• Liputan Khusus
  • Terjal Jalan Murid-murid Penghayat Kepercayaan Menghadapi Perundungan

Terjal Jalan Murid-murid Penghayat Kepercayaan Menghadapi Perundungan

Murid-murid penghayat kepercayaan di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, masih mengalami berbagai bentuk perundungan. Pemerintah mengklaim semua baik-baik saja.

Meskipun berganti generasi, anak-anak penghayat masih rentan menjadi korban diskriminasi di wilayah pendidikan, Juni 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah28 Juni 2024


BandungBergerak.id - “Ayo login!” Candaan bernada mengejek tersebut kerap kali diperoleh Kenanga, bukan nama sebenarnya, dari teman-teman sekolahnya. Satu dari sekian banyak perundungan yang masih harus dialami oleh bocah perempuan penghayat kepercayaan Budi Daya.
Kenanga belajar di sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta di bawah naungan yayasan Islam di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) tidak wajib diikuti meski tak jarang sulit untuk dihindarkan. Yang wajib diikuti adalah pelajaran bahasa Arab.

Tidak hilang dari ingatan Kenanga bagaimana guru PAI di sekolahnya pernah menyuruhnya mengerjakan tugas menulis hukum Nabi, meski tidak ada paksaan. Ketika itu sang bocah sedang ada di semester pertama kelas VIII. Perasaan terkejut memenuhi diri Kenanga.

“Cepat, kamu nulis gak! Kalau enggak mau juga ga pa pa,” tutur Kenanga menirukan ucapan guru PAI-nya ketika ditemui BandungBergerak di tempat penyuluhan penghayat kepercayaan Budi Daya, di Kampung Cibedug, Lembang, Rabu, 12 Juni 2024.

Kenanga lahir dan tumbuh di tengah keluarga petani sayur yang menggarap lahan milik sendiri di kawasan Cikole, bagian dari Kawasan Bandung Utara (KBU). Dia bercita-cita menjadi pemain jaipong profesional. Pernah dalam sebuah kejuaraan jaipong antarsiswa tingkat nasional, Kenanga meraih peringkat ketiga.

Cerita juga datang dari Melati, bukan nama sebenarnya, siswi kelas 7 di sekolah yang sama. Sebagai penghayat kepercayaan, dia mengaku sering mengikuti kelas Pendidikan Agama Islam meski sebenarnya tidak diwajibkan. Dia melakukannya sebagai sebentuk sikap menghargai.

“Kalau masuk kelas, kita baca doa masing-masing aja. Kalau lagi kelas mata pelajaran Islam, kita duduk aja sambil memperhatikan yang lain,” ujarnya.

Menurut Melati, tidak sedikit temannya yang bertanya kepadanya tentang penghayat kepercayaan. Dengan penuh percaya diri dia akan menerangkan bahwa bahwa penghayat adalah bagian dari keberagaman keyakinan atau agama yang ada di Indonesia.

“Aku jelasin (bahwa ) Islam, Buddha, Hindu itu agama, dan agama penghayat kepercayaan itu asli Indonesia,” kata Melati.

Ada cerita-cerita lain lagi tentang candaan bernada ejekan kepada murid-murid penghayat kepercayaan. Salah satunya yang banyak dialami adalah panggilan “Kris”, merujuk pada kata “Kristen” kepada mereka.

Di sekolah swasta yang dikelola oleh yayasan Islam, pendidikan agama untuk para murid penghayat kepercayaan dimasukkan ke dalam mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti. Namun mereka harus belajar secara terpisah karena jumlahnya yang sangat sedikit.

Bersama Kenanga, Melati memperoleh “pelajaran agama” yang sebenarnya, yaitu agama leluhur penghayat, di komunitas di kampung halamannya di Cibedug. Setiap Sabtu dan Minggu keduanya, bersama kawan-kawan sebaya lain, mengikuti kegiatan penyuluhan untuk remaja yang diadakan oleh organisasi penghayat kepercayaan Budi Daya. Selain menimba pelajaran tentang keyakinan nenek moyang (karuhun) dan budi pekerti, mereka juga biasa membagikan banyak hal yang terjadi selama di sekolah. Termasuk jika ada candaan atau ejekan.

