dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan.
“Ritual numbal itu sesepuh yang melakukan. Ritual numbal tuh ada prosesi menyembelih kambing hitam sama ayam hitam,” kata Fajar.
Ia melanjutkan, ritual numbal memiliki tujuan tersendiri.
“Tujuannya sendiri kan sebetulnya kita punya hawa nafsu ya. Nah, numbal itu atau menggeul tuh kita menghalau hawa nafsu yang jelek dengan hawa nafsu yang bagus atau hawanafsu negatif dengan hawa nafsu positif,” ujar Fajar.
Sementara pembagian beras yang dilakukan bertujuan sebagai bentuk pengingat akan melakukan kebaikan kepada sesama tanpa melihat perbedaan yang ada.
Di siang harinya, Tanggap Warsa dilanjutkan dengan prosesi pengeling eling atau acara resepsi dari peringatan tahun baru saka yang memiliki rangkaian acara yang sama setiap tahunnya.
Rangkaian Tanggap Warsa dibuka tutunggulan. Di lanjutkan dengan kirab sesajen, rajah, amitsun, hening panggalih, candra sengkala, hingga sebagai pelengkap, laporan ketua panitia, sambutan-sambutan dari para sesepuh dan pihak-pihak undangan, nampi nuhun, dan diakhiri dengan penutup.
Kirab sesajen atau kegiatan pendoaan sesajen oleh para sesepuh sebagai satu prosesi inti dalam pangeling-eling Tanggap Warsa. Aep Supriatna menerangkan bahwa kirab sesajen memiliki arti sebuah tuntunan bagi umat Penghayat Kepercayaan selain sebagai penunjukan hasil bumi.
“Kalau sesaji itu kan, sebuah tuntunan bagi penghayat. Tuntunan ajaran dari leluhur untuk bahwa kita itu untuk lebih tumarima (menerima),” jelas Aep.
Tanggap Warsa yang dilaksanakan pada 15 Juli lalu atau dalam kalender saka 7 Sura, sesungguhnya merupakan bentuk resepsi peringatan tahun baru Saka. Sementara, terdapat satu prosesi khusus yang dilakukan oleh umat Penghayat Kepercayaan tepat pada tanggal 1 Sura yaitu, adat Pulang Sambung.
“Adat pulang sambung salah satu kegiatannya, ada istilah ngiriman. Di rumah ada gelar sajen, ngiriman kepada yang sudah tidak ada karena terus pasti diingat, walau sudah tidak ada di dunia. Selain dari itu, kita juga pulang sambungnya kepada saudara-saudara kita, semisal orang tua saya kepada bibi saya, kepada uwa-uwa saya, ngasih hantaran makanan pada 1 Sura,” kata Fajar.
Penghantaran makanan tidak hanya dilakukan kepada sesama umat Penghayat Kepercayaan, pengantaran makanan juga ditujukan kepada masyarakat yang memiliki kepercayaan dan agama lain.

KampungCibedug sebagai Desa Sadar Kerukunan
Dalam perayaan Tanggap Warsa, terlihat warga beragama Islam pun turut membantu dalam melangsungkan perayaan tahun baru Saka Indonesia tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Fajar, bahwa dalam hari besar bagi umat Penghayat Kepercayaan itu, masyarakat muslim pun turut membantu, contohnya dalam hal penjagaan keamanan.
Kampung Cibedug, Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat yang menjadi rumah umat Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari organisasi Budi Daya, dinobatkan sebagai desa sadar kerukunan sejak tahun 2023 oleh Kementerian Agama RI, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat.
Bentuk toleransi antar umat pun tidak hanya terlihat ketika hari-hari besar tiap umat diselenggarakan, seperti perayaan tahun baru Saka Indonesia ini. Bentuk toleransi antar umat Penghayat Kepercayaan dan muslim di Kampung Cibedug juga dapat terlihat ketika pembangunan rumah ibadah masing-masing.
“Salah satu bentuknya (bentuk toleransi dan gotong royong) toleransi yang saya rasakan di sini ya, dilingkungan, pada saat proses renovasi rumah ibadah umat muslim sama pasewakan dari para Penghayat. Itu cuman beda satu bulan kita renovasi. Masjid dulu, baru kita. Nah pada proses pembangunan kita gak membeda-bedakan siapa, itu tempat siapa. Enggak gitu, jadi kita fokus untuk merenovasi rumah ibadahnya umat muslim dan pasewakan,” kata Fajar.
Tingginya toleransi di Kampung Cibedug juga sempat disebutkan oleh kepala Desa Cikole dalam sambutannya di kegiatan Tanggap Warsa tersebut.
“Simkuring (saya) sebagai kepala desa pun ikut bangga, tercatat di Kementerian Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat bahwa, Cikole, warga Cibedug ieu, dinobatkan sebagai desa kerukunan,” terang Tajudin, Kepala Desa Cikole dalam sambutannya.
Bukan hanya tertulis di atas kertas, kerukunan yang tinggi ini secara faktanya memang terjadi di lingkungan kampung Cibedug. Hal itu dibenarkan Asti Novianti, seorang muslim, salah satu warga Kampung Cibedug.
“Kalau di sini mah, jadi gak dibeda-bedain. Meskipun beda agama juga. Kalau misalkan ada pembangunan dari Penghayat orang muslim suka ikut bantu. Ada pembangunan di muslim, penghayat juga suka ikut bantu. Jadi gitu, gak dibeda-bedain, saling bantu,” terang Asti.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan lain tentang toleransi beragama