Sinta Juwita, seorang penghayat yang merupakan guru di sebuah SMP, Kabupaten Bandung Barat, Juni 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Sinta Juwita, seorang penghayat yang merupakan guru di sebuah SMP, Kabupaten Bandung Barat, Juni 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Membalas dengan Prestasi

Sinta Juwita, salah seorang penyuluh penghayat kepercayaan Budi Daya, membenarkan bahwa anak-anak didiknya sering menerima candaan tentang keyakinan mereka dari anak didik yang lain yang berbeda keyakinan. Namun sejauh ini, menurut dia, belum ada laporan tindak diskriminasi baik verbal maupun fisik yang serius.

“Kalau pun ada laporan, biasanya kami langsung tindak lanjuti. Tapi sejauh ini mah aman,” ujar Sinta yang juga pengajar Bahasa Sunda dan Seni Budaya di sekolah Kenanga dan Melati.

Sinta memastikan, dia akan tampil paling depan bila ada murid-murid dari penghayat kepercayaan yang mengalami diskriminasi. Meski demikian, dia akan menanyakan terlebih dahulu duduk perkara diskriminasi tersebut kepada murid-muridnya sebelum mengambil keputusan.

“Saya tidak akan diam, tapi saya juga harus profesional,” ucap Sinta yang mengajar sejak tahun 2021.
Sebagai upaya mencegah tindak diskriminasi, secara aktif Sinta juga melakukan komunikasi ke sekolah. Dia berkoordinasi ke pihak kurikulum dan wali kelas para murid penghayat.

Sebagai pengajar yang juga penghayat kepercayaan, Sinta memberikan teladan toleransi pada anak didiknya. Dalam perayaan-perayaan keagamaan umat Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad, dia beberapa kali mengenakan jilbab sebagai bentuk penghormatan sekaligus mencontohkan pada anak didik dan anak-anak penghayat juga.

Yang membuat Sinta bangga, para murid penghayat menunjukkan prestasi yang cukup mengesankan di sekolah. Baik dalam bidang akademis maupun non akademis. Kalau Kenanga menonjol dengan bakat seninya, Melati merupakan peraih peringkat kedua lomba karate pada ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional. Prestasi membuat anak-anak penghayat bisa tampil lebih percaya diri.

Rutinitas warga Kampung Cibedug, Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat yang berternak setiap pagi mengantarkan susu perahan ke koperasi susu. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)
Rutinitas warga Kampung Cibedug, Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat yang berternak setiap pagi mengantarkan susu perahan ke koperasi susu. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Klaim Perlakuan Sama

Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bandung Barat Rustiyana mengklaim, pemerintah telah melakukan pemerataan fasilitas pendidikan untuk murid-murid yang berbeda keyakinan atau beragama minoritas, termasuk penghayat. Namun karena sekolah-sekolah kekurangan tenaga pendidik agama dan tidak bisa memberikan fasilitas tersebut, pemerintah memfasilitasi kerja sama antara sekolah dengan institusi atau komunitas keagamaan terkait pembelajaran.

“Perlakuan kita sama dengan agama-agama yang lain. Di kita mayoritas Islam. Dari sisi fasilitas, tentunya materi-materi di ajar relatif Islam, dan minim agama yang lain,” ujar Rustiyana kepada BandungBergerak di Ngamprah, Rabu, 19 Juni 2024.

Dipastikan Rustiyana, meski di sekolah ada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), para murid pemeluk penghayat kepercayaan atau non muslim tidak dipaksa untuk mengikutinya. Mereka diharapkan mengikuti pembelajaran yang diadakan oleh komunitas atau institusi keyakinan mereka.

“Setahu saya di Lembang sudah berjalan. Mereka sudah ada satu sekolah yang ada penghayat kepercayaan. Setiap ujian, mereka berkoordinasi dengan sekolah itu,” katanya.

Menyoal perundungan atau diskriminasi lain yang dialami peserta didik, Rustiyana menyampaikan bahwa setiap sekolah di KBB harus membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tidak ada pengecualian. Segala bentuk diskriminasi yang dialami peserta didik, bahkan jika pelakunya tenaga pendidik, bisa dilaporkan ke TPPK dengan teknis yang telah ditetapkan.

“Sekolah bertanggung jawab. Sekalipun sekolah swasta, harus membentuk tim tersebut yang terdiri dari guru dan orang tua. Dipastikan tim itu bekerja,” ucapnya.

Rustiyana berharap persoalan diskriminasi dan intoleransi di sekolah bisa dihentikan. Syaratnya, keluarga dan masyarakat harus turut mengambil peran. Tidak hanya mengandalkan lingkungan sekolah atau Dinas Pendidikan semata.

Sebagai pengganti mata pelajaran agama di Sekolah, kelas agama anak-anak penghayat diadakan setiap Sabtu-Minggu, 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Sebagai pengganti mata pelajaran agama di Sekolah, kelas agama anak-anak penghayat diadakan setiap Sabtu-Minggu, 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Jalan Panjang Aliran Kepercayaan

Kelompok kepercayaan Budi Daya merupakan salah satu dari sekian banyak aliran penghayat di Indonesia yang telah melewati jalan terjal pertumbuhan dan mampu bertahan hingga hari ini. Faisal Muzzammil dari STAI DR. KH EZ. Muttaqien Purwakarta, dalam artikel jurnal “Kelompok Kepercayaan Budi Daya: Studi tentang Makna Kepercayaan, Sejarah Perkembangan, dan Pokok Ajaran Kelompok Kepercayaan Budi Daya”, menyebut bahwa berdasarkan data Dewan Musyawarah BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) pada tahun 1972, terdapat 644 kelompok aliran kepercayaan atau kebatinan. Jumlah tersebut terus bertambah dari tahun ke tahun.

Di wilayah Jawa Barat. pada akhir Maret 1982 tercatat ada lima kelompok kebatinan atau kepercayaan yang secara resmi diakui dan terdaftar secara administratif di pemerintahan, yakni Aliran Kepercayaan Aji Dipa, Aliran Kepercayaan Lebak Cawene, Aliran Budi Rahayu, Paguyuban Adat Cara Karuhun, dan Aliran Perjalanan Budi Daya.

Menurut Faisal, aliran kepercayaan Budi Daya merupakan “pecahan dari Aliran Kebatinan Perjalanan” akibat perbedaan pemahaman antara sesama pengurus pada tahun 1980 yang berujung pada pendirian tiga aliran terpisah. Secara resmi kelompok kepercayaan Budi Daya lahir pada 1 Juni 1980, semula diketuai oleh HM. Soegani. Pada perkembangan selanjutnya, kelompok ini diketuai oleh Andi Sugandi dan terdaftar pada Himpunan Penghayat Kepercayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 1.158/F.6/F.2/1980. Ketika itu jumlah pengikutnya lebih banyak dibandingkan dua “saudara”-nya: AKP dan Aliran Kepercayaan Aji Dipa, yaitu sekitar 32.100 orang.

“Sekalipun kepercayaan Budi Daya sudah berdiri sendiri, namun tetap mengakui bahwa Mei Kartawinata adalah sebagai pendiri pertamanya,” tulis Faisal.

Diketahui, Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) lahir berdasarkan wangsit yang diterima oleh Mei Kartawinata bersama M. Rasi dan Sumitra di Cimerta, Subang, Jawa Barat pada Jumat, 17 September 1927. Aliran ini memiliki irisan kuat dengan karakter masyarakat Jawa Barat yang mempunyai kecenderungan ke arah kebatinan.

Tentang wangsit tersebut, Endang Supriatna, dalam buku Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan Perjalanan" di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur (Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003), menyebut penerimaannya terjadi secara bertahap. Setiap wangsit, yang diartikan sebagai suara gaib yang diterima sebagai petunjuk, mempunyai sejarah dan kisahnya masing-masing.

“Yang jelas, ketiga tokoh aliran ini mempunyai cita-cita untuk hidup rukun dan saling mencintai antara sesama sehingga terwujud suatu kehidupan yang damai,” tulisnya.

Merujuk artikel Endang yang terbit tahun 2003 tersebut, diketahui bahwa komunitas penghayat AKP ketika itu telah tersebar di 27 kabupaten dan kota di 12 provinsi di Indonesia. Namun pertumbuhan “agama asli” Indonesia ini tidaklah semulus agama-agama resmi lain. Sejarah mencatat bagaimana komunitas penghayat mendapatkan banyak perlakuan tidak adil, mulai dari penyangkalan hingga berbagai bentuk diskriminasi.

Dalam gejolak pemberontakan DI/TII di beberapa daerah di Jawa Barat, misalnya, kelompok penghayat harus merasakan imbas buruknya. Demikian juga dalam pusaran Peristiwa September 1965. Lalu di sepanjang pemerintahan otoriter Orde Baru, para penghayat dipaksa untuk menyembunyikan identitas mereka. Akses ke berbagai layanan publik, mulai dari kependudukan hingga pendidikan dan kesehatan, menjadi teramat sulit.

Situasi sedikit membaik sejak reformasi tahun 1998. Salah satu puncak perubahan, terutama secara administratif kependudukan, adalah pengakuan negara terhadap hak mencantumkan kepercayaan di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Baca Juga: DATA JUMLAH PENDUDUK PENGANUT KEPERCAYAAN DI KABUPATEN BANDUNG BARAT 2013-2023: Bertahan Meski Terus Menyusut
Kolom Agama dan Jalan Panjang Penghayat
Nasib Penghayat Kepercayaan jadi Hantu di Negeri Sendiri

Selain belajar bersama, peserta didik juga bermain bersama para penyuluh di Pasewakan Saka Binangun, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa, 21 Mei 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Selain belajar bersama, peserta didik juga bermain bersama para penyuluh di Pasewakan Saka Binangun, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa, 21 Mei 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Pendidikan Inklusif Adalah Kunci

Terkait layanan pendidikan, telah terbit Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan. Payung hukum ini menegaskan bahwa layanan peserta didik penghayat kepercayaan harus terpenuhi. Pasal 4 peraturan tersebut menyatakan “Pendidik memberikan pelajaran Pendidikan Kepercayaan sesuai dengan ajaran kepercayaan peserta didik…”

Eni Purwanti dalam artikel berjudul “Problematika Pendidikan Formal Bagi Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” yang dimuat di jurnal Nalar: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan menuturkan, pendidikan agama sangat penting untuk membangun karakter dan moral anak bangsa. Penghayat kepercayaan punya hak sama dalam memperoleh pendidikan. Malangnya, menurut pengajar program studi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Ketuhanan Maha Esa Universitas 17 Agustus Semarang ini, di sekolah sering kali mata pelajaran Pendidikan Kepercayaan tidak diberikan dengan baik. Malahan, siswa penghayat kepercayaan sering diberi pelajaran Pendidikan Agama Islam.

“Sekolah seharusnya memberikan sosialisasi kepada seluruh warga sekolah, baik siswa, guru, kepala sekolah, maupun petugas tata usaha tentang pentingnya menghargai perbedaan dalam beragama dan berkeyakinan. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan mental siswa. Berkeyakinan berbeda itu wajar, bukan dijadikan bahan candaan,” tulis Eni.

Koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) Indra Anggara mengatakan, masih banyak guru di satuan pendidikan tidak tahu bahwa penghayat kepercayaan telah diakui resmi oleh negara. Akibatnya, pemenuhan hak anak-anak berbeda keyakinan dalam mengakses pelajaran agamanya belum sepenuhnya difasilitasi.

“Karena itulah sering terjadi diskriminasi,” kata Indra, ditemui BandungBergerak, Rabu, 12 Juni 2024.

Sebagai organisasi yang fokus pada isu-isu perdamaian dan keberagaman, Jakatarub terus menyuarakan pemenuhan hak-hak kaum penghayat kepercayaan. Salah satunya dengan melibatkan mereka dalam pertemuan-pertemuan lintas iman untuk menyebarkan perdamaian.

“Biasanya ada program Anjangsana, saling mengunjungi dan berkenalan antarumat beragama. Di sana (mereka) bertemu dan mengobrol, seperti kemarin siswa penghayat dengan siswa Buddha,” ujar Indra.

Program Anjangsana ini, kata Indra, akan dilakukan juga pada guru dan tenaga pendidik agar mereka mengetahui hak-hak peserta didik penghayat.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Heri Pramono mengatakan, masih banyak sekolah-sekolah yang belum sanggup memenuhi hak-hak pendidikan bagi penghayat kepercayaan. Menurutnya, anak-anak penghayat bukan hanya membutuhkan fasilitas dan layanan pendidikan yang memadai, melainkan juga perlindungan.

“Tapi juga dengan adanya tindakan-tindakannya yang fair, inklusif dengan siswa ini, tidak ada pembeda-beda, memberikan fasilitasnya setara, memberikan tindakan-tindakannya setara. Memberikan nilai-nilai inklusivitas ini yang jarang di sekolah-sekolah,” tuturnya.

Diyakini Heri, jika nilai-nilai inklusif diterapkan, iklim pendidikan di sekolah akan menjadi lebih baik dan ramah keberagaman. Sayangnya, penerapan di lapangan sering masih jauh panggang dari api. Banyak praktik diskriminatif dinormalisasi.

“Sosialisasi pemerintahnya kurang untuk menyasar seperti itu,” kata Heri. “Terus juga negara masih ragu-ragu untuk bisa menghadirkan nilai inklusivitas itu.”

*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Tulisan ini juga dimuat di laman INFID: https://infid.org/terjal-jalan-murid-murid-penghayat-kepercayaan-menghadapi-perundungan/ 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